Selamat Datang di Web Jendela Keluarga Aris Nurkholis - Ratih Kusuma Wardani

Jendela Keluarga: Mewujudkan Keluarga Islami

Keluarga muslim adalah keluarga yang dibangun atas dasar nilai-nilai keislaman, Setiap anggota keluarga komintmen terhadap nilai-nilai keislaman. Sehingga keluarga menjadi tauladan dan lebih dari itu keluarga menjadi pusat dakwah Islam.

Merajut Keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah

Keluarga sakinah adalah keluarga yang semua anggota keluarganya merasakan cinta kasih, keamanan, ketentraman, perlindungan, bahagia, keberkahan, terhormat, dihargai, dipercaya dan dirahmati oleh Allah SWT.

Cinta Tanpa Syarat

Ketika suami dan isteri sudah menetapkan “cinta tanpa syarat” dan saling memahami, maka perbedaan dan pertengkaran tidak membesar menjadi konflik yang merusakkan kebahagiaan keluarga.

Cinta Tidak Harus Dengan Kata

Mencintai dengan sederhana, adalah mencintai “dengan kata yang tak sempat diucapkan” dan “dengan isyarat yang tak sempat disampaikan”.

Komunikasi dan Interaksi Penuh Cinta

Hal yang sangat vital perannya dalam menjaga keharmonisan rumah tangga adalah interaksi dan komunikasi yang sehat, komunikasi yang indah dan melegakan serta komunikasi penuh cinta antara seluruh anggotanya.

Thursday, October 14, 2010

Manusia Rabbani Pasca Ramadhan

Manusia Rabbani Pasca Ramadhan


dakwatuna.com – Malam-malam kita tak lagi seperti dulu, yang syahdu di bawah lantunan kalam ilahi dari para imam-imam tarawih. Penghujung malam kita pun tak seperti dulu lagi, yang larut dalam tahajjud panjang, lalu merengguh keberkahan sahur, sembari dzikir dan istighfar di sela-sela sisa waktunya.

Saat Subuh tiba, shaf-shaf di masjid terlihat lebih padat dibandingkan waktu subuh di luar Ramadan. Selepas shalat, sebagian makmum lebih memilih duduk berdzikir menanti syuruq, mereka berlomba-lomba meraup pahala haji dan umrah, yang disempurnakan dengan mengerjakan shalat sunah dua rakaat. Shalat kita pun tak seperti dulu, yang lebih semangat memburu lima waktu jamaah di masjid. Mengejar untuk mengkhatamkan Al Quran berulang kali, berlama-lama di masjid untuk satu, dua atau bahkan tiga juz Al Quran setiap hari.

Sore kita, tak lagi disibukkan dengan dzikir petang dan doa. Dulu kita larut dalam detik mustajab di menjelang masuknya waktu Maghrib. Menikmati dua ganjaran kebahagiaan; bahagia karena berbuka, dan bahagia karena puasa kita menjadi wasilah bermuwajahah dengan Allah Swt. Tapi itu dulu, lantas bagaimana dengan hari ini, pasca Ramadan? Bukankah Rabb yang menjanjikan ganjaran berlipat selama Ramadan, Ia juga Tuhan yang sama ketika di luar Ramadan?

Ada kata-kata menarik yang menyadarkan kita akan hal ini, “Kun rabbâniyyan, wa lâ takun ramadhâniyyan” Jangan menjadi manusia Ramadan, yang kuat ibadahnya karena berada di bulan Ramadan saja, karena setelah bulan itu berlalu, ia tak akan mengalami perubahan hidup untuk menjadi lebih bertaqwa. Namun jadilah manusia pasca Ramadan yang memiliki nilai kepribadian diri, penghambaan kepada Allah yang tak kenal henti, menjadi manusia bertaqwa tanpa batas, sesuai target yang diharapkan dari penggemblengan yang dilakukan selama sebulan. Dengan syaratnya, ia harus menjadi hamba Allah yang bobot ibadahnya terus meningkat, sekali pun ia telah berada di luar bulan Ramadan.

Para sahabat menyiapkan diri mereka selama enam bulan untuk menyambut kehadiran tamu agung bernama Ramadan. Pastinya mereka mati-matian untuk beribadah full time selama sebulan penuh itu. Layaknya bertemu dengan seorang yang dirindu, kita ingin berlama-lama bersama dengannya, menjamu, memberinya pelayanan sebaik mungkin. Dan tentunya kita akan merasakan kesedihan yang teramat dalam ketika harus berpisah dengannya.

Hal yang sama dirasakan oleh sahabat nabi di penghujung Ramadan, mereka tak gembira dengan baju baru, kue-kue dan makanan ala lebaran seperti umumnya kita. Tapi mereka justru bersedih, karena tamu agung itu sudah harus pergi meninggalkan mereka.

Mâ ba’da Ramadhân, inilah masa-masa yang paling mencemaskan bagi para sahabat nabi. Mereka takut akan amalan yang tertolak; puasa, qiyam yang panjang, tilawah yang berulang kali khatam, infak harta, pengorbanan jiwa raga dari satu medan perang ke perang lainnya, serta segudang amalan ibadah lainnya yang mereka lakukan selama Ramadan, semuanya itu telah menjadi sebuah kekhawatiran terbesar bagi diri mereka. Mereka lebih banyak berkontemplasi, dan bermuhasabah dalam sebuah tanda tanya, “Apakah amal ibadahku di bulan Ramadan kemarin diterima oleh Allah Swt.?”

Para sahabat merawat Ramadan dalam hati mereka dengan rasa khauf dan raja’. Sekuat tenaga berusaha istiqamah dalam amalan ibadah mereka. Lengah sedikit, akan memberikan indikasi amal ibadah mereka selama Ramadan telah sia-sia. Karena di antara ciri dari diterimanya amal ibadah seseorang dalam bulan Ramadan adalah; keringanannya dalam mengerjakan kebaikan dan ibadah, serta jauhnya mereka dari melakukan kemaksiatan kepada Allah Swt.

Enam bulan pasca Ramadan mereka masih bersedih memikirkan kepergian Ramadan. Mereka memohon dengan sungguh-sungguh agar amalan ibadah selama sebulan penuh itu diterima oleh Allah Swt. Sedangkan di paruh tahun sisanya, mereka kembali bergembira, bersiap diri menyambut kehadiran Ramadan, sang tamu agung yang selalu mereka rindu.

Begitulah siklus hidup para orang shalih terdahulu, renggang waktu dari Ramadan ke Ramadan berikutnya diisi dengan taqarrub ilallâh. Seakan menutup semua celah untuk futur dalam beribadah. Rindu mereka adalah rindu keimanan, pun dengan kesedihan mereka, kesedihan karena iman. Sehingga hari-hari berjalan penuh kekhusyukan, hati mereka tenang, diisi dengan mengingat Allah dalam kondisi apa pun. Karena Allah telah memberikan jaminan, “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar Ra’du:28).

Mereka memiliki kepribadian yang layak untuk diteladani. Lalu bagaimana dengan kita, sudahkah ibadah kita melebihi mereka sehingga lebih merasa hebat dan yakin kalau amalan Ramadan kita diterima? Ittaqullâh yâ ahibbâ’i, ibadah kita pastilah masih jauh dari kesungguhan para sahabat itu. Sehingga rasa khauf dan raja’ yang kita miliki seharusnya lebih besar ketimbang mereka.

Walhasil, shalih pasca Ramadan bukanlah hal fiktif. Kita baru saja meninggalkan terminal ruhy, kita sudah men-charger diri kembali. Battery full yang kita miliki, ditargetkan bertahan untuk sebelas bulan berikutnya.
Ramadan memang sudah pergi, karena datang dan pergi sudah merupakan bagian dari sunnatullah dalam kehidupan ini. Memang dalam sebelas bulan ke depan, tak ada puasa wajib seperti di bulan Ramadan lagi, tapi sekarang kita masih memiliki amalan puasa yang lain, puasa sunnah 6 hari Syawal misalnya, yang  keutamaannya telah dijelaskan oleh Rasulullah Saw. dalam sebuah hadits, “Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama satu tahun.” (HR. Muslim).

Masih ada puasa lainnya, seperti puasa sunnah Senin dan Kamis, puasa ‘Arafah, ‘Asyura, puasa Daud, dsb. Qiyamul lail juga masih tetap bisa kita lakukan. Shalat sunnah ini menempati posisi kedua setelah shalat fardhu sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Saw., “Shalat yang paling utama sesudah shalat wajib adalah qiyamul lail.” (Muttafaqun ‘alaih). Beliau juga menyebutnya sebagai da’bu shâlihin, atau tradisi dari orang-orang shalih.

Amal ibadah yang menjadi rutinitas kita selama sebulan Ramadan diharapkan memang sudah menjadi sebuah kebiasaan. Sehingga ketika Ramadan telah berakhir, kita tak mengalami kesulitan untuk memulainya kembali. Mumpung masih hangat aura Ramadan kita, mari bersama-sama kita hidupkan kembali rutinitas baik kita itu. Menjadikan amalan-amalannya sebagai sebuah kebiasaan, sekali pun sedikit, yang penting kita memiliki amalan andalan dan rutin menjalankannya. Karena barang siapa yang memiliki amalan rutin yang baik, selamanya ia tak akan mengalami kerugian, sekalipun ia terkena uzur, pahala tetap mengalir untuknya.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dituliskan, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda, “Apabila seseorang menderita sakit atau sedang bepergian maka dicatat pahala untuknya amal yang biasa ia kerjakan di saat ia sehat dan tidak bepergian.” (HR. Bukhari).
Semoga kita tidak menjadi manusia Ramadan, yang optimal ibadahnya selama sebulan saja, dan free di sebelas bulan berikutnya. Tapi kita menjadi manusia rabbâniy, yang selalu mengingat Allah kapan dan dalam bagaimana pun kondisi kita, seperti karakter ulul albâb yang termaktub dalam Al Quran, “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring.” (QS. Al Imran: 191). Wallâhu al Musta’ân.

Gairah Cinta dan Kelesuan Ukhuwah

Gairah cinta dan kelesuan ukhuwah mungkin terjadi pada seseorang yang dahulunya saling mencintai akhirnya saling memusuhi dan sebaliknya yang sebelumnya saling bermusuhan akhirnya saling berkasih sayang. Sangat dalam pesan yang disampaikan Kanjeng Nabi SAW :

"Cintailah saudaramu secara proporsional, mungkin suatu masa ia akan menjadi orang yang kaubenci. Bencilah orang yang kau benci secara proporsional, mungkin suatu masa iaakan menjadi kekasih yang kau cintai." (HSR Tirmidzi, Baihaqi,Thabrani, Daruquthni, Ibn Adi, Bukhari).

Ini dalam kaitan interpersonal. Dalam hubungan kejamaahan, jangan ada reserve kecuali reserve syar'i yang menggariskan aqidah "La tha'ata limakhluqin fi ma'shiati'l Khaliq".Tidak boleh ada ketaatan kepada makhluq dalam berma'siat kepada Alkhaliq. (HR Bukhari, Muslim, Ahmad dan Hakim). Doktrin ukhuwah dengan bingkai yang jelas telah menjadikan dirinya pengikat dalam senang dan susah, dalam rela dan marah. Bingkai itu adalah : "Level terendah ukhuwah (lower), jangan sampai merosot ke bawah garis rahabatus' shadr (lapang hati) dan batas tertinggi  tidak melampaui batas itsar (memprioritaskan saudara diatas kepentingan diri).

Bagi kesejatian ukhuwah berlaku pesan mulia yang tak asing di telinga dan hati setiap ikhwah : "Innahu in lam takun bihim falan yakuna bighoirihim, wa in lam yakunu bihi fasayakununa bighoirihi" (Jika ia tidak bersama mereka, ia tak akan bersama selain mereka. Dan mereka bila tidak bersamanya, akan bersama selain dia). Karenanya itu semua akan terpenuhi bila 'hati saling bertaut dalam ikatan aqidah',ikatan yang paling kokoh dan mahal. Dan ukhuwah adalah saudara iman sedang perpecahan adalah saudara kekafiran (Risalah Ta'lim, rukun Ukhuwah).

Gairah Cinta dan Kelesuan Ukhuwah

Karena bersaudara di jalan ALLAH telah menjadi kepentingan dakwah-Nya, maka "kerugian apapun" yang diderita saudara-saudara dalam iman dan da'wah,yang ditimbulkan oleh kelesuan, permusuhan ataupun pengkhianatan oleh mereka yang tak tahan beramal jama'i, akan mendapatkan ganti yang lebih baik. "Dan jika kamu berpaling, maka ALLAH akan gantikan dengan kaum yang lain dan mereka tidak akan jadi seperti kamu" (Qs. 47: 38).

Masing-masing kita punya pengalaman pribadi dalam da'wah ini. Ada yang sejak 20 tahun terakhir dalam kesibukan yang tinggi, tidak pernah terganggu oleh kunjungan yang berbenturan dengan jadwal da'wah atau oleh urusan yang merugikan da'wah. Mengapa ? Karena sejak awal yang bersangkutan telah tegar dalam mengutamakan kepentingan da'-wah dan menepiskan kepentingan lainnya. Ini jauh dari fikiran nekad yang membuat seorang melarikan diri dari tanggungjawab keluarga. Ada seorang ikhwah sekarang sudah masuk jajaran masyaikh. Dia bercerita, ketika menikah langsung berpisah dari kedua orang tua masing-masing, untuk belajar hidup mandiri atau alasan lain, seperti mencari suasana yang kondusif bagi pemeliharaan iman menurut persepsi mereka waktu itu. Mereka mengontrak rumah petak sederhana."Begitu harus berangkat (berdakwah-red) mendung menggantung di wajah pengantinku tercinta", tuturnya. Dia tidak keluar melepas sang suami tetapi menangis sedih dan bingung, seakan doktrin da'wah telah mengelupas.

Kala itu jarang da'i dan murabbi yang pulang malam apalagi petang hari, karena mereka biasa pulang pagi hari. Perangpun mulai berkecamuk dihati, seperti Juraij sangabid yang kebingungan karena kekhususan ibadah (sunnah) nya terusik panggilan ibu. "Ummi au shalati : Ibuku atau shalatku?" Sekarang yang membingungkan justru "Zauji au da'wati" : Isteriku atau da'wahku. Dia mulai gundah, kalau berangkat istri cemberut, padahal sudah tahu nikah dengannya risikonya tidak dapat pulang malam tapi biasanya pulang pagi, menurut bahasa Indonesia kontemporer untuk jam diatas 24.00. Dia katakan pada istrinya : "Kita ini dipertemukan oleh Allah dan kita menemukan cinta dalam da'wah. Apa pantas sesudah da'wah mempertemukan kita lalu kita meninggalkanda'wah. Saya cinta kamu dan kamu cinta saya tapi kita pun cinta Allah".

Dia pergi menerobos segala hambatan dan pulang masih menemukan sang permaisuri dengan wajah masih mendung, namun membaik setelah beberapa hari. Beberapa tahun kemudian setelah beranak tiga atau empat, saat kelesuan menerpanya, justru istri dan anak-anaknyalah yang mengingatkan, mengapa tidak berangkat dan tetap tinggal dirumah? Sekarang ini keluarga da'wah tersebut sudah menikmati berkah da'wah.

Lain lagi kisah sepasang suami istri yang juga dari masyarakat da'wah. Kisahnya mirip, penyikapannya yang berbeda. Pengantinnya tidak siap ditinggalkan untuk da'wah. Perang bathin terjadi dan malam itu ia absen dalam pertemuan kader (liqa'). Dilakukan muhasabah terhadapnya sampai menangis-menangis, ia sudah kalah oleh penyakit "syaghalatna amwaluna waahluna : kami telah dilalaikan oleh harta dan keluarga" (Qs. 48:11). Ia berjanji pada dirinya : "Meskipun terjadi hujan, petir dan gempa saya harus hadir dalam tugas-tugas da'wah". Pada giliran berangkat keesokan harinya ada ketukan kecil dipintu, ternyata mertua datang. "Wah ia yang sudah memberikan putrinya kepadaku, bagaimana mungkin kutinggalkan?".Maka ia pun absen lagi dan dimuhasabah lagi sampai dan menangis-nangis lagi. Saat tugas da'wah besok apapun yang terjadi, mau hujan, badai, mertua datang dll pokoknya saya harus datang. Dan begitu pula ketika harus berangkat ternyata ujian dan cobaan datang kembali dan ia pun tak hadir lagi dalam tugas-tugas dakwah. Sampai hari ini pun saya melihat jenis akh tersebut belum memiliki komitmen dan disiplin yang baik. Tidak pernah merasakan memiliki kelezatan duduk cukup lama dalam forum da'wah, baik halaqah atau pun musyawarah yang keseluruhannya penuh berkah.

Sebenarnya adakah pertemuan-pertemuan yang lebih lezat selain pertemuan-pertemuan yang dihadiri oleh ikhwah berwajah jernih berhati ikhlas ? Saya tak tahu apakah mereka menemukan sesuatu yang lain, "in lam takun bihim falan takuna bighoirihim". Di Titik Lemah Ujian. Datang Akhirnya dari beberapa kisah ini saya temukan jawabannya dalam satu simpul. Simpul ini ada dalam kajian tematik ayat QS Al-A'raf  Ayat 163 :

"Tanyakan pada mereka tentang negeri di tepi pantai, ketika mereka melampaui batas aturan Allah di (tentang) hari Sabtu, ketika ikan-ikan buruan mereka datang melimpah-limpah pada Sabtu dan di hari mereka tidak bersabtu ikan-ikan itu tiada datang. Demikianlah kami uji mereka karena kefasikan mereka".

Secara langsung tema ayat tentang sikap dan kewajiban amar ma'ruf nahyi munkar. Tetapi ada nuansa lain yang menambah kekayaan wawasan kita. Ini terkait dengan ujian. Waktu ujian itu tidak pernah lebih panjang daripada waktu hari belajar, tetapi banyak orang tak sabar menghadapi ujian, seakan sepanjang hanya ujian dan sedikit hari untuk belajar. Ujian kesabaran, keikhlasan, keteguhan dalam berda'wah lebih sedikit waktunya dibanding berbagai kenikmatan hidup yang kita rasakan. Kalau ada sekolah yang waktu ujiannya lebih banyak dari hari belajarnya, maka sekolah tersebut dianggap sekolah gila. Selebih dari ujian-ujian kesulitan, kenikmatan itu sendiri adalah ujian. Bahkan, alhamdulillah rata-rata kader da'wah sekarang secara ekonomi semakin lebih baik. Ini tidak menafikan (sedikit) mereka yang roda ekonominya sedang dibawah.

Seorang masyaikh da'wah ketika selesai menamatkan pendidikannya di  Madinah, mengajak rekannya untuk mulai aktif berda'wah. Diajak menolak, dengan alasan ingin kaya dulu, karena orang kaya suaranya didengar orang dan kalau berda'wah, da'wahnya diterima. Beberapa tahun kemudian mereka bertemu. "Ternyata kayanya kaya begitu saja", ujar Syaikh tersebut. Ternyata kita temukan kuncinya, "Demikianlah kami uji mereka karena sebab kefasikan mereka". Nampaknya Allah hanya menguji kita mulai pada titik yang paling lemah. Mereka malas karena pada hari Sabtu yang seharusnya dipakai ibadah justru ikan datang, pada hari Jum'at jam 11.50 datang pelanggan ke toko. Pada saat-saat jam da'wah datang orang menyibukkan mereka dengan berbagai cara. Tapi kalau mereka bias melewatinya dengan azam yang kuat, akan seperti kapal pemecah es. Bila diam salju itu tak akan menyingkir, tetapi ketika kapal itu maju, sang salju membiarkannya berlalu.

Kita harus menerobos segala hal yang pahit seperti anak kecil yang belajar puasa, mau minum tahan dulu sampai maghrib. Kelezatan, kesenangan dan kepuasan yang tiada tara, karena sudah berhasil melewati ujian dan cobaan sepanjang hari.

Iman dan Pengendalian Kesadaran Ma'iyatullah

Aqidah kita mengajarkan, tak satupun terjadi di langit dan di bumi tanpa kehendak ALLAH. ALLAH berkuasa menahan keinginan datangnya tamu-tamu yang akan menghalangi kewajiban da'wah. Apa mereka fikir orang-orang itu bergerak sendiri dan ALLAH lemah untuk mencegah mereka dan mengalihkan mereka ke waktu lain yang tidak menghalangi aktifitas utama dalam da'wah? Tanyakan kepada pakarnya, aqidah macam apa yang dianut seseorang yang tidak meyakini ALLAH menguasai segalanya? Mengapa mereka yang melalaikan tugas da'wahnya tidak berfikir perasaan sang isteri yang keberatan ditinggalkan beberapa saat, juga sebenarnya batu ujian yang dikirim ALLAH, apakah ia akan mengutamakan tugas da'wahnya atau keluarganya yang sudah punya alokasi waktu ? Yang ia beri mereka makanan dari kekayaan ALLAH ? Karena itu mari melihat dimana titik lemah kita. Yang lemah dalam berukhuwah, yang gerah dan segera ingin pergi meninggalkan kewajiban liqa', syuro atau jaulah. Bila mereka bersabar melawan rasa gerah itu, pertarungan mungkin hanya satu dua kali, sesudah itu tinggal hari-hari kenikmatan yang luar biasa yang tak tergantikan. Bahkan orang-orang salih dimasa dahulu mengatakan "Seandainya para raja dan anak-anak raja mengetahui kelezatan yang kita rasakan dalam dzikir dan majlis ilmu, niscaya mereka akan merampasnya dan memerangi kita dengan pedang". Sayang hal ini tidak bisa dirampas, melainkan diikuti, dihayati dan diperjuangkan.

Berda'wah adalah nikmat, berukhuwah adalah nikmat, saling menopang dan memecahkan problematika da'wah bersama ikhwah adalah nikmat,andai saja bisa dikhayalkan oleh mereka menelantarkan modal usia yang ALLAH berikan dalam kemilau dunia yang menipu dan impian yang tak kunjung putus. Ayat ini mengajarkan kita, ujian datang di titik lemah. Siapa yang lemah di bidang lawan jenis, seks dan segala yang sensual tidak diuji di bidang keuangan, kecuali ia juga lemah disitu. Yang lemah dibidang keuangan, jangan berani-berani memegang amanah keuangan kalau kamu lemah di uang hati-hati dengan uang. Yang lemah dalam gengsi, hobi popularitas, riya' mungkin- dimasa ujian - akan menemukan orang yang terkesan tidak menghormatinya. Yang lidahnya tajam dan berbisa mungkin diuji dengan jebakan-jebakan berkomentar sebelum tabayun. Yang lemah dalam kejujuran mungkin selalu terjebak perkara yang membuat dia hanya 'selamat' dengan berdusta lagi. Dan itu arti pembesaran bencana.

Kalau saja Abdullah bin Ubay bin Salul, nominator pemimpin Madinah (d/h Yatsrib) ikhlas menerima Islam sepenuh hati dan realistis bahwa dia tidak sekaliber Rasulullah SAW, niscaya tidak semalang itu nasibnya. Bukankah tokoh-tokoh Madinah makin tinggi dan terhormat, dunia dan akhirat dengan meletakkan diri mereka di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW ? Ternyata banyak orang yang bukan hanya bakhil dengan harta yang ALLAH berikan, tetapi juga bakhil dengan ilmu, waktu, gagasan dan kesehatan yang seluruhnya akan menjadi beban tanggung jawab dan penyesalan.

Seni Membuat Alasan

Perlu kehati-hatian - sesudah syukur - karena kita hidup di masyarakat Da'wah dengan tingkat husnuzzhan yang sangat tinggi. Mereka yang cerdas tidak akan membodohi diri mereka sendiri dengan percaya kepada sangkaan baik orang kepada dirinya, sementara sang diri sangat faham bahwa ia tak berhak atas kemuliaan itu. Gemetar tubuh Abu Bakar RA bila disanjung.

"Ya ALLAH, jadikan daku lebih baik dari yang mereka sangka, jangan hukum daku lantaran ucapan mereka dan ampuni daku karena ketidaktahuan mereka", demikian ujarnya lirih. Dimana posisi kita dari kebajikan Abu  Bakr Shiddiq RA ?"Alangkah bodoh kamu, percaya kepada sangka baik orang kepadamu, padahal engkau tahu betapa diri jauh dari kebaikan itu", demikian kecaman Syaikh Harits Almuhasibi dan Ibnu Athai'Llah.

Di antara nikmat ALLAH ialah  (penutup) yang ALLAH berikan para hamba-Nya, sehingga aibnya tak dilihat orang. Namun pelamun selalu mengkhayal tanpa mau merubah diri. Demikian mereka yang memanfaatkan lapang hati komunitas da'wah tumbuh dan menjadi tua sebagai seniman maaf, "Afwan ya Akhi".Tetapi ALLAH-lah Yang Memberi Mereka Karunia Besar Kelengkapan Amal Jama'i tempat kita 'menyumbangkan' karya kecil kita, memberikan arti bagi eksistensi ini. Kebersamaan ini telah melahirkan kebesaran bersama. Jangan kecilkan makna kesertaan amal jama'i kita, tanpa harus mengklaim telah berjasa kepada Islam dan da'wah. "Mereka membangkit-bangkitkan (jasa) keislaman mereka kepadamu.

Katakan : 'Janganlah bangkit-bangkitkan keislamanmu (sebagai sumbangan bagi kekuatan Islam,(sebaliknya hayatilah) bahwa ALLAH telah memberi kamu karunia besar dengan membimbing kamu ke arah Iman, jika kamu memang jujur" (Qs. 49;17). ALAH telah menggiring kita kepada keimanan dan da'wah. Ini adalah karunia besar. Sebaliknya, mereka yang merasa telah berjasa, lalu - karena ketidakpuasan yang lahir dari konsekwensi bergaul dengan manusia yang tidak maksum dan sempurna - menunggu musibah dan kegagalan, untuk kemudian mengatakan: "Nah, rasain!" Sepantasnya bayangkan, bagaimana rasanya bila saya tidak bersama kafilah kebahagiaan ini?. Saling mendo'akan sesama ikhwah telah menjadi ciri kemuliaan pribadi mereka, terlebih doa dari jauh. Selain ikhlas dan cinta tak nampak motivasi lain bagi saudara yang berdoa itu. ALLAH akan mengabulkannya dan malaikat akan mengamininya, seraya berkata :"Untukmu pun hak seperti itu", seperti pesan Rasulullah SAW. Cukuplah kemuliaan ukhuwah dan jamaah bahwa para nabi dan syuhada iri kepada mereka yang saling mencintai, bukan didasari hubungan kekerabatan, semata-mata iman dan cinta fi'llah.

"Ya ALLAH, kami memohon cinta-Mu, cinta orang-orang yang mencintai-Mu dan cinta kepada segala yang akan mendekatkan kami kepada cinta-Mu"

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berkumpul untuk mencurahkan mahabbah hanya kepada-Mu. Bertemu untuk taat kepada-Mu. Bersatu dalam rangka menyeru (dijalan-Mu). Dan berjanji setia untuk membela syariat-Mu. Maka kuatkanlah ikatan pertalianya, Ya Allah, abadikanlah kasih sayangnya, tunjukanlah jalannya dan penuhilah dengan cahaya-Mu yang tak pernah redup, lapangkanlah dadanya dengan limpahan iman dan keindahan tawakal kepada-Mu. Hidupkanlah dengan ma’rifat-Mu dan matikanlah dalam keadaan syahid di jalan-Mu. Sesungguhnya Engkau sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Amiin. Dan semoga sholawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya dan kepada sahabatnya.”

Catatan: Oleh : KH. Rahmat Abdullah (Alm)

Ma'iyatullah dan Optimisme

Ma’iyatullah dan Optimisme Kader Dakwah


Ikhwah dan akhwat fillah rahimakumullah,
Masih amat membekas di benak kita kisah tentang keteladanan seorang penggembala kambing di zaman Khalifah Umar ra. Inilah sosok pemuda yang akan terus menjadi ‘icon’ dakwah sepanjang masa. Betapa tidak, di tengah himpitan dan kerasnya pergulatan hidup ini tidak sekeping pun dari keimanannya, keyakinannya digadai, ditukar atau bahkan dijual demi mendapatkan kenikmatan hidup yang sesaat ini.
Yang menarik dari kisah ini adalah kata kunci yang menjadi eye catching dari keseluruhan kisah ini yaitu “fa aina Allah?”. Kalimat sederhana itu mengalir dari lidah tegar penuh optimis seorang mukmin sejati. Kalimat “fa aina Allah”’ itu tidak dialamatkan untuk mencuri perhatian Khalifah Umar RA atau sengaja ditujukan untuk mencari muka –carmuk—seperti yang sering dipertontonkan kebanyakan masyarakat di negeri ini saat kunjungan para pejabat ke mereka. Dia tidak lahir begitu saja, akan tetapi kalimat spektakuler ini dilafalkan dari sanubari hati yang paling dalam karena mahabbah kepada Allah SWT.

Ikhwah dan akhwat fillah rahimakumullah,
Demikianlah sikap kita dalam menjalani kehidupan dakwah ini. Sepanjang kultur “fa aina Allah” telah meresap dalam-dalam pada diri kita, inilah modal awal kita membangun optimisme dakwah. Bayangkan, seorang penggembala kambing yang hidup di tengah gurun, jauh dari pantauan siapa pun, tidak tersentuh teknologi tinggi –350 tahun lalu—mampu merekonstruksi ma’iyatullah begitu indah.
Sudah barang tentu tidak sulit bagi kita merekonstruksi dan menghayati nilai-nilai ma’iyatullah di era teknologi informasi sekarang ini. Allah SWT sudah pasti dan  selalu menyertai hamba-hamba-Nya yang beramal, bergerak, berjuang, dan berjihad demi kemuliaan Islam dan kaum muslimin. Keyakinan ini sudah selayaknya menghujam pada diri kita, “Intanshurullah yanshurkum wa yutsabbit aqdamakum.” (Q.S. 47/Muhammad: 10); “Alladziina jaahadu fiina lanahdiyannahum subuulana wa innalaaha la ma’al muhsinin .”

Ikhwah dan akhwat fillah rahimakumullah,
Ma’iyatullah harus diartikan bahwa perjuangan menegakkan dien yang hak melalui jalan dakwah dengan ahdaf dan qararat di dalamnya pasti didukung, ditolong, dan dibela Allah SWT beserta bala tentaranya. Inilah fondasi dalam merangkai optimisme untuk memetik kemenangan demi kemenangan di jalan dakwah ilallah. Tidak boleh sedikit pun terbesit keputusasaan, pesimistis dan kehilangan harapan di dalam diri kita. Bahkan, sifat seperti ini dilarang Allah, “...walaa tahinuu fibthigho’il qoum…(Q.S. 4/An-Nisaa’: 104). Ma’iyatullah selalu berbuah ta’yidullah. Artinya, dukungan dan pertolongan berupa apa saja pasti Allah berikan kepada pembela, penolong, dan penegak dienullah ini.

Ikhwah dan akhwat fillah rahimakumullah,
Tidak boleh ada keraguan bagi kita. Dakwah ini, cepat atau lambat, Allah SWT akan perlihatkan kemenangan itu dengan kita saksikan sendiri atau kita sudah bersaksi di hadapan Allah. Kesertaan dan penyertaan Allah dalam kehidupan ini mesti tercermin dalam setiap gerak-gerik kita.
Untuk itu perlu muhafazhah atau penjagaan ma’iyatullah ini agar tetap berada di sekitar kita. Isyarat-isyarat kemenangan banyak Allah SWT paparkan di dalam Al-Qur’an al-karim, salah satunya adalah dalam surat Al-Anfaal: 45-47.
      Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung. Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud ria kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan. Dan ketika setan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan mereka dan mengatakan, "Tidak ada seorang manusia pun yang dapat menang terhadap kamu pada hari ini, dan sesungguhnya saya ini adalah pelindungmu." Maka tatkala kedua pasukan itu telah dapat saling lihat melihat (berhadapan), setan itu balik ke belakang seraya berkata, "Sesungguhnya saya berlepas diri daripada kamu; sesungguhnya saya dapat melihat apa yang kamu sekalian tidak dapat melihat; sesungguhnya saya takut kepada Allah." Dan Allah sangat keras siksa-Nya.
Inilah dhawabith yang akan senantiasa menjaga mai’yatullah kita.
1.    Bersikap tsabat
Kehadiran, keterlibatan, dan keterikatan kita dalam dakwah ini adalah pilihan sekaligus iradah Allah. Artinya, kita secara sadar dan penuh kesadaran telah memilih jalan ini, untuk kemudian tekad suci ini bertemu dengan kemauan dan kehendak Allah. Jadilah dia sebuah ketegaran, keteguhan, tsabat yang tidak mudah diguncang oleh kekuatan sebesar apapun kecuali oleh sang Pemilik kekuatan itu sendiri. Inilah jamaah dakwah yang kita telah beriltizam di dalamnya. Kita patuhi amarannya, baik dalam susah ataupun senang, baik dalam keadaan lapang atau pun sempit. Bergerak, berputar bersama jamaah ini kemana pun dia bergerak menuju ridha Allah SWT dengan pencapaian ahdaf sebesar-besarnya hingga tegaknya khilafatullah fil ardh.

2.    Banyak-banyak dzikrullah
Sikap tsabat mengantarkan seseorang untuk senantiasa dzikrullah, mengingat perintah-Nya, mengingat larangan-Nya, membesarkan asma-Nya, menyucikan dzat-Nya dan memuji kebesaran-Nya. Kesibukan dzikrullah akan mengantarkan kita pada ma’unah Allah SWT. Bahkan, akan menenteramkan jiwa kita sebagai modal dalam menghadapi tantangan, rintangan, dan halangan di jalan dakwah, “...ala bidzkrillahi tathma’innal quluub…. Dzikrullah akan membawa pelakunya menjadi a’dho yang qonaah atas setiap keputusan dan kebijakan jamaah karena dia akan selalu husnudz-zhan dan berpikir positif. Sikap ini tentunya dilanjutkan dengan kreasi-kreasi dalam menjalankan amr jama’ah.

3.    Taat kepada Allah SWT dan kepada Rasul SAW.
Faktor kemenangan dakwah ditandai dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ma’rakah Badr menjadi monumen kemenangan tentara kebenaran dalam ketaatannya kepada Allah dan Rasul. Sebaliknya, di perang Uhud inflasi ketaatan telah berakibat kekalahan. Oleh karena itu, jangan pernah kita menganggap remeh, mudah, bahkan meninggalkan ketaatan itu.

4.    Tidak Berbantah-bantahan (adamut tanaju)
Prinsipnya, berbeda pendapat adalah biasa. Tapi, menjadi tidak biasa ketika perbedaan pendapat tersebut teraktualisasi menjadi friksi-friksi atau benturan-benturan kepentingan yang tidak lillah yang pada gilirannya akan berakhir dengan terbentuknya faksi-faksi, atau kelompok, atau golongan.
Itulah yang tengah terjadi dalam masyarakat negeri ini. Untuk itu, soliditas struktural dan personal menjadi hal mutlak dalam menjalankan dakwah. Bagaimana mungkin terbentuk wihdatul ummah sementara tidak terjadi wihdatul shufuf di kalangan pejuang Islam sendiri. Alhamdulillah, jama’ah kita diberkahi Allah SWT dengan orang-orang yang sadar akan hal tersebut sehingga matanatut tanzhimiyah terjadi di jamaah kita ini.

5.    Bersabar
Allah SWT menyuruh kita agar bersabar dalam segala hal, termasuk dalam dakwah. Akan tetapi, yang jauh lebih penting agar kita tetap sabar dalam menghadapi musibah kehidupan seperti kematian orang yang kita cintai, jatuh ke lembah papa setelah mengalami hidup layak, atau perasaan takut bahwa hal tersebut akan menimpa kita.
Ini diterangkan oleh Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 155,
"Dan sungguh Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berilah berita gembira kepada orang-orang yang sabar."
Kabar gembira buat orang yang bersabar,
"Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan Inna lillahi wa inna ilaihi raaji'uun. (Sesungguhnya kami berasal dari Allah dan kepada-Nya kami akan kembali.)" (Q.S. 2/Al-Baqarah: 156). 
Adapun  balasan bagi orang yang sabar adalah keberkahan, kesempurnaan, rahmat dan petunjuk dari Allah.
"Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabar sajalah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas."  (Q.S. 39/Az-Zumar: 10).
Allah SWT akan mencukupkan pahala bagi orang yang sabar itu tanpa batas. Kemenangan Rasulullah SAW dalam perjuangan menegakkan Islam adalah buah dari kesabaran.

6.    Tidak takabur (‘adamul bathr)
Alhamdulillah, patut kita syukuri bahwa jamaah dakwah kita yang telah menjadi institusi formal banyak mendapat sambutan hangat yang luar biasa dari masyarakat. Tidak ketinggalan segudang julukan terhormat disematkan pada jamaah kita.
Namun, sambutan, julukan, dan gelar tersebut sudah barang tentu tidak sampai menyebabkan kita menjadi besar kepala. Ingat, kekalahan kaum muslimin di perang Hunain justru di saat kaum muslimin berperang dalam jumlah pasukan yang besar.
Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka, "Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu." (Q.S. 9/At-Taubah: 46)
Penyebab kekalahan tersebut dikarenakan sifat ujub berlebihan. Yang terpenting bagi kita adalah menggiring sambutan, julukan dan gelar masyarakat tadi menjadi benar-benar memenangkan partai ini pada pemilu mendatang.

7.    Ikhlas (‘adamu riya’)
Ikhlas, titik. Itu mungkin kata kunci yang akan menyelamatkan amal kita di akhirat kelak. Inilah sifat yang amat dikhawatiri para sahabat Rasul SAW. Termasuk kekhawatiran Abu Bakar Ash-Shiddiq tentang hal ini, sehingga beliau senantiasa berdoa dan berlindung dari sifat riya’ ini, “Allahumma inna naudzu bika min annusyrika bika syai’an na’lamuh wa nastaghfiruka lima laa na’lamuh.”

Ikhwah dan akhwat fillah rahimakumullah,
Demikianlah, sejatinya mai’yatullah itu akan menumbuhsuburkan optimisme dalam diri kita dalam menyongsong kemenangan dakwah. Terlebih, ketika ma’iyatullah itu dibingkai dalam akhlak harakiyah yang tercermin dalam Surat Al-Anfal di atas. Akhirul kalam billahi taufiqi wal hidayah. In uriidu illal ishlahi mastatho’tum.


--Seri Taujihat Ri'ayah Ma'nawiyah--