Abu Bakar Ash-Shiddiq bertugas menyertai Rasulullah saw dalam perjalanan. Abdullah putera Abu Bakar bertugas sebagai mediator informasi yang berkembang di kalangan orang-orang Quraisy untuk disampaikan kepada Rasulullah saw dan ayahnya yang bersembunyi di Goa Tsur sebelum melanjutkan perjalanan ke Madinah.
Jendela Keluarga: Mewujudkan Keluarga Islami
Keluarga muslim adalah keluarga yang dibangun atas dasar nilai-nilai keislaman, Setiap anggota keluarga komintmen terhadap nilai-nilai keislaman. Sehingga keluarga menjadi tauladan dan lebih dari itu keluarga menjadi pusat dakwah Islam.
Merajut Keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah
Keluarga sakinah adalah keluarga yang semua anggota keluarganya merasakan cinta kasih, keamanan, ketentraman, perlindungan, bahagia, keberkahan, terhormat, dihargai, dipercaya dan dirahmati oleh Allah SWT.
Cinta Tanpa Syarat
Ketika suami dan isteri sudah menetapkan “cinta tanpa syarat” dan saling memahami, maka perbedaan dan pertengkaran tidak membesar menjadi konflik yang merusakkan kebahagiaan keluarga.
Cinta Tidak Harus Dengan Kata
Mencintai dengan sederhana, adalah mencintai “dengan kata yang tak sempat diucapkan” dan “dengan isyarat yang tak sempat disampaikan”.
Komunikasi dan Interaksi Penuh Cinta
Hal yang sangat vital perannya dalam menjaga keharmonisan rumah tangga adalah interaksi dan komunikasi yang sehat, komunikasi yang indah dan melegakan serta komunikasi penuh cinta antara seluruh anggotanya.
Friday, January 31, 2014
Keluarga Da'wah Keluarga Barokah
Abu Bakar Ash-Shiddiq bertugas menyertai Rasulullah saw dalam perjalanan. Abdullah putera Abu Bakar bertugas sebagai mediator informasi yang berkembang di kalangan orang-orang Quraisy untuk disampaikan kepada Rasulullah saw dan ayahnya yang bersembunyi di Goa Tsur sebelum melanjutkan perjalanan ke Madinah.
Thursday, January 30, 2014
Makna (Cinta) Keluarga Dalam Setiap Jiwa Penghuninya
Sumber: http://www.dakwatuna.com/
Wednesday, January 29, 2014
Menyingkirkan Sombong Dan Riya’ Dari Hati Kita
Saudaraku,
Yunus bin Ubaid rahimahullah pernah bertutur:
“Umat ini tidak akan pernah terkena riya’ murni ataupun sombong yang utuh.”
Ia ditanya, “Kenapa bisa demikian?.”
Ia menjawab, “Tiada kesombongan total dengan bersujud. Dan tiada pamer murni jika hati diwarnai tauhid.”
Saudaraku,
Jika kita ingin mengikis habis kesombongan yang bersemayam di dalam kalbu kita, maka jalan yang kita tempuh adalah banyak bersujud kepada Allah Ta’ala. Itu artinya semakin banyak kita sujud dan tunduk di hadapan-Nya, maka kesombongan kita semakin menyingkir dari hati kita.
Sujud menyimbolkan ketundukan hati, pikiran, anggota tubuh kita kepada Zat yang mahakuat, mahaperkasa dan mahamengayomi.
Sujud juga merupakan indikasi kuatnya ibadah kita kepada Allah Ta’ala. Semakin kita memperbanyak sujud, maka puncak ubudiyah semakin dekat.
Saudaraku,
Orang yang pamer dalam amalannya, pertanda nilai dan bobot tauhid dalam hatinya sangat lemah. Bahkan pohon tauhid dalam dirinya telah terancam punah.
Menyuburkan pohon tauhid tentunya dengan menyiraminya dengan hujan iman. Sementara tanaman iman akan lesu dan bahkan kering, jika hama riya’ dan wereng sum’ah, mengganggu pertumbuhannya.
Saudaraku,
Mari kita singkirkan riya dan sombong dari tubuh kita, dengan melestarikan tauhid dalam hati kita dan memperbanyak sujud dan menghiba di hadapan-Nya. Semoga.
Oleh Ust. Fir’adi Nasrudin, Lc.
Tuesday, January 28, 2014
Dimanakah Posisi Kita?
Saudaraku,
Saat kita merasakan lelah dalam mengarungi kehidupan
Saat kita rasakan hambar di majlis ilmu
Saat semangat kita redup untuk menambah ilmu pengetahuan
Saat kita resah berada di sekitar ahli ilmu
Saat kita tak bergairah untuk menularkan ilmu kepada orang lain
Saat kita malas untuk mengulang-ulang hafalan yang telah ada
Saat Allah terasa jauh dari kehidupan kita
Saat debu-debu syirik menempel di rumah-rumah kita
Saat lidah terasa kelu untuk berzikir dan memuji-Nya
Saat sinar petunjuknya tak menyinari kalbu kita
Saat kita futur dan lemah dalam mendaki puncak ubudiyah
Saat kita selalu sibuk dengan urusan dunia, karir dan pekerjaan kita
Saat akherat menjauh dan bahkan kita lupakan
Saudaraku,
Mungkin sudah saatnya kita mengenang kembali nasihat Ibnul Qayyim, agar kita mengevaluasi bekal kita menuju Allah. Bekal ilmu pengetahuan.
Ibnul Qayyim berkata,
“Dengan ilmu kita mengenal Allah dan mengabdi kepada-Nya.
Dengannya kita mengingat dan mentauhidkan-Nya.
Dengannya kita senantiasa memuji dan mengagungkan-Nya.
Dengannya para pendaki puncak ubudiyah selalu dalam petunjuk-Nya.
Di atas jalan ilmu, orang yang kembali akan sampai kepada-Nya.
Dari pintu ilmu, hamba-hamba-Nya masuk ke surga-Nya.
Mengulang-ulang ilmu yang pernah dikecap merupakan tasbih
Mengadakan penelitian tentangnya adalah jihad
Mencarinya adalah taqarrub kepada Allah
Menularkannya adalah sedekah
Mengkaji dan mengajarkannya setara dengan shiyam dan shalat malam
Kebutuhan manusia terhadapnya melebihi kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman.
(Madarijul salikin, Ibnul Qayyim).
Saudaraku,
Mari kita instrospeksi diri. Sudahkah kita layak menjadi bagian dari ahli ilmu? Penuntut ilmu? Yang mengajarkan ilmu? Atau seperti apa diri kita sekarang ini? Jawablah dengan kejujuran hati nurani. Wallahu a’lam bishawab.
Oleh Ust. Fir’adi Nasrudin, Lc. (manhajuna.com)
Monday, January 27, 2014
Keluarga Dakwah, Basis Kekuatan Umat
Jendela Keluarga: Medan pertarungan utama antara Islam dengan jahiliyah adalah pertarungan sosial, antara tatanan masyarakat Islam dengan tatanan sosial jahiliyah. Kedua fenomena ini bertolak belakang, yang satu dibangun di atas landasan Aqidah Islamiyah, Syariat Islam dan akhlaqul karimah, sementara yang lain dibangun di atas pondasi cinta dunia dan hamba nafsu.
Pertarungan ini berlangsung semenjak masyarakat Islam masih lemah di tengah hegemoni masyarakat jahiliyah, maupun setelah masyarakat Islam menjadi pemenang dan mendominasi. Maknanya, masyarakat Islam tak pernah kehilangan kekhasan ini, meski sedang sulit atau dikuasai musuh.
Keluarga memiliki peran kunci dalam membangun tatanan masyarakat Islami. Satuan sosial terkecil yang membentuk masyarakat adalah keluarga. Oleh karenanya, keluarga harus menjadi fokus garapan untuk menjadi bahan baku membentuk masyarakat Islami. Masyarakat yang menyadari perannya sebagai barisan pasukan yang berhadap-hadapan dengan barisan prajurit sosial jahiliyah.
Ada Perintah di balik Keluarga
Allah swt berfirman:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Rum: 21)
Ayat ini menjelaskan sunnatullah bahwa seorang pria ditaqdirkan Allah memerlukan wanita sebagai pasangan hidup agar si pria terjinakkan nafsunya dengan pasangan halal tersebut. Selain itu juga naluri cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah) bisa disalurkan dengan panduan syariat Allah. Kenyataan yang tak bisa ditolak manusia ini merupakan salah satu “ayat-ayat kauniyah” (tanda-tanda kekuasaan Allah), sama dengan tanda kekuasaan yang lain seperti hukum alam tentang peredaran siang malam, matahari bulan, kehidupan kematian, dan sebagainya.
Padahal kita tahu, di balik tanda-tanda kekuasaan Allah, ada perintah syariat yang menyertainya. Di balik peredaran siang malam, ada perintah sholat lima waktu. Di balik fenomena fajar, ada perintah sholat Shubuh. Di balik fenomena tengglamnya matahari, terdapat perintah sholat Maghrib. Demikian halnya, hubungan menyatu antara pria dan wanita karena terpuaskannya syahwat, terjalinnya cinta dan terpeliharanya kasih sayang, harus dijadikan tanda untuk sebuah perintah di baliknya.
Jika keluarga yang dibangun seorang muslim hanya dalam rangka menghasilkan sakinah, mawaddah wa rahmah, maka keluarga tersebut baru melaksanakan kehendak kauniyah (hukum alam) Allah. Adapun kehendak syar’iyyah (hukum kalam) Allah belum dilaksanakan. Jika demikian, tujuan pernikahan menjadi sangat simpel, sekedar menghalalkan saluran syahwat, hubungan cinta dan kasih sayang antara dua orang manusia yang boleh jadi sudah terjalin lama sebelum menikah melalui pacaran.
Keluarga Jahiliyah
Keluarga yang dibangun melalui ikatan pernikahan dalam konsepsi Jahiliyah sangat sederhana. Pernikahan hanya sebuah momentum pengumuman kepada khalayak bahwa kedua manusia tersebut saling memiliki. Pria memiliki wanita dan wanita memiliki pria. Bahkan di Barat pengumuman kepemilikan ini diperluas, menjadi pria boleh memiliki pria dan wanita boleh memiliki wanita. Mengapa ? Karena dalam konsepsi Jahiliyah, cinta adalah segalanya. Bila seorang pria mencintai pria yang lain, ia berhak melegalkannya dan mengumumkannya dalam ikatan pernikahan, untuk mendapatkan sakinah wawaddah wa rahmah.
Kepemilikan yang dimaksud dalam pernikahan Jahiliyah hanya kepemilikan untuk menyalurkan syahwat. Adapun aurat, itu bukan termasuk kepemilikan, oleh karenanya boleh laki-laki bukan suaminya untuk melihat aurat. Bahkan, semakin keseksian dan aurat istrinya dikagumi banyak mata, sang suami makin bangga. Alam pikiran Jahiliyah yang sudah menular sebagiannya kepada umat Islam.
Dalam mengelola aset keluarga berupa anak-anak, keluarga Jahiliyah juga tak memiliki konsep yang jelas. Dengan aqidah Liberalisme dan Pluralisme, anak-anak dibebaskan memilih kesukaannya, tak ada konsep benar dan salah. Semua baik bagi anak-anak sepanjang membuat masa depan mereka cerah dalam percaturan dunia.
Bila kita sepakat dengan ciri-ciri keluarga Jahiliyah tersebut, maka kita berhak miris. Kaum muda Umat Islam makin banyak yang tak lagi peduli dengan tujuan mulia dibangunnya keluarga. Pernikahan hanya menjadi upacara hambar di ujung sebuah jalan panjang bernama pacaran bahkan “kecelakaan”.
Keluarga Dakwah, Bukan Hanya Keluarga Samara
Pernikahan untuk membangun keluarga adalah sebuah tanda alam, sunnatullah kauniyah, seperti tanda alam lain. Pernikahan – baik dilakukan muslim maupun kafir – bertujuan melanggengkan sakinah, mawaddah dan rahmah (samara). Fakta membuktikan, banyak pasangan non muslim yang pernikahannya harmonis hingga puluhan tahun, saling cinta, setia dan kasih sayang sampai ajal. Artinya, samara bukan monopoli muslim, karena memang hanya sebuah tanda kekuasaan Allah yang terjadi secara umum.
Jadi yang khas pada pernikahan muslim bukan pada samara-nya, tapi pada perintah syariat di balik samara tersebut, apa peran keluarga muslim dalam ikut mendakwahkan dan membela Islam. Ada banyak syariat yang mutlak membutuhkan keluarga samara dalam pelaksanaannya. Ada dakwah, amar makruf nahi munkar, sedekah, pendidikan Islam, bahkan jihad fi sabilillah. Syekh Rifai Surur meringkasnya dengan istilah Keluarga Dakwah, keluarga yang tercelup dengan nafas dakwah dan bergerak dengan spirit dakwah.
Bahkan, dinamika dan lika-liku perjalanan dakwah yang diemban keluarga, bisa menjadi batu ujian yang sangat ideal untuk cinta dan kesetiaan pasangan. Demikian pula sebaliknya, di tengah dinamika cinta dan kesetian keluarga, bisa dilakukan ibadah dan pengabdian kepada Allah. Di tangan keluarga dakwah, resiko dakwah justru menguatkan samara dan sebaliknya samara menjadi media melaksanakan dakwah.
Nabi Ibrahim as setelah menikah dengan Hajar dan dikaruniai anak, Sarah cemburu dengan meminta Ibrahim as menyingkirkan jauh-jauh Hajar dari pandangannya. Ini adalah dinamika samara dalam keluarga. Tapi uniknya, sambil memberi solusi atas dinamika keluarga ini, Ibrahim as diperintahkan oleh Allah untuk menempatkan Hajar dan putranya di Mekah, lembah kering di tengah padang pasir jauh dari kediaman Sarah. Satu pekerjaan untuk dua tujuan; solusi masalah rumah tangga, sekaligus pelaksanaan perintah Allah. Indah sekali !
Dari kisah ini dapat ditarik pelajaran: laksanakan dakwah, niscaya Allah akan berikan solusi masalah rumah tangga kita, seperti Allah memberi solusi masalah rumah tangga Ibrahim ! Sebaliknya, abaikan dakwah, niscaya kita hanya akan disibukkan dengan urusan rumah tangga karena tak ada “jalan keluar langit’ yang tersedia. wallahu a’lam bis-showaab.
by elhakimi (elhakimi.wordpress.com)
Sunday, January 26, 2014
Kehangatan Rumah Jangan Melenakanmu Dari Perjuangan
Jendela Keluarga: Mengurus keluarga itu sangat penting. Membahagiakan keluarga, adalah bagian dari kewajiban. Namun tidak boleh terlena oleh kehangatan keluarga, yang menyebabkan kita melalaikan kewajiban dakwah dan tidak menunaikan amanah. Semua amanah harus ditunaikan dengan sepenuh tanggung jawab.
Ternyata ada pula seorang sahabat yang sempat tertinggal, bernama Abu Khaitsamah. Namun akhirnya iapun menyusul Rasulullah saw di Tabuk.
Jamuan istimewa dari Para Isteri Tercinta
Thabrani, Ibnu Ishaq dan al-Wakidi meriwayatkan bahwa setelah Rasulullah saw berjalan beberapa hari menuju Tabuk, Abu Khaitsamah kembali kepada keluarganya di hari yang sangat panas sekali. Ia disambut oleh kedua istrinya di dua kemah yang terletak di tengah kebun. Masing–masing telah menyiapkan kemahnya dengan nyaman, lengkap dengan air sejuk dan makanan beraneka macam. Ketika masuk di pintu kemah dia melihat kedua istrinya dan apa yang telah mereka persiapkan.
Tertegun Abu Khaitsamah menyaksikan itu semua. Jamuan yang sangat istimewa, dari isteri-isteri tercinta. Udara yang panas, rasa lelah yang mendera, dijamu dengan minuman dingin, serta makanan yang lezat, ditemani dua isteri di dua kemah yang berbeda. Hatinya justru gundah, maka segera ia berkata :
”Rasulullah saw berjemur di terik matahari dan diterpa angin panas sedangkan Abu Khaitsamah bersantai di kemah yang sejuk, menikmati makanan yang tersedia dan bersenang ria dengan isteri-isteri cantik? Demi Allah, ini tidak adil !”
Dengan tegas Abu Khaitsamah berkata, ”Demi Allah, aku tidak akan masuk kemah salah seorang diantara kalian hingga aku menyusul Rasulullah saw!”
Melihat sikap suami yang tegas itu, segera kedua istrinya mempersiapkan perbekalan untuk berangkat. Setelah perbekalan siap, ia bergegas berangkat menuju Tabuk. Hatinya merasa tidak nyaman, ia harus segera bertemu Rasulullah saw dan para sahabat yang tengah berjuang di Tabuk.
Tetaplah Berangkat, Walau Terlambat
Di Tabuk, para sahabat melihat dari kejauhan ada seseorang yang mengendarai kuda mendekati mereka. Para sahabat berkata, ”Ada seorang pengendara yang datang.” Rasulullah saw bersabda, ”Ia adalah Abu Khaitsamah!”
Setelah semakin dekat, para sahabat berkata, ”Wahai Rasulullah, ia memang Abu Khaitsamah.”
Tetaplah berangkat menunaikan amanah, tetaplah berangkat melaksanakan kewajiban, betapapun kelelahan mendera tubuhmu. Betapapun keluarga yang sangat engkau cintai membuat hatimu tertambat dan ingin tidak berangkat. Singkirkan kemanjaan, buang kemalasan, ambil ketegasan sikap, dakwah harus dimenangkan.
Kehangatan keluarga jangan sampai membuatmu malas menunaikan amanah dakwah. Kenyamanan bersama isteri, suami dan anak-anak, jangan sampai membuat engkau tidak berangkat melaksanakan panggilan perjuangan. Ayo bergerak, walau engkau sudah terlambat. Ayo tetap berangkat, walau saudara-saudaramu para aktivis telah terlebih dulu berada di medan perjuangan dakwah.
Mungkin engkau terlambat, mungkin engkau sempat terlena, mungkin engkau sempat khilaf, mungkin engkau sempat manja, mungkin engkau sempat malas, mungkin engkau sempat merasa berat. Isteri cantikmu, anak-anak kecilmu, rumah bagusmu, mobil indahmu, semua menunggu ingin bersama denganmu.
Namun lihat di sana, para aktivis tengah sibuk memasang bendera. Para aktivis tengah lelah melaksanakan jutaan agenda. Para aktivis tengah berjaga-jaga agar tidak dicurangi oleh para durjana. Pagi, siang, sore dan malam, aktivitas mereka tiada henti. Memenangkan dakwah di medan-medan perjuangan yang sulit dan memerlukan banyak tenaga serta sarana. Segera datang, segera bergabung bersama mereka.
Friday, January 24, 2014
[Video] Kisah Inspiratif Yang Dapat Membuat Anda Menangis
Jendela Keluarga: Berikut adalah Sebuah Kisah inspiratif yang dapat membuat kita semua yang menontonnya menangis. Video ini mengisahkan seorang pedagang kecil yang selalu bersedekah. Dang sungguh keajaiban dan pertolongan dari Allah SWT selalu datang kepada orang-orang senantiasa menebar kebaikan termasuk bersedekah.
Sungguh benar firman Allah, “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah : 261).
Agar Bisa Menikmati Jalan Dakwah
Thursday, January 23, 2014
[Video] : Pembelajaran IPA Kelas 4 SD Juara Yogyakarta
Jendela Keluarga: Video ini di buat dari pengalaman pembelajaran kelas 4 SD Juara Yogyakarta untuk mata pelajaran IPA. Video ini berisi kumpulan photo-photo dokumentasi selama pembembelajaran IPA di kelas 4 untuk semester ganjil. Semoga video ini menjadi Inspirasi dalam pembelajaran di kelas.
Wednesday, January 22, 2014
Belajar Kesabaran dari Istri Fir'aun
Jendela Keluarga - “Dan Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, istri Fir’aun, ketika dia berkata, “Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim”. (QS At Tahrim: 11) .
Ayat tersebut adalah bercerita tentang seorang istri yang sabar menghadapi perilaku buruk suaminya, dan sekaligus membantu mempertahankan keutuhan rumah tangga. Dalam kasus tersebut, istri Fira’aun, Asiyah binti Muzahim, sangat sabar menerima kekejaman Fir’aun terhadap dirinya.
Semoga keluarga atau mahligai pernikahan yang sudah kita bangun dari awal tidak kandas di tengah jalan. Semoga bahtera ini akan terus berjalan hingga layar terus berkembang tiba ditempat yang dituju. Wallahua’lam.
Politik Kotor Sang Pemimpin
Jendela Keluarga: Ibnu Katsir dalam "Bidayah wa Nihayah" menuturkan kisah sederhana
tentang Umar bin Abdul Aziz. Suatu malam datanglah Raja' ibn Haiwah,
sang alim di kediaman Umar ibn Abdul Aziz. Raja' ibn Haiwah, kita
mengenalnya sebagai sosok yang sangat berpengaruh dalam pengangkatan
Umar ibn Abdul Aziz. Di tengah sistem mulk yang menyesakkan dada, ia tak
berputus asa. Ia dekati sang raja, Sulaiman ibn Abdul Malik, lalu
menanamkan pengaruh. Ia berusaha hadirkan kebajikan dan cegah
kemadharatan selagi masih berkesanggupan.
Ya, lelaki alim itu
lebih memilih menyalakan lilin daripada mengutuki kegelapan. Ia ikuti
kaidah ushul: maa laa tudraku kulluhu, fa laa tutraku kulluh. Sesuatu
yang tak dapat diraih seluruhnya, janganlah ditinggalkan semuanya.
Hasilnya, ia berhasil munculkan Umar ibn Abdul Aziz di tengah sistem
yang rusak. Semula Baitul Maal banyak dikuras untuk kepentingan
penguasa, lawan politik diberangus bahkan ribuan mati tanpa pengadilan,
kebebasan berpendapat terbelenggu, tapi akhirnya semua berubah total.
Nah, malam itu, sang alim datang ke kediaman Umar ibn Abdul Aziz.
Mereka berbincang hangat. Di tengah perbincangan itu, tiba-tiba lampu
padam. Barangkali minyak lampu habis. Tapi Umar ibn Abdul Aziz masih
terdiam. "Tidakkah kamu panggil pelayanmu agar bersedia menambah minyak
lampu ini?" kata Raja' ibn Haiwah. Malam telah cukup larut. Ruangan
sangat gelap.
"Mereka sudah tertidur. Aku tidak mau mengganggu istirahatnya," jawab tuan rumah.
"Kalau begitu," kata Raja' ibn Haiwah, "aku saja yang melakukannya."
"Jangan gurunda," jawab Umar ibn Abdul Aziz, "bukanlah kemulian tatkala
tuan rumah meminta bantuan dari tamunya." Setelah itu Umar beranjak. Ia
ambil lampu yang padam lalu bergegas pergi menambah minyak yang habis.
Sesaat kemudian ia kembali. Pada sang guru yang alim ia berujar santun,
"Tadi Umar berdiri dan pergi, kini aku datang lagi dan masih sebagai
Umar ibn Abdul Aziz."
Kisah di atas teramat sederhana, tapi
melukiskan pribadi yang tak sederhana. Melakukan perkara-perkara kecil
yang kadang merupakan tugas orang lain, tapi ia bersedia menunaikan, itu
jelas bukan perkara sederhana. Apalagi bagi seorang khalifah, itu jelas
luar biasa. Tapi di zaman ketika amal dan kesalihan tidak lagi menjadi
ukuran, ia akan tampak disamarkan dengan label pencitraan. Ketika zaman
lebih banyak dipengaruhi tayangan media dan seloroh host televisi,
kadang mata hati kita teramat buram membaca ketulusan dan akhlak yang
sebenarnya. Sungguh, sekira tulisan ini adalah nasihat, ia tak pantas
ditujukan pertama kali untuk orang lain. Ia lebih pantas ditujukan untuk
penulisnya sendiri. Betapa mudah saya menilai seseorang dari komentar
dan seloroh pembawa acara di televisi; saya lupa, kadang akhlak
seseorang bukanlah sepotong yang ditampilkan televisi.
Umar ibn
Abdul Aziz rela berpayah dan berkotor-kotor. Ia teladani Sang Rasul
yang rela gali parit dengan tangan beliau sendiri menjelang Pang
Khandak. Maka, jika hari ini ada para salih negarawan yang bersedia
teladani Rasul dan Umar ibn Abdul Aziz, rasa-rasanya saya sangat malu.
Ketika mereka bersedia kotor untuk bersihkan lingkungan, bersihkan
masjid dan tempat ibadah, bersihkan jalanan, sambangi korban bencana,
sungguh itu bukan amal buruk. Ia adalah kebajikan yang layak diteladani.
Tapi di negeri yang sakit, tanpa sadar, kita turut kena imbasnya.
Kebaikan bukan untuk diteladani, tapi untuk dicurigai. Jabat tangan pun
akan menyakitkan bagi mereka yang ada luka di jari jemarinya. Kita sibuk
menggunjingkan harga tenda presiden yang mahal saat akan berkunjung ke
Sinabung, kita ribut menelisik para relawan partai politik yang bekerja
dengan atribut, kita gaduh dengan bantuan berlabel partai serta caleg,
kita riuh untuk sesuatu yang orang lain lakukan, tapi lupa dengan apa
yang mesti kita perbuat.
Sekali lagi maafkan, tulisan ini
adalah teguran yang lebih layak dialamatkan untuk penulisnya sendiri
daripada untuk orang lain. Sebab, tanpa Anda ketahui, pada skala yang
lebih kecil, saya pun sering menilai dengan cara yang sama.
Hanya pada Allah saya mohon ampunan. Semoga Allah hadirkan dalam diri
kita semangat Raja' ibn Haiwah untuk datangkan kebaikan di negeri ini
dengan kejernihan untuk hadirkan sosok-sosok yang bersedia teladani Umar
ibn Abdul Azizi, para pemimpin yang siap kotor demi rakyatnya.
Oleh: Ustd. Dwi Budiyanto
Keluarga Sakinah, Modal Untuk Reuni Di Surga
Jendela Keluarga: MAHA SUCI Allah Subhanahu Wata’ala yang telah menciptakan makhluk-Nya berpasang-pasangan. Berjenis laki-laki dan perempuan. Ada kutub positif dan kutub negatif. Ada siang dan malam. Suka dan duka. Sedih dan gembira. Jika bisa dikelola dengan baik, perputaran dan pergiliran dua keadaan yang saling kontradiktif, kehidupan manusia menjadi dinamis dan romantis.
Allah Subhanahu Wata’ala juga telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (QS. Yasin (36) : 36)
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak. Di antara tanda-tanda keagungan Allah ialah, Dia menciptakan bagimu, dari jenismu sendiri, pasangan-pasangannya, supaya kamu hidup tenteram bersamanya, dan dijadikan Allah bagimu cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya dalam hal itu ada tanda-tanda bagi orang-orang yang mau berfikir.” (QS. Ar Rum (30) : 20-21).
Mitsaqan Ghalizha
Ayat ini ditempatkan Allah Subhanahu Wata’ala pada rangkaian ayat tentang tanda-tanda kebesaranNYA di alam semesta – tegaknya langit, terhamparnya bumi, turunnya air hujan, gemuruhnya suara halilintar, dan keajaiban penciptaan manusia. Dengan ayat di atas Allah Subhanahu Wata’ala ingin menegaskan dan mengajarkan kepada kita betapa Ia dengan sengaja menciptakan kekasih yang menjadi pasangan/pendamping setia hidup manusia.
Diciptakan Allah Subhanahu Wata’ala bumi dengan segala yang ada di atasnya – samudera luas, bukit tinggi, rimba belantara – untuk kebahagiaan manusia. Diedarkan Allah Subhanahu Wata’ala mentari, rembulan, gugusan bintang-gemintang, dijatuhkan-Nya hujan, ditumbuhkan-Nya pepohonan, dan disirami-Nya tetanaman, semua karunia itu untuk kebahagiaan manusia.
Tetapi, Allah Subhanahu Wata’ala Yang Maha Mengetahui memberikan lebih daripada itu. Diketahui-Nya getar dada kerinduan hati. Yaitu bersanding sehidup semati dengan si jantung hati. Betapa sering kita memerlukan seseorang yang mau mendengar bukan saja kata yang diucapkan, melainkan juga jeritan hati yang tidak terungkapkan, yang bersedia menerima segala perasaan – tanpa pura-pura, prasangka, dan pamrih. Karena itu diciptkan-Nya seorang kekasih. Allah Subhanahu Wata’ala tahu, pada saat kita diharu biru, diempas ombak, diguncang badai, dan dilanda duka, kita memerlukan seseorang yang mampu meniupkan kedamaian, mengobati luka, menopang tubuh yang lemah, dan memperkuat hati – tanpa pura-pura, prasamgka, dan pamrih. Karena itu diciptakan-Nya seorang kekasih. Allah Subhanahu Wata’ala tahu, kadang-kadang kita berdiri sendirian lantaran keyakinan atau mengejar impian. Kita memerlukan seseorang yang bersedia berdiri di samping kita tanpa pura-pura, prasangka dan pamrih. Karena itu diciptakan-Nya seorang kekasih.
Supaya hubungan antara pencinta dan kekasihnya itu menyuburkan ketentraman, cinta, dan kasih sayang, Allah Subhanahu Wata’ala menetapkan suatu ikatan suci, yaitu aqad nikah. Dengan ijab (penyerahan) dan qobul (penerimaan) terjadilah perubahan besar: yang haram menjadi halal, yang masiat menjadi ibadat, kekejian menjadi kesucian, dan kebebasan menjadi tanggung jawab. Nafsu pun berubah menjadi cinta (mawaddah) dan kasih (rahmah) dan ulfah (hubungan yang jinak).
Begitu besarnya perubahan itu sehingga Al Quran menyebut aqad nikah sebagai mitsaqan ghalizha (perjanjian yang berat). Hanya tiga kali kata ini disebut di dalam Al Quran.
Pertama, ketika Allah Subhanahu Wata’ala membuat perjanjian dengan para Nabi – Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad saw.
“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, musa, dan Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang berat.” (QS: Al Ahzab (33): 7).
Kedua, ketika Allah Subhanahu Wata’ala mengangkat Bukit Thur di atas kepala bani Israil dan menyuruh mereka bersumpah setia di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala
“Dan telah Kami angkat ke atas (kepala) mereka bukit Thursina karena (mengingkari) perjanjian (yang telah Kami ambil dari) mereka. Dan Kami perintahkan kepada mereka : Masukilah pintu gerbang itu sambil bersujud, dan Kami perintahkan (pula) kepada mereka : Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabtu, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang berat.” (QS: An Nisa (4) : 154).
Ketiga, ketika Allah Subhanahu Wata’ala menyatakan hubungan pernikahan (QS. An Nisa (4) : 21).
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”
Mitsaqan ghalizha berarti kita sepakat untuk menegakkan dinul islam dalam rumah, sepakat untuk membina rumah tangga sakinah, mawaddah dan rahmah serta ulfah. Sepakat meninggalkan masiat. Sepakat saling mencintai karena Allah Subhanahu Wata’ala. Menghormati dan menghargai. Saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing. Saling menguatkan keimanan. Saling menasihati dalam menetapi kebenaran dan saling memberi nasihat dengan kasih sayang. Saling setia dalam suka dan duka, kefakiran dan kekayaan, sakit dan sehat.
Pernikahan juga bermakna sepakat meniti hari demi hari dengan kebersamaan. Sepakat untuk saling melindungi dan menjaga. Saling memberikan rasa aman. Saling mempercayai dan menutup aib. Saling mencurahkan dan menerima keluhan dan perasaan. Saling berlomba dalam beramal. Saling memaafkan kesalahan. Saling menyimpan dendam dan amarah.
Pernikahan berarti pula sepakat untuk tidak melakukan penyimpangan. Tidak saling menyakiti perasaan dan pisik. Juga sepakat untuk mengedepankan sikap lemah lembut dalam ucapan, santun dalam pergaulan, indah dalam penampilan, mesra dalam mengungkapkan keinginan.
Ijab Qabul, Bukan Peristiwa Kecil
Karena itu peristiwa aqad nikah bukanlah kejadian kecil di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala. Akad nikah sama tingginya dengan perjanjian para rasul, sama dahsyatnya dengan perjanjian bani Israil di bawah bukit Thursina yang bergantung diatas kepala mereka.
Peristiwa aqad nikah tidak saja disaksikan oleh kedua orangtua, sudara-saudara, dan sahabat-sahabat, sanak famili, handai taulan, tetangga, tetapi juga disaksikan oleh para malaikat di langit yang tinggi, dan terutama sekali disaksikan oleh Allah Subhanahu Wata’ala Penguasa alam semesta.
Bila perjanjian ini disia-siakan, diceraikan ikatan tali hubungan yang sudah terbuhul, diputuskan janji setia yang telah terpatri, kita tidak saja harus bertanggung jawab kepada semua yang hadir menyaksikan peristiwa yang berkesan itu, tetapi juga bertanggung jawab di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala Swt.
“Laki-laki adalah pemimpin di tengah keluarganya, dan ia harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya. Wanita adalah pemimpin di rumah suaminya, dan ia harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya.” (HR. Bukhari Muslim).
Kata Rasulullah, “Yang paling baik di antara kamu adalah yang paling baik dan paling lembut terhadap keluarganya.” (Al Hadits).
Mengapa Kita Memelihara Ikatan Itu ?
Mengapa Allah Subhanahu Wata’ala dan Rasul-Nya mewasiatkan agar kita memelihara aqad nikah yang sakral ini? Mengapa kebaikan manusia diukur dari cara dia memperlakukan keluarganya? Mengapa suami dan isteri harus mempertanggungjawabkan peran yang dilaksanakan di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala?
Jawabannya sederhana: Karena Allah Subhanahu Wata’ala Maha Mengetahui bahwa kebahagiaan dan penderitaan manusia sangat tergantung pada hubungan mereka dengan orang-orang yang dicintai mereka, yakni dengan keluarganya. Bila di dunia ini ada surga, kata Marie von Ebner Eschenbach, surga itu adalah pernikahan yang bahagia. Tetapi, bila di dunia ini ada neraka, neraka itu adalah pernikahan yang gagal. Para psikolog menyebutkan persoalan rumah tangga sebagai penyebab stress yang paling besar dalam kehidupan manusia.
Karena itulah, Islam dengan penuh perhatian mengatur urusan rumah tangga. Sebuah ayat pernah diturunkan dari langit hanya untuk mengatur urusan pernikahan antara Zainab dan Zaid bin Haritsah. Sebuah surat turun untuk mengatur urusan rumah tangga seluruh kaum muslimin. Ribuan tahun yang silam, di Padang Arafah, di hadapan ratusan ribu ummat islam yang pertama, Rasulullah saw. menyampaikan khotbah perpisahan.
“Wahai manusia, takutlah kepada Allah Subhanahu Wata’ala akan urusan wanita. Sesungguhnya kamu telah mengambil mereka sebagai istri dengan amanat Allah Subhanahu Wata’ala. Kami halalkan kehormatan mereka dengan kalimah Allah Subhanahu Wata’ala. Sesungguhnya kamu mempunyai hak atas istrimu, dan istrimu pun mempunyai hak atasmu. Ketahuilah, aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik terhadap istri kalian. Mereka adalah penolong kalian. Mereka tidak memilih apa-apa untuk dirinya, dan kamu pun tidak memilih apa-apa dari diri mereka selain itu. Jika mereka patuh kepadamu, janganlah kamu berbuat aniaya terhadap mereka.” (HR. Muslim dan Turmudzi)
Tuesday, January 21, 2014
Al Wafa Bagian 3 : Kisah-kisah Menepati Janji
1. Menepati janji dalam membayar hutang
- Tidak menepati janji adalah salah satu ciri kemunafikan. Rasulullah bersabda : “Ada empat hal jika ada pada seseorang maka jadilah ia munafik tulen, dan jika ada sebagainnya maka ia memiliki ciri-ciri kemunafukan, hingga ia bisa meninggalkannya. 1). Jika dipercaya ia berkhianat, 2). Jika berbicara ia berdusta, 3). Jika berjanji mengingkari, 4). Jika berdebat ia curang.” Muttafaq alaih
- Menjadi musuh Allah di hari kiamat. Sabda Nabi : Allah berfirman ”Ada tiga orang yang menjadi musuhku di hari kiamat:1). Orang yang menjanjikan pemberian lalu mengingkari, 2). Orang yang menjual orang merdeka lalu ia makan hasilnya, 3). Orang yang mempekerjakan seseorang dan telah memenuhi permintaannya lalu tidak dibayrakan upahnya.” HR. Al Bukhariy.