Selamat Datang di Web Jendela Keluarga Aris Nurkholis - Ratih Kusuma Wardani

Jendela Keluarga: Mewujudkan Keluarga Islami

Keluarga muslim adalah keluarga yang dibangun atas dasar nilai-nilai keislaman, Setiap anggota keluarga komintmen terhadap nilai-nilai keislaman. Sehingga keluarga menjadi tauladan dan lebih dari itu keluarga menjadi pusat dakwah Islam.

Merajut Keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah

Keluarga sakinah adalah keluarga yang semua anggota keluarganya merasakan cinta kasih, keamanan, ketentraman, perlindungan, bahagia, keberkahan, terhormat, dihargai, dipercaya dan dirahmati oleh Allah SWT.

Cinta Tanpa Syarat

Ketika suami dan isteri sudah menetapkan “cinta tanpa syarat” dan saling memahami, maka perbedaan dan pertengkaran tidak membesar menjadi konflik yang merusakkan kebahagiaan keluarga.

Cinta Tidak Harus Dengan Kata

Mencintai dengan sederhana, adalah mencintai “dengan kata yang tak sempat diucapkan” dan “dengan isyarat yang tak sempat disampaikan”.

Komunikasi dan Interaksi Penuh Cinta

Hal yang sangat vital perannya dalam menjaga keharmonisan rumah tangga adalah interaksi dan komunikasi yang sehat, komunikasi yang indah dan melegakan serta komunikasi penuh cinta antara seluruh anggotanya.

Friday, January 31, 2014

Keluarga Da'wah Keluarga Barokah

Jendela Keluarga: Keluarga Abu Bakar Ash-Shiddiq, semoga Allah meridhai mereka semua, adalah contoh keluarga dakwah dan jihad. Seluruh anggota keluarga itu, termasuk pembantu rumah tangga (khadim) terlibar dalam kegiatan dakwah dan proyek jihad. Itu tampak jelas pada peristiwa besar hijrahnya Rasulullah saw ke Madinah.

Abu Bakar Ash-Shiddiq bertugas menyertai Rasulullah saw dalam perjalanan. Abdullah putera Abu Bakar bertugas sebagai mediator informasi yang berkembang di kalangan orang-orang Quraisy untuk disampaikan kepada Rasulullah saw dan ayahnya yang bersembunyi di Goa Tsur sebelum melanjutkan perjalanan ke Madinah.

Tugas itu dibantu oleh Asma Binti Abu Bakar, yang saat itu tengah hamil tua. Perempuan mulia ini juga mempunyai tugas lain yakni menyuplai makanan. Untuk menghapus jejak-jejak kaki itu maka Amir bin Fuhairah, khadim Abu Bakar yang ditugasi menanganinya. Ia setiap hari mengembalakan kambing-kambing ke arah goa tempat keduanya bersembunyi.

Meskipun sosok isteri Abu Bakar tidak tampil dalam kisah ini, namun dapat dipastikan keluarga dengan kualitas seperti itu merupakan produk kerjasama yang baik antara suami dan isteri.

Ini potret dari sebuah keluarga Muslim. Tidak seorang pun dari anggotanya yang berpangku tangan dari dakwah dan harokah (pergerakan). Semuanya memberikan kontribusi untuk dakwah dengan kemampuan yang dimilikinya. Insya Allah keluarga seperti itu akan mendapatkan barokah. Barokah adalah kebaikan yang tiada putus-putusnya. Namun, barokah ukurannya bukanlah materi. Barokah jauh lebih tinggi dari kenikmatan materi. Barokah membuat orang dapat mencapai kebahagiaan hakiki.

Betapa tidak, dakwah adalah sumber segala kebaikan. Karena dakwah mempunyai kekuatan untuk:

1. Menambah Jumlah Orang yang Beriman dan Bertaqwa

Iman dan taqwa adalah kunci bagi turunnya barokah dari Allah swt. Namun bukan iman dan taqwa yang dinikmati secara individual yang dapat menjamin turunnya barokah dari Allah. Melainkan iman dan taqwa yang menjadi perilaku manusia secara massal. Perhatikan firman Allah swt:

Seandainya para penduduk negeri-negeri ini beriman dan taqwa niscaya Kami bukakan bagi mereka barokah-barokah dari langit dan bumi. (Al A’raf:96)

2. Mendatangkan Rahmat Allah

Esensi dakwah adalah menyeru manusi kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar. Dan perbuatan itu akan mendatangkan rahmat dari Allah. Firmannya:

Orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang makruf dan mencegah dari yang munkar, mendirikan salat, mengeluarkan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (At-Taubah:71)

Dengan rahmat Allah itulah manusia berkasih sayang. Dan dengan kasih sayang itulah hubungan antar personal akan menjadi sangat indah dan membahagiakan.

2. Mendatangkan Pahala yang Besar

Dakwah diperintahkan oleh Allah swt langsung firman-Nya: Serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijak dan nasihat yang baik. (An Nahl:125)

Jika dakwah adalah perintah Allah, maka berarti hukumnya wajib. Dan melaksanakan kewajiban tentu saja mendatangkan pahala. Dan sebaliknya, meninggalkannya adalah dosa besar. Tentang agungnya pahala berdakwah, Rasulullah saw bersabda, Sungguh, jika Allah memberi petunjuk kepada seseorang melalui (usaha dakwah) kamu, maka (pahalanya) bagimu lebih baik dari dunia dengan segala isinya.

4. Menjauhkan Pelakunya dari Malapetaka di Dunia

Allah swt berfiman: Dan tidaklah Tuhan kamu akan membinasakan satu negeri padahal para penduduknya melakukan perbaikan. (Hud: 117)

Ayat itu mengisyaratkan secara tegas bahwa sekedar kesalihan segelintir orang yang ada pada suatu negeri tidaklah cukup untuk mencegah bencana dari Allah. Baru negeri itu akan terhindar dari kehancuran apabila penduduknya itu muslikhun (melakukan perbaikan dan pensalihan). Dan dakwah adalah upaya utama untuk itu. Itulah di antara bentuk-bentuk barokah yang dijanjikan Allah bagi orang yang melakukan dakwah.

Tapi, tersisa sebuah pertanyaan yang bernada mengkonfrontir antara idealita di atas dengan realitas. Realitasnya begini: nyatanya tidak sedikit keluarga yang aktif dakwah dan harokah tidak mencerminkan keluarga barokah. Fenomenanya misalnya, keharmonisan keluarga tidak tampak, rahmatan lil alamin-nya Islam tidak tercermin dalam kehidupannya: anak-anak pada keluarga tersebut justru menjadi gambaran kehidupan yang tidak berdisplin dan tidak mengenal tatakrama; rumahnya berantakan sepeti kapal pecah, dan seterusnya. Bagaimana itu bisa terjadi?

Fenomena yang dikeluhkan, seperti yang disebutkan di atas itu adalah merupakan elses dan pensikapan yang tidak benar terhadap dakwah. Lalu bagaimana pensikapan yang benar agar dakwah itu benar-benar menjadi barokah?

Pertama, ikhlas. Setiap anggota keluarga harus ikhlas menjalani kehidupan di belantara dakwah. Suami menjalankan dakwah semata-mata dengan tujuan mencari ridha Allah dan dengan cita-cita menegakkan kalimatullah, isteri dan anak-anak yang ditinggalkan di rumah pun melepas kepergian suami atau ayah dengan penuh keikhlasan. Mereka mendukung sepenuhnya kiprah sang ayah dengan tujuan memberikan kontribusi bagi eksesnya Islam dalam kehidupan manusia.

Kedua, sabar. Terjun ke kancah dakwah mengandung resiko dan konsekuensi. Di antara resiko itu adalah berkurangnya hal-hal yang disenangi; peluang memperoleh materi, materi, waktu pertemuan dengan keluarga, waktu untuk rekreasi. Bahkan lebih berat daripada itu ada resiko berhadapan dengan tiran dan penguasa zalim.

Ketiga, saling memahami (tafahum). Untuk menumbuhkan keikhlasan dan mewujudkan
kesabaran perlu dibangun tafahum. Setiap kesabaran perlu dibangun tafahum. Setiap anggota keluarga saling memahami mengapa harus berdakwah, apa tujuan dakwah, dan bagaimana keutamaan dakwah, ada resiko dan konsekuensi dakwah. Logis bila muncul masalah seperti disharmoni antara suami dan isteri atau orang tua dengan anak-anak manakala seorang dai asyik dan menikmati sendiri dunia dakwah. Tanpa adanya tafahum keasyikan itu akan ditafsirkan sebagai sikap abai dan tidak peduli dengan nasib keluarga. Tanpa pemahaman yang sama, alih-alih mendukung, anggota keluarga bahkan bisa menjadi musuh dai dan musuh dakwah itu sendiri.

Keempat, menjaga keseimbangan (tawazun). Tentu saja tafahum bukanlah satu-satunya andalan untuk mensukseskan cita-cita keluarga harokah agar menjadi keluarga barokah. Tafahum harus ditindaklanjuti dengan keseimbangan dalam merespon kebutuhan-kebutuhan riil lapangan. Yang butuh dakwah bukan hanya masyarakat melainkan juga keluarga, anak, istri, orang tua, istri, ayah, ibu, adik, kakak, dan seterusnya. Sulit dimengerti dengan logika dakwah bila sepasang suami istro yang sibuk di luar rumah dengan dalih dakwah (sama tidak
logisnya bila alasannya sekedar mencari maisyah atau meniti karir) sementara  anak-anak sendiri sepenuhnya diserahkan kepada orang lain yang bernama khadimah (dengan tidak mengurangi penghargaan kepada khadimah dan profesinya serti tidak menafikan adanya khadimah yang andal dalam hal ini).

Selain kebutuhan dakwah itu, keluarga pun mempunyai kebutuhan fisik dan material. Zuhud tidaklah identik dengan kepapaan. Keluarga dakwah yang ideal adalah keluarga yang tidak membuat orang yang melihatnya iba dan merasa perlu mengasihani. Dan masalah ini juga perlu mendapat sentuhan memadai dari sang da’i terlepas dari kenyataan bahwa sebagian aktifitas dakwah juga bisa menjadi peluang bagi datangnya rizki Allah swt.

Kelima, saling bantu (taawun). Tangung jawab keluarga dakwah dan harokah memang jauh lebih kompleks dari keluarga biasa. Sukses membangun keluarga adalah taruhan bagi sukses membangun masyarakat. Maka tentu saja tanggung jawab bukan hanya terletak pada sang kepala keluarga melainkan terdistribusi kepada seluruh anggota keluarga itu dengan peran yang berbeda-beda. Dengan cara ini maka tidak akan terjadi suami terhadap istrinya, istri terhadap suaminya, atau orang tua terhadap anak-anaknya merasa paling berjasa dari yang lainnya, sebab setiap anggota keluarga telah menjalankan perannya masing-masing.

Wallahu a’lambishshowab.

Sumber: Majalah Saksi No.23/Th.III, 21 Agustus 2001

Keluarga Dakwah, Harokah dan Barokah. yuk kita berusaha mewujudkannya

Thursday, January 30, 2014

Makna (Cinta) Keluarga Dalam Setiap Jiwa Penghuninya


Jendela Keluarga: Bukan cinta yang menjadi sebab mereka  berlayar | tapi justru berlayarlah yang membuat mereka semakin cinta | untuk cintamu pada Rabbmu, Nabimu, Agamamu, pada umat manusia pada orang tuamu, pada adik-kakakmu, pada suami-istrimu, pada anakmu, pada masa depanmu | jika cinta berbuatlah | ukuran termudah dan logis  tentang cinta adalah amal | yaitu tentang pekerjaan-pekerjaan yang kita lakukan untuk cinta-cinta kita | mudah melihat bukti cinta seorang ibu dengan melihat kerasnya  dia mengurus anak dari mata terbuka hingga mata terpejam | cinta itu tindakan | itu yang membuat cinta logis dan terukur | semakin banyak yang kita lakukan, semakin banyak cinta yang kita miliki | semakin besar hal yang kita perbuat, semakin besar pula gambaran keagungan cinta kita | maka jika cinta berbuatlah | cinta adalah kebaikan | diksi kata cinta adalah baik dan positif | lawannya benci | deskripsi kata cinta adalah pemimpin agung yang adil | bukan perompak kejam yang pembius | cinta juga dideskripsikan sebagai  ibu baik hati yang cantik, bukan nenek sihir jahat bersuara parau | sederhananya cinta adalah gambaran penuh kebaikan | cukup dengannya mampu memperbaiki segalanya | maka cinta membuat pelakunya akan semakin membaik, atau memantaskan diri menjadi lebih baik | para pecinta sadar, pencarian sejati manusia adalah pencarian tentang kebaikan | tak peduli siapapun kita, karenanya juga para pecinta tau, sewaktu mereka memutuskan untuk mencintai | mereka akan dinanti kebaikannya oleh  sang cinta itu fitrahnya | muara cinta dari sepasang manusia | adalah pernikahan | maka di sanalah muara kebaikan dari setiap lelaki, dan perempuan tersalur | ini beratnya, karna kebaikan tidak berteman lama dengan kepura-puraan | tampak baik cukup  untuk memikat semua perempuan atau laki-laki | tapi belum tentu cukup untuk merawat kesetiaan | betapa banyak hubungan pernikahan kandas | hanya karena alasan, ia tak sebaik kelihatannya | berbuat baik adalah perintah setelah ruku’ dan sujud, seperti halnya ruku’ dan sujud | berbuat baik tidak bisa pura-pura | ada keikhlasan di sana | hanya untuk Allah dan berharap balas hanya dari Allah | di sini tidak ada ruang untuk, kepura-puraan | karna Allah Maha Tau Segalanya | “Hai orang-orang beriman, ruku’ sujud sembahlah Tuhanmu, dan berbuatlah kebaikan.

(dinukil dari seorang motivator Ridwan Kamil)

Baiti Jannati, rumahku adalah surgaku. Jargon yang biasa terdendang di setiap jiwa-jiwa penghuninya. Entah itu berupa kiasan atau benar adanya. Tak hanya semata-mata bermakna rumahku surgaku. Karena kata itu begitu melangit adanya, jika tidak setara dengan jiwa penghuninya. Mungkin kalian akan berpikir sejenak dan sependapat mengatakan, ya.

Hai orang-orang yang beriman. Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (At-Tahrim: 6)

Jika cinta maka bertindaklah dengan kebaikan. Seperti halnya sepenggal surah tersebut, tak sekadar memotivasi. Bahwa cinta adalah tindakan, terhadap keluarga pun demikian. Keluarga adalah keutuhan cinta dalam bahtera rumah tangga, berlayar di samudera kehidupan dan bermuara di pelabuhan akhirat nantinya. Di dalamnya berisikan sebuah pembelajaran kehidupan untuk bekal akhirat terhadap setiap penghuninya. Jika kita semakin cinta maka kita akan bertindak lebih baik untuk keluarga, entah pada suami yang berjuang dalam peluhnya terik matahari, istri yang selalu mendampingi, anak-anak yang menghibur hati dan keluarga besar yang selalu ada untuk menyemangati. Karna cinta menjadi memotivasi manusia terbesar dalam hal apapun.

Seperti halnya cinta kita pada Sang Pencipta, cinta di atas segalanya. Jika cinta bertindaklah, menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Untuk bisa bertemu dengan Sang Maha Cinta. Sungguh indah. Membayangkannya pun merasakan nuansa yang begitu syahdu. Ketika cinta pada Rabbmu, Nabimu, Agamamu dan Keluargamu, menjadikan sebab kita cinta.  Aaahhhh!!! Itu ada tiap impian individu manusia, fitrahnya. Dan kitapun dapat menggambarkan bagaimana surganya rumah kita di dunia dengan melihat isian dari karakter yang menjadikan lahirnya pribadi-pribadi dari setiap jiwa penghuninya. Cukup kita menengok diri kita saat ini, yup! Sejauh mana makna cinta keluarga itu?

Jika cinta maka bertindaklah, saling mengingatkan adalah bentuk cinta. Itu sebabnya saya ingin berbagi cinta dengan kalian. Bersyukur bila mengena di hati. Itu tandanya ada yang perlu diperbaiki dalam diri. Karna sejatinya manusia adalah berproses dan bertindak untuk lebih baik. Ingat proses saat kita tercipta, terlahir, tumbuh dewasa, sekolah, berkeluarga dan kematian pada awal kehidupan selanjutnya. Yup!!! Berproses menuju kebaikan. “Hai orang-orang beriman, ruku’ sujud sembahlah Tuhanmu, dan berbuatlah kebaikan.” Sudah diserukan sejak manusia tercipta dan tertulis dalam lauhul mahfuz. Untuk manusia-manusia pilihan yang beriman. Jika cinta maka bertindaklah.

Wednesday, January 29, 2014

Menyingkirkan Sombong Dan Riya’ Dari Hati Kita


Saudaraku,

Yunus bin Ubaid rahimahullah pernah bertutur:
“Umat ini tidak akan pernah terkena riya’ murni ataupun sombong yang utuh.”
Ia ditanya, “Kenapa bisa demikian?.”
Ia menjawab, “Tiada kesombongan total dengan bersujud. Dan tiada pamer murni jika hati diwarnai tauhid.”

Saudaraku,

Jika kita ingin mengikis habis kesombongan yang bersemayam di dalam kalbu kita, maka jalan yang kita tempuh adalah banyak bersujud kepada Allah Ta’ala. Itu artinya semakin banyak kita sujud dan tunduk di hadapan-Nya, maka kesombongan kita semakin menyingkir dari hati kita.

Sujud menyimbolkan ketundukan hati, pikiran, anggota tubuh kita kepada Zat yang mahakuat, mahaperkasa dan mahamengayomi.

Sujud juga merupakan indikasi kuatnya ibadah kita kepada Allah Ta’ala. Semakin kita memperbanyak sujud, maka puncak ubudiyah semakin dekat.

Saudaraku,

Orang yang pamer dalam amalannya, pertanda nilai dan bobot tauhid dalam hatinya sangat lemah. Bahkan pohon tauhid dalam dirinya telah terancam punah.

Menyuburkan pohon tauhid tentunya dengan menyiraminya dengan hujan iman. Sementara tanaman iman akan lesu dan bahkan kering, jika hama riya’ dan wereng sum’ah, mengganggu pertumbuhannya.

Saudaraku,

Mari kita singkirkan riya dan sombong dari tubuh kita, dengan melestarikan tauhid dalam hati kita dan memperbanyak sujud dan menghiba di hadapan-Nya. Semoga.

Oleh Ust. Fir’adi Nasrudin, Lc.

Tuesday, January 28, 2014

Dimanakah Posisi Kita?






Saudaraku,

Saat kita merasakan lelah dalam mengarungi kehidupan
Saat kita rasakan hambar di majlis ilmu
Saat semangat kita redup untuk menambah ilmu pengetahuan
Saat kita resah berada di sekitar ahli ilmu
Saat kita tak bergairah untuk menularkan ilmu kepada orang lain
Saat kita malas untuk mengulang-ulang hafalan yang telah ada
Saat Allah terasa jauh dari kehidupan kita
Saat debu-debu syirik menempel di rumah-rumah kita
Saat lidah terasa kelu untuk berzikir dan memuji-Nya
Saat sinar petunjuknya tak menyinari kalbu kita
Saat kita futur dan lemah dalam mendaki puncak ubudiyah
Saat kita selalu sibuk dengan urusan dunia, karir dan pekerjaan kita
Saat akherat menjauh dan bahkan kita lupakan

Saudaraku,

Mungkin sudah saatnya kita mengenang kembali nasihat Ibnul Qayyim, agar kita mengevaluasi bekal kita menuju Allah. Bekal ilmu pengetahuan.

Ibnul Qayyim berkata,
“Dengan ilmu kita mengenal Allah dan mengabdi kepada-Nya.
Dengannya kita mengingat dan mentauhidkan-Nya.
Dengannya kita senantiasa memuji dan mengagungkan-Nya.
Dengannya para pendaki puncak ubudiyah selalu dalam petunjuk-Nya.
Di atas jalan ilmu, orang yang kembali akan sampai kepada-Nya.
Dari pintu ilmu, hamba-hamba-Nya masuk ke surga-Nya.
Mengulang-ulang ilmu yang pernah dikecap merupakan tasbih
Mengadakan penelitian tentangnya adalah jihad
Mencarinya adalah taqarrub kepada Allah
Menularkannya adalah sedekah
Mengkaji dan mengajarkannya setara dengan shiyam dan shalat malam
Kebutuhan manusia terhadapnya melebihi kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman.
(Madarijul salikin, Ibnul Qayyim).

Saudaraku,

Mari kita instrospeksi diri. Sudahkah kita layak menjadi bagian dari ahli ilmu? Penuntut ilmu? Yang mengajarkan ilmu? Atau seperti apa diri kita sekarang ini? Jawablah dengan kejujuran hati nurani. Wallahu a’lam bishawab.

Oleh Ust. Fir’adi Nasrudin, Lc. (manhajuna.com)

Monday, January 27, 2014

Keluarga Dakwah, Basis Kekuatan Umat



Jendela Keluarga: Medan pertarungan utama antara Islam dengan jahiliyah adalah pertarungan sosial, antara tatanan masyarakat Islam dengan tatanan sosial jahiliyah. Kedua fenomena ini bertolak belakang, yang satu dibangun di atas landasan Aqidah Islamiyah, Syariat Islam dan akhlaqul karimah, sementara yang lain dibangun di atas pondasi cinta dunia dan hamba nafsu.

Pertarungan ini berlangsung semenjak masyarakat Islam masih lemah di tengah hegemoni masyarakat jahiliyah, maupun setelah masyarakat Islam menjadi pemenang dan mendominasi. Maknanya, masyarakat Islam tak pernah kehilangan kekhasan ini, meski sedang sulit atau dikuasai musuh.

Keluarga memiliki peran kunci dalam membangun tatanan masyarakat Islami. Satuan sosial terkecil yang membentuk masyarakat adalah keluarga. Oleh karenanya, keluarga harus menjadi fokus garapan untuk menjadi bahan baku membentuk masyarakat Islami. Masyarakat yang menyadari perannya sebagai barisan pasukan yang berhadap-hadapan dengan barisan prajurit sosial jahiliyah.

Ada Perintah di balik Keluarga

Allah swt berfirman:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (21)

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Rum: 21)

Ayat ini menjelaskan sunnatullah bahwa seorang pria ditaqdirkan Allah memerlukan wanita sebagai pasangan hidup agar si pria terjinakkan nafsunya dengan pasangan halal tersebut. Selain itu juga naluri cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah) bisa disalurkan dengan panduan syariat Allah. Kenyataan yang tak bisa ditolak manusia ini merupakan salah satu “ayat-ayat kauniyah” (tanda-tanda kekuasaan Allah), sama dengan tanda kekuasaan yang lain seperti hukum alam tentang peredaran siang malam, matahari bulan, kehidupan kematian, dan sebagainya.

Padahal kita tahu, di balik tanda-tanda kekuasaan Allah, ada perintah syariat yang menyertainya. Di balik peredaran siang malam, ada perintah sholat lima waktu. Di balik fenomena fajar, ada perintah sholat Shubuh. Di balik fenomena tengglamnya matahari, terdapat perintah sholat Maghrib. Demikian halnya, hubungan menyatu antara pria dan wanita karena terpuaskannya syahwat, terjalinnya cinta dan terpeliharanya kasih sayang, harus dijadikan tanda untuk sebuah perintah di baliknya.

Jika keluarga yang dibangun seorang muslim hanya dalam rangka menghasilkan sakinah, mawaddah wa rahmah, maka keluarga tersebut baru melaksanakan kehendak kauniyah (hukum alam) Allah. Adapun kehendak syar’iyyah (hukum kalam) Allah belum dilaksanakan. Jika demikian, tujuan pernikahan menjadi sangat simpel, sekedar menghalalkan saluran syahwat, hubungan cinta dan kasih sayang antara dua orang manusia yang boleh jadi sudah terjalin lama sebelum menikah melalui pacaran.

Keluarga Jahiliyah

Keluarga yang dibangun melalui ikatan pernikahan dalam konsepsi Jahiliyah sangat sederhana. Pernikahan hanya sebuah momentum pengumuman kepada khalayak bahwa kedua manusia tersebut saling memiliki. Pria memiliki wanita dan wanita memiliki pria. Bahkan di Barat pengumuman kepemilikan ini diperluas, menjadi pria boleh memiliki pria dan wanita boleh memiliki wanita. Mengapa ? Karena dalam konsepsi Jahiliyah, cinta adalah segalanya. Bila seorang pria mencintai pria yang lain, ia berhak melegalkannya dan mengumumkannya dalam ikatan pernikahan, untuk mendapatkan sakinah wawaddah wa rahmah.
Kepemilikan yang dimaksud dalam pernikahan Jahiliyah hanya kepemilikan untuk menyalurkan syahwat. Adapun aurat, itu bukan termasuk kepemilikan, oleh karenanya boleh laki-laki bukan suaminya untuk melihat aurat. Bahkan, semakin keseksian dan aurat istrinya dikagumi banyak mata, sang suami makin bangga. Alam pikiran Jahiliyah yang sudah menular sebagiannya kepada umat Islam.

Dalam mengelola aset keluarga berupa anak-anak, keluarga Jahiliyah juga tak memiliki konsep yang jelas. Dengan aqidah Liberalisme dan Pluralisme, anak-anak dibebaskan memilih kesukaannya, tak ada konsep benar dan salah. Semua baik bagi anak-anak sepanjang membuat masa depan mereka cerah dalam percaturan dunia.

Bila kita sepakat dengan ciri-ciri keluarga Jahiliyah tersebut, maka kita berhak miris. Kaum muda Umat Islam makin banyak yang tak lagi peduli dengan tujuan mulia dibangunnya keluarga. Pernikahan hanya menjadi upacara hambar di ujung sebuah jalan panjang bernama pacaran bahkan “kecelakaan”.

Keluarga Dakwah, Bukan Hanya Keluarga Samara

Pernikahan untuk membangun keluarga adalah sebuah tanda alam, sunnatullah kauniyah, seperti tanda alam lain. Pernikahan – baik dilakukan muslim maupun kafir – bertujuan melanggengkan sakinah, mawaddah dan rahmah (samara). Fakta membuktikan, banyak pasangan non muslim yang pernikahannya harmonis hingga puluhan tahun, saling cinta, setia dan kasih sayang sampai ajal. Artinya, samara bukan monopoli muslim, karena memang hanya sebuah tanda kekuasaan Allah yang terjadi secara umum.

Jadi yang khas pada pernikahan muslim bukan pada samara-nya, tapi pada perintah syariat di balik samara tersebut, apa peran keluarga muslim dalam ikut mendakwahkan dan membela Islam. Ada banyak syariat yang mutlak membutuhkan keluarga samara dalam pelaksanaannya. Ada dakwah, amar makruf nahi munkar, sedekah, pendidikan Islam, bahkan jihad fi sabilillah. Syekh Rifai Surur meringkasnya dengan istilah Keluarga Dakwah, keluarga yang tercelup dengan nafas dakwah dan bergerak dengan spirit dakwah.

Bahkan, dinamika dan lika-liku perjalanan dakwah yang diemban keluarga, bisa menjadi batu ujian yang sangat ideal untuk cinta dan kesetiaan pasangan. Demikian pula sebaliknya, di tengah dinamika cinta dan kesetian keluarga, bisa dilakukan ibadah dan pengabdian kepada Allah. Di tangan keluarga dakwah, resiko dakwah justru menguatkan samara dan sebaliknya samara  menjadi media melaksanakan dakwah.

Nabi Ibrahim as setelah menikah dengan Hajar dan dikaruniai anak, Sarah cemburu dengan meminta Ibrahim as menyingkirkan jauh-jauh Hajar dari pandangannya. Ini adalah dinamika samara dalam keluarga. Tapi uniknya, sambil memberi solusi atas dinamika keluarga ini, Ibrahim as diperintahkan oleh Allah untuk menempatkan Hajar dan putranya di Mekah, lembah kering di tengah padang pasir jauh dari kediaman Sarah. Satu pekerjaan untuk dua tujuan; solusi masalah rumah tangga, sekaligus pelaksanaan perintah Allah. Indah sekali !

Dari kisah ini dapat ditarik pelajaran: laksanakan dakwah, niscaya Allah akan berikan solusi masalah rumah tangga kita, seperti Allah memberi solusi masalah rumah tangga Ibrahim ! Sebaliknya, abaikan dakwah, niscaya kita hanya akan disibukkan dengan urusan rumah tangga karena tak ada “jalan keluar langit’ yang tersedia. wallahu a’lam bis-showaab.

by elhakimi  (elhakimi.wordpress.com)

Sunday, January 26, 2014

Kehangatan Rumah Jangan Melenakanmu Dari Perjuangan




Jendela Keluarga: Mengurus keluarga itu sangat penting. Membahagiakan keluarga, adalah bagian dari kewajiban. Namun tidak boleh terlena oleh kehangatan keluarga, yang menyebabkan kita melalaikan kewajiban dakwah dan tidak menunaikan amanah. Semua amanah harus ditunaikan dengan sepenuh tanggung jawab.

Pada saat Perang Tabuk, Rasulullah saw keluar bersama sekitar 30.000 pasukan. Di antara sahabat Nabi, ada beberapa orang yang tidak ikut berangkat ke Tabuk, yaitu Ka’ab bin Malik, Murarah bin ar-Rabi’ dan Hilal bin Umayyah. Mereka ini –seperti dikatakan oleh Ibnu Ishaq dalam kitab Sirahnya— adalah orang–orang jujur yang tidak diragukan lagi kebaikan mereka.

Ternyata ada pula seorang sahabat yang sempat tertinggal, bernama Abu Khaitsamah. Namun akhirnya iapun menyusul Rasulullah saw di Tabuk.

Jamuan istimewa dari Para Isteri Tercinta

Thabrani, Ibnu Ishaq dan al-Wakidi meriwayatkan bahwa setelah Rasulullah saw berjalan beberapa hari menuju Tabuk, Abu Khaitsamah kembali kepada keluarganya di hari yang sangat panas sekali. Ia disambut oleh kedua istrinya di dua kemah yang terletak di tengah kebun. Masing–masing telah menyiapkan kemahnya dengan nyaman, lengkap dengan air sejuk dan makanan beraneka macam. Ketika masuk di pintu kemah dia melihat kedua istrinya dan apa yang telah mereka persiapkan.

Tertegun Abu Khaitsamah menyaksikan itu semua. Jamuan yang sangat istimewa, dari isteri-isteri tercinta. Udara yang panas, rasa lelah yang mendera, dijamu dengan minuman dingin, serta makanan yang lezat, ditemani dua isteri di dua kemah yang berbeda. Hatinya justru gundah, maka segera ia berkata :

”Rasulullah saw berjemur di terik matahari dan diterpa angin panas sedangkan Abu Khaitsamah bersantai di kemah yang sejuk, menikmati makanan yang tersedia dan bersenang ria dengan isteri-isteri cantik? Demi Allah, ini tidak adil !”

Dengan tegas Abu Khaitsamah berkata, ”Demi Allah, aku tidak akan masuk kemah salah seorang diantara kalian hingga aku menyusul Rasulullah saw!

Melihat sikap suami yang tegas itu, segera kedua istrinya mempersiapkan perbekalan untuk berangkat. Setelah perbekalan siap, ia bergegas berangkat menuju Tabuk. Hatinya merasa tidak nyaman, ia harus segera bertemu Rasulullah saw dan para sahabat yang tengah berjuang di Tabuk.

Tetaplah Berangkat, Walau Terlambat

Di Tabuk, para sahabat melihat dari kejauhan ada seseorang yang mengendarai kuda mendekati mereka. Para sahabat berkata, ”Ada seorang pengendara yang datang.” Rasulullah saw bersabda, ”Ia adalah Abu Khaitsamah!”

Setelah semakin dekat, para sahabat berkata, ”Wahai Rasulullah, ia memang Abu Khaitsamah.”
Turun dari kudanya, Abu Khaitsamah bergegas menghadap Rasulullah saw. Sabda beliau saw kepadanya, ”Engkau mendapatkan keutamaan wahai Abu Khaitsamah!”
Abu Khaitsamah kemudian menceritakan kisahnya, dan Rasulullah saw berdoa untuk kebaikannya.

Tetaplah berangkat menunaikan amanah, tetaplah berangkat melaksanakan kewajiban, betapapun kelelahan mendera tubuhmu. Betapapun keluarga yang sangat engkau cintai membuat hatimu tertambat dan ingin tidak berangkat. Singkirkan kemanjaan, buang kemalasan, ambil ketegasan sikap, dakwah harus dimenangkan.

Kehangatan keluarga jangan sampai membuatmu malas menunaikan amanah dakwah. Kenyamanan bersama isteri, suami dan anak-anak, jangan sampai membuat engkau tidak berangkat melaksanakan panggilan perjuangan. Ayo bergerak, walau engkau sudah terlambat. Ayo tetap berangkat, walau saudara-saudaramu para aktivis telah terlebih dulu berada di medan perjuangan dakwah.

Mungkin engkau terlambat, mungkin engkau sempat terlena, mungkin engkau sempat khilaf, mungkin engkau sempat manja, mungkin engkau sempat malas, mungkin engkau sempat merasa berat. Isteri cantikmu, anak-anak kecilmu, rumah bagusmu, mobil indahmu, semua menunggu ingin bersama denganmu.

Namun lihat di sana, para aktivis tengah sibuk memasang bendera. Para aktivis tengah lelah melaksanakan jutaan agenda. Para aktivis tengah berjaga-jaga agar tidak dicurangi oleh para durjana. Pagi, siang, sore dan malam, aktivitas mereka tiada henti. Memenangkan dakwah di medan-medan perjuangan yang sulit dan memerlukan banyak tenaga serta sarana. Segera datang, segera bergabung bersama mereka.
By. Ustd. Cahyadi Takariawan

Friday, January 24, 2014

[Video] Kisah Inspiratif Yang Dapat Membuat Anda Menangis





Jendela Keluarga: Berikut adalah Sebuah Kisah inspiratif yang dapat membuat kita semua yang menontonnya menangis. Video ini mengisahkan seorang pedagang kecil yang selalu bersedekah. Dang sungguh keajaiban dan pertolongan dari Allah SWT selalu datang kepada orang-orang senantiasa menebar kebaikan termasuk bersedekah.

Sungguh benar firman Allah, “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah : 261).



Agar Bisa Menikmati Jalan Dakwah






Jendela Keluarga: Engkau hanya memerlukan kesadaran, bahwa yang engkau lakukan seluruhnya dalam dakwah ini adalah untuk Allah. Kerjamu untuk Allah. Keringatmu untuk Allah. Waktu yang engkau habiskan untuk Allah. Harta yang engkau alokasikan dalam dakwah adalah untuk Allah. Pikiran yang engkau curahkan untuk Allah. Tenaga yang engkau sumbangkan untuk Allah.

Berjalanmu dalam melakukan semua kegiatan, berangkat dan pulangnya, untuk Allah. Dudukmu dalam mengikuti rapat dan koordinasi, untuk Allah. Suaramu saat engkau menyampaikan pendapat dan pandangan, untuk Allah. Mengawali dan mengakhiri rapat dan semua pertemuanmu, untuk Allah. Program kerja yang engkau tunaikan, untuk Allah. Berlelah-lelahmu untuk Allah. Berpagi-pagimu untuk Allah. Bermalam-malammu untuk Allah.

Engkau hanya memerlukan kesetiaan, bahwa segala yang engkau pikirkan adalah untuk Allah. Segala yang engkau kerjakan adalah untuk Allah. Segala yang engkau rancang adalah untuk Allah. Segala yang engkau inginkan adalah ridha Allah.

Engkau tidak perlu memusingkan dirimu akan mendapatkan apa dalam jalan dakwah ini, karena itu urusan Allah. Engkau tidak perlu merisaukan posisimu seperti apa dalam organisasi dakwah karena telah diatur oleh Allah. Mungkin saja engkau mengetahui ada sebagian orang yang hasad kepadamu, kepada posisimu, kepada kedudukanmu, namun engkau telah menyerahkan semuanya kepada Allah. Engkau tidak perlu menyimpan rasa iri dengki atas posisi, kedudukan, jabatan, dan harta benda yang dimiliki saudaramu di jalan dakwah, karena engkau lebih menginginkan kedudukan mulia di sisi Allah.

Engkau tidak perlu resah memikirkan omongan dan sikap orang kepadamu, selama engkau selalu bersandar kepada Allah. Engkau tidak perlu menyibukkan diri untuk berharap-harap jabatan, posisi, kedudukan, kekuasaan tertentu dalam perjalanan dakwah, karena telah dikelola oleh Allah. Engkau tidak perlu menyibukkan diri untuk mencari-cari gemerlapnya pujian dalam mengemban amanah dakwah, karena segala puji hanyalah milik Allah.

Engkau hanya perlu menyibukkan diri untuk selalu membawa kesadaran Rabbaniyah dalam segala langkah. Engkau hanya perlu menyibukkan diri untuk selalu mengingat Allah dalam segala kegiatan. Engkau hanya  perlu menyibukkan diri untuk memberikan kontribusi terbaik di jalan dakwah, dengan segala potensi dan kemampuan yang engkau miliki, karena Allah.

Engkau hanya perlu menyadari bahwa kemuliaan itu hanya milik Allah. Bukan pada jabatan, posisi, kedudukan, harta dan materi duniawi. Engkau hanya perlu memupuk dan menguatkan kecintaan kepada Allah, karena pada sisi Allah terdapat segala kekuatan dan kesempurnaan. Tidak ada orang terhina selama dia mendekat kepada Allah. Tidak ada orang mulia dalam menjauhi Allah.

Maka, resapilah setiap hari setiap saat, betapa nikmat berada di jalan dakwah ini. Karena proposalmu adalah kepada Allah, bukan kepada manusia. Proposalmu adalah kerja di jalanNya, bukan untuk posisi dunia.

Selamat menempuh jalan dakwah yang begitu nikmat, setiap waktu setiap saat.
 
Cahyadi Takariawan 

Thursday, January 23, 2014

Cinta Kerja Harmoni

Cinta - Kerja - Harmoni



[Video] : Pembelajaran IPA Kelas 4 SD Juara Yogyakarta

 

Jendela Keluarga: Video ini di buat dari pengalaman pembelajaran kelas 4 SD Juara Yogyakarta untuk mata pelajaran IPA. Video ini berisi kumpulan photo-photo dokumentasi selama pembembelajaran IPA di kelas 4 untuk semester ganjil. Semoga video ini menjadi Inspirasi dalam pembelajaran di kelas.



Wednesday, January 22, 2014

Belajar Kesabaran dari Istri Fir'aun

 

Jendela Keluarga - “Dan Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, istri Fir’aun, ketika dia berkata, “Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim”. (QS At Tahrim: 11) .

Ayat tersebut adalah bercerita tentang seorang istri yang sabar menghadapi perilaku buruk suaminya, dan sekaligus membantu mempertahankan keutuhan rumah tangga. Dalam kasus tersebut, istri Fira’aun, Asiyah binti Muzahim, sangat sabar menerima kekejaman Fir’aun terhadap dirinya.

 
Wanita paling utama di surga adalah Khadijah binti Kuwalid, Fatimah binti Muhammad, Maryam binti Imran dan Asiyah binti Muzahim istri Fir’aun.” (HR Ahmad dan Thabrani). Dirinya tetap tabah dan sabar menghadapi kekejaman suaminya dan hanya pasrah pada Allah SWT.
 
Seorang istri penyabar seperti istri Fir’aun yang Allah SWT gambarkan pada ayat tersebut tentu memberikan jasa sangat besar dalam memelihara keutuhan rumah tangga, kebahagiaan suami dan kegembiraan anak-anaknya.
 
Ia tidak akan mudah menceritakan kesulitan dan berbagai permasalahan yang akan menyedihkan dan mecemaskan suaminya. Walaupun sebenarnya istri menyimpan kepahitan dalam hatinya, semua kesulitan dihadapinya dengan penuh ketabahan dan sikap pasrah kepada Allah. Hal itu menjadikan rumah tangganya selalu dipenuhi kegembiraan, keceriaan dan penuh tawa.
 
Sabar dalam bahasa Arab bisa diartikan lapang dada menerima kesulitan, kepahitan dan rintangan tanpa keluh kesah, menggerutu dan lainnya. Bila seseorang menggerutu menghadapi kesulitan, jengkel dan marah menghadapi rintangan. Dia dikatakan tidak sabar.
 
Istri yang sabar, maka ia akan memberikan semangat, motivasi dan dorongan hidup kepada suaminya  menghadapi segala macam hadangan dan rintangan, namun ia juga dapat menjaga kehormatan suami di hadapan anak-anak, orang lain dan lain sebagainya.
 
Walaupun dalam kondisi nyata, riil, pada kehidupan sekarang ini sangat sulit, susah, jarang terjadi dan lainnya. Namun, sikap semacam ini akan memunculkan hubungan yang cukup mesra dalam rumah tangga, karena anak-anak selalu menaruh hormat kepada bapaknya.
 
Dan sebaliknya, jika istri seorang yang pemarah, serta karakter kurang baik lainnya, maka akan menimbulkan konflik berkepanjangan dalam rumah tangganya. Bahkan konflik tersebut bisa melebar kepada anak-anak, orang tua, tetangga, bahkan masyarakat.
 
Jika hal ini terjadi, pasti anak-anak dalam rumah tangga semacam ini akan mengalami stress dan kebingungan. Selain itu, tetangga pun akan merasa enggan berdekatan dengan rumah tangga yang dipenuhi konflik.
 
Oleh karena itu, setiap laki-laki sangat perlu memperhatikan sifat calon istrinya (--begitu pula sebaliknya, setiap wanita juga sangat perlu untuk memperhatikan sifat calon suaminya--) apakah dia bersifat penyabar atau pemarah, tabah menempuh kesulitan atau manja.
 
Hal ini perlu diketahui oleh pasangan (suami dan istri), sebab sifat buruk banyak berpengaruh dalam hidup berumah tangga. Karena itu pastinya tidak ada orang yang mau membangun rumah tangga dengan suasana penuh permusuhan, pertentangan, perselisihan dan yang hanya akan menciptakan hidup penuh derita dan nestapa.

Semoga keluarga atau mahligai pernikahan yang sudah kita bangun dari awal tidak kandas di tengah jalan. Semoga bahtera ini akan terus berjalan hingga layar terus berkembang tiba ditempat yang dituju.  Wallahua’lam.
Oleh: Ust. Cepi Permana [sumber: islamedia.web.id]

Politik Kotor Sang Pemimpin


Jendela Keluarga: Ibnu Katsir dalam "Bidayah wa Nihayah" menuturkan kisah sederhana tentang Umar bin Abdul Aziz. Suatu malam datanglah Raja' ibn Haiwah, sang alim di kediaman Umar ibn Abdul Aziz. Raja' ibn Haiwah, kita mengenalnya sebagai sosok yang sangat berpengaruh dalam pengangkatan Umar ibn Abdul Aziz. Di tengah sistem mulk yang menyesakkan dada, ia tak berputus asa. Ia dekati sang raja, Sulaiman ibn Abdul Malik, lalu menanamkan pengaruh. Ia berusaha hadirkan kebajikan dan cegah kemadharatan selagi masih berkesanggupan.

Ya, lelaki alim itu lebih memilih menyalakan lilin daripada mengutuki kegelapan. Ia ikuti kaidah ushul: maa laa tudraku kulluhu, fa laa tutraku kulluh. Sesuatu yang tak dapat diraih seluruhnya, janganlah ditinggalkan semuanya. Hasilnya, ia berhasil munculkan Umar ibn Abdul Aziz di tengah sistem yang rusak. Semula Baitul Maal banyak dikuras untuk kepentingan penguasa, lawan politik diberangus bahkan ribuan mati tanpa pengadilan, kebebasan berpendapat terbelenggu, tapi akhirnya semua berubah total.

Nah, malam itu, sang alim datang ke kediaman Umar ibn Abdul Aziz. Mereka berbincang hangat. Di tengah perbincangan itu, tiba-tiba lampu padam. Barangkali minyak lampu habis. Tapi Umar ibn Abdul Aziz masih terdiam. "Tidakkah kamu panggil pelayanmu agar bersedia menambah minyak lampu ini?" kata Raja' ibn Haiwah. Malam telah cukup larut. Ruangan sangat gelap.

"Mereka sudah tertidur. Aku tidak mau mengganggu istirahatnya," jawab tuan rumah.

"Kalau begitu," kata Raja' ibn Haiwah, "aku saja yang melakukannya."

"Jangan gurunda," jawab Umar ibn Abdul Aziz, "bukanlah kemulian tatkala tuan rumah meminta bantuan dari tamunya." Setelah itu Umar beranjak. Ia ambil lampu yang padam lalu bergegas pergi menambah minyak yang habis. Sesaat kemudian ia kembali. Pada sang guru yang alim ia berujar santun, "Tadi Umar berdiri dan pergi, kini aku datang lagi dan masih sebagai Umar ibn Abdul Aziz."

Kisah di atas teramat sederhana, tapi melukiskan pribadi yang tak sederhana. Melakukan perkara-perkara kecil yang kadang merupakan tugas orang lain, tapi ia bersedia menunaikan, itu jelas bukan perkara sederhana. Apalagi bagi seorang khalifah, itu jelas luar biasa. Tapi di zaman ketika amal dan kesalihan tidak lagi menjadi ukuran, ia akan tampak disamarkan dengan label pencitraan. Ketika zaman lebih banyak dipengaruhi tayangan media dan seloroh host televisi, kadang mata hati kita teramat buram membaca ketulusan dan akhlak yang sebenarnya. Sungguh, sekira tulisan ini adalah nasihat, ia tak pantas ditujukan pertama kali untuk orang lain. Ia lebih pantas ditujukan untuk penulisnya sendiri. Betapa mudah saya menilai seseorang dari komentar dan seloroh pembawa acara di televisi; saya lupa, kadang akhlak seseorang bukanlah sepotong yang ditampilkan televisi.

Umar ibn Abdul Aziz rela berpayah dan berkotor-kotor. Ia teladani Sang Rasul yang rela gali parit dengan tangan beliau sendiri menjelang Pang Khandak. Maka, jika hari ini ada para salih negarawan yang bersedia teladani Rasul dan Umar ibn Abdul Aziz, rasa-rasanya saya sangat malu. Ketika mereka bersedia kotor untuk bersihkan lingkungan, bersihkan masjid dan tempat ibadah, bersihkan jalanan, sambangi korban bencana, sungguh itu bukan amal buruk. Ia adalah kebajikan yang layak diteladani.

Tapi di negeri yang sakit, tanpa sadar, kita turut kena imbasnya. Kebaikan bukan untuk diteladani, tapi untuk dicurigai. Jabat tangan pun akan menyakitkan bagi mereka yang ada luka di jari jemarinya. Kita sibuk menggunjingkan harga tenda presiden yang mahal saat akan berkunjung ke Sinabung, kita ribut menelisik para relawan partai politik yang bekerja dengan atribut, kita gaduh dengan bantuan berlabel partai serta caleg, kita riuh untuk sesuatu yang orang lain lakukan, tapi lupa dengan apa yang mesti kita perbuat.

Sekali lagi maafkan, tulisan ini adalah teguran yang lebih layak dialamatkan untuk penulisnya sendiri daripada untuk orang lain. Sebab, tanpa Anda ketahui, pada skala yang lebih kecil, saya pun sering menilai dengan cara yang sama.

Hanya pada Allah saya mohon ampunan. Semoga Allah hadirkan dalam diri kita semangat Raja' ibn Haiwah untuk datangkan kebaikan di negeri ini dengan kejernihan untuk hadirkan sosok-sosok yang bersedia teladani Umar ibn Abdul Azizi, para pemimpin yang siap kotor demi rakyatnya.
 


 
Oleh: Ustd. Dwi Budiyanto

Keluarga Sakinah, Modal Untuk Reuni Di Surga




Jendela Keluarga: MAHA SUCI Allah Subhanahu Wata’ala yang telah menciptakan makhluk-Nya berpasang-pasangan. Berjenis laki-laki dan perempuan. Ada kutub positif dan kutub negatif. Ada siang dan malam. Suka dan duka. Sedih dan gembira. Jika bisa dikelola dengan baik, perputaran dan pergiliran dua keadaan yang saling kontradiktif, kehidupan manusia menjadi dinamis dan romantis.

Allah Subhanahu Wata’ala juga telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (QS. Yasin (36) : 36)

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak. Di antara tanda-tanda keagungan Allah ialah, Dia menciptakan bagimu, dari jenismu sendiri, pasangan-pasangannya, supaya kamu hidup tenteram bersamanya, dan dijadikan Allah bagimu cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya dalam hal itu ada tanda-tanda bagi orang-orang yang mau berfikir.” (QS. Ar Rum (30) : 20-21).

Mitsaqan Ghalizha

Ayat ini ditempatkan Allah Subhanahu Wata’ala pada rangkaian ayat tentang tanda-tanda kebesaranNYA di alam semesta – tegaknya langit, terhamparnya bumi, turunnya air hujan, gemuruhnya suara halilintar, dan keajaiban penciptaan manusia. Dengan ayat di atas Allah Subhanahu Wata’ala ingin menegaskan dan mengajarkan kepada kita betapa Ia dengan sengaja menciptakan kekasih yang menjadi pasangan/pendamping setia hidup manusia.

Diciptakan Allah Subhanahu Wata’ala bumi dengan segala yang ada di atasnya – samudera luas, bukit tinggi, rimba belantara – untuk kebahagiaan manusia. Diedarkan Allah Subhanahu Wata’ala mentari, rembulan, gugusan bintang-gemintang, dijatuhkan-Nya hujan, ditumbuhkan-Nya pepohonan, dan disirami-Nya tetanaman, semua karunia itu untuk kebahagiaan manusia.

Tetapi, Allah Subhanahu Wata’ala Yang Maha Mengetahui memberikan lebih daripada itu. Diketahui-Nya getar dada kerinduan hati. Yaitu bersanding sehidup semati dengan si jantung hati. Betapa sering kita memerlukan seseorang yang mau mendengar bukan saja kata yang diucapkan, melainkan juga jeritan hati yang tidak terungkapkan, yang bersedia menerima segala perasaan – tanpa pura-pura, prasangka, dan pamrih. Karena itu diciptkan-Nya seorang kekasih. Allah Subhanahu Wata’ala tahu, pada saat kita diharu biru, diempas ombak, diguncang badai, dan dilanda duka, kita memerlukan seseorang yang mampu meniupkan kedamaian, mengobati luka, menopang tubuh yang lemah, dan memperkuat hati – tanpa pura-pura, prasamgka, dan pamrih. Karena itu diciptakan-Nya seorang kekasih. Allah Subhanahu Wata’ala tahu, kadang-kadang kita berdiri sendirian lantaran keyakinan atau mengejar impian. Kita memerlukan seseorang yang bersedia berdiri di samping kita tanpa pura-pura, prasangka dan pamrih. Karena itu diciptakan-Nya seorang kekasih.

Supaya hubungan antara pencinta dan kekasihnya itu menyuburkan ketentraman, cinta, dan kasih sayang, Allah Subhanahu Wata’ala menetapkan suatu ikatan suci, yaitu aqad nikah. Dengan ijab (penyerahan) dan qobul (penerimaan) terjadilah perubahan besar: yang haram menjadi halal, yang masiat menjadi ibadat, kekejian menjadi kesucian, dan kebebasan menjadi tanggung jawab. Nafsu pun berubah menjadi cinta (mawaddah) dan kasih (rahmah) dan ulfah (hubungan yang jinak).

Begitu besarnya perubahan itu sehingga Al Quran menyebut aqad nikah sebagai mitsaqan ghalizha (perjanjian yang berat). Hanya tiga kali kata ini disebut di dalam Al Quran.

Pertama, ketika Allah Subhanahu Wata’ala membuat perjanjian dengan para Nabi – Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad saw.

وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ النَّبِيِّينَ مِيثَاقَهُمْ وَمِنكَ وَمِن نُّوحٍ وَإِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَأَخَذْنَا مِنْهُم مِّيثَاقاً غَلِيظاً

“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, musa, dan Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang berat.” (QS: Al Ahzab (33): 7).

Kedua, ketika Allah Subhanahu Wata’ala mengangkat Bukit Thur di atas kepala bani Israil dan menyuruh mereka bersumpah setia di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala

وَرَفَعْنَا فَوْقَهُمُ الطُّورَ بِمِيثَاقِهِمْ وَقُلْنَا لَهُمُ ادْخُلُواْ الْبَابَ سُجَّداً وَقُلْنَا لَهُمْ لاَ تَعْدُواْ فِي السَّبْتِ وَأَخَذْنَا مِنْهُم مِّيثَاقاً غَلِيظاً

“Dan telah Kami angkat ke atas (kepala) mereka bukit Thursina karena (mengingkari) perjanjian (yang telah Kami ambil dari) mereka. Dan Kami perintahkan kepada mereka : Masukilah pintu gerbang itu sambil bersujud, dan Kami perintahkan (pula) kepada mereka : Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabtu, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang berat.” (QS: An Nisa (4) : 154).

Ketiga, ketika Allah Subhanahu Wata’ala menyatakan hubungan pernikahan (QS. An Nisa (4) : 21).

وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقاً غَلِيظاً

“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”

Mitsaqan ghalizha berarti kita sepakat untuk menegakkan dinul islam dalam rumah, sepakat untuk membina rumah tangga sakinah, mawaddah dan rahmah serta ulfah. Sepakat meninggalkan masiat. Sepakat saling mencintai karena Allah Subhanahu Wata’ala. Menghormati dan menghargai. Saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing. Saling menguatkan keimanan. Saling menasihati dalam menetapi kebenaran dan saling memberi nasihat dengan kasih sayang. Saling setia dalam suka dan duka, kefakiran dan kekayaan, sakit dan sehat.

Pernikahan juga bermakna sepakat meniti hari demi hari dengan kebersamaan. Sepakat untuk saling melindungi dan menjaga. Saling memberikan rasa aman. Saling mempercayai dan menutup aib. Saling mencurahkan dan menerima keluhan dan perasaan. Saling berlomba dalam beramal. Saling memaafkan kesalahan. Saling menyimpan dendam dan amarah.

Pernikahan berarti pula sepakat untuk tidak melakukan penyimpangan. Tidak saling menyakiti perasaan dan pisik. Juga sepakat untuk mengedepankan sikap lemah lembut dalam ucapan, santun dalam pergaulan, indah dalam penampilan, mesra dalam mengungkapkan keinginan.

Ijab Qabul, Bukan Peristiwa Kecil

Karena itu peristiwa aqad nikah bukanlah kejadian kecil di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala. Akad nikah sama tingginya dengan perjanjian para rasul, sama dahsyatnya dengan perjanjian bani Israil di bawah bukit Thursina yang bergantung diatas kepala mereka.

Peristiwa aqad nikah tidak saja disaksikan oleh kedua orangtua, sudara-saudara, dan sahabat-sahabat, sanak famili, handai taulan, tetangga, tetapi juga disaksikan oleh para malaikat di langit yang tinggi, dan terutama sekali disaksikan oleh Allah Subhanahu Wata’ala Penguasa alam semesta.

Bila perjanjian ini disia-siakan, diceraikan ikatan tali hubungan yang sudah terbuhul, diputuskan janji setia yang telah terpatri, kita tidak saja harus bertanggung jawab kepada semua yang hadir menyaksikan peristiwa yang berkesan itu, tetapi juga bertanggung jawab di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala Swt.

وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلىَ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُوْلَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا (رواه البخاري ومسلم

“Laki-laki adalah pemimpin di tengah keluarganya, dan ia harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya. Wanita adalah pemimpin di rumah suaminya, dan ia harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya.” (HR. Bukhari Muslim).

Kata Rasulullah, “Yang paling baik di antara kamu adalah yang paling baik dan paling lembut terhadap keluarganya.” (Al Hadits).

Mengapa Kita Memelihara Ikatan Itu ?

Mengapa Allah Subhanahu Wata’ala dan Rasul-Nya mewasiatkan agar kita memelihara aqad nikah yang sakral ini? Mengapa kebaikan manusia diukur dari cara dia memperlakukan keluarganya? Mengapa suami dan isteri harus mempertanggungjawabkan peran yang dilaksanakan di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala?
Jawabannya sederhana: Karena Allah Subhanahu Wata’ala Maha Mengetahui bahwa kebahagiaan dan penderitaan manusia sangat tergantung pada hubungan mereka dengan orang-orang yang dicintai mereka, yakni dengan keluarganya. Bila di dunia ini ada surga, kata Marie von Ebner Eschenbach, surga itu adalah pernikahan yang bahagia. Tetapi, bila di dunia ini ada neraka, neraka itu adalah pernikahan yang gagal. Para psikolog menyebutkan persoalan rumah tangga sebagai penyebab stress yang paling besar dalam kehidupan manusia.

Karena itulah, Islam dengan penuh perhatian mengatur urusan rumah tangga. Sebuah ayat pernah diturunkan dari langit hanya untuk mengatur urusan pernikahan antara Zainab dan Zaid bin Haritsah. Sebuah surat turun untuk mengatur urusan rumah tangga seluruh kaum muslimin. Ribuan tahun yang silam, di Padang Arafah, di hadapan ratusan ribu ummat islam yang pertama, Rasulullah saw. menyampaikan khotbah perpisahan.

اَيُّهَا النَّاسُ فَا تَّقُوا اللهَ فِي النِّسَاءِ فَاِنَّكُمْ اَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَانَةِ اللهِ وَاسْتَحْلَلْكُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ , اِنَّ لَكُمْ عَلىَ نِسَائِكُمْ حَقًّا , وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا أَلاَ وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَاِنَّهُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ , لاَ يَمْلِكُنَّ ِلاَنْفُسِهِنَّ شَيْئًا وَلَيْسَ تَمْلِكُوْنَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلاً

“Wahai manusia, takutlah kepada Allah Subhanahu Wata’ala akan urusan wanita. Sesungguhnya kamu telah mengambil mereka sebagai istri dengan amanat Allah Subhanahu Wata’ala. Kami halalkan kehormatan mereka dengan kalimah Allah Subhanahu Wata’ala. Sesungguhnya kamu mempunyai hak atas istrimu, dan istrimu pun mempunyai hak atasmu. Ketahuilah, aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik terhadap istri kalian. Mereka adalah penolong kalian. Mereka tidak memilih apa-apa untuk dirinya, dan kamu pun tidak memilih apa-apa dari diri mereka selain itu. Jika mereka patuh kepadamu, janganlah kamu berbuat aniaya terhadap mereka.” (HR. Muslim dan Turmudzi)

Tuesday, January 21, 2014

Al Wafa Bagian 3 : Kisah-kisah Menepati Janji


1.  Menepati janji dalam membayar hutang

Rasulullah berkisah: Ada seorang Bani Israil (A) yang meminjam 1000 dinar kepada salah seorang dari Bani Israil (B).

Si B meminta A untuk mendatangkan saksi. Si A berkata : Cukuplah Allah sebagai saksi. Si B meminta ditunjukkan kafil (penjamin). Si A menjawab cukuplah Allah sebagai penjamin. 

Si B percaya dan ia berikan 1000 dinar itu, sesuai dengan batas waktu yang disepakati bersama.Lalu si A pulang ke kampungnya di seberang sana. Ia kumpulkan uang hingga cukup jumlahnya samapai batas waktu pembayarannya. 

Ketika jatuh tempo itulah si A mencari kapal penyebrangan untuk membayar hutangnya. Tetapi tidak ada kapal penyebrangan hari itu. 

Akhirnya si A mengambil sebatang kayu, ia lubangai kayu itu dania masukkan 1000 dinar pinjamannya itu disertai pesan kepada saudaranya di seberang. Ia ceburkan kayu itu ke laut, disertai doa:

”Ya Allah Engkau Yang Maha Mengetahui, bahwa saya pernah berhutang 1000 dinar kepada seseorang, ketika ia meminta jaminan, saya katakan : “Cukuplah Allah sebagai penjamin” dan ia menerima. Ketika ia meminta saksi, saya katakan : “Cukuplah Allah sebagai saksi” dan iapun menerima. Dan sekarang saya sudah berusaha mencari penyebrangan untuk membayarkannya, tetapi saya tidak menemukannya, maka sekarang saya titipkan ini kepadamu Ya Allah”. 

    Setelah itu ia pergi sambil mencari kapal yang bisa menyeberangkannya. Si B yang dijanjikan dibayar pada hari itupun keluar ke pantai menunggu kapal yang datang, menjemnput Si A yang meminjam uang kepadanya. Kapal tidak ada yang merapat. Akhirnya ia memutuskan pulang. Ketika hendak pulang itulah ia melihat kayu mengapung. Daripada pulang dengan tangan kosong ia ambil kayu itu, siapa tahu berguna untuk kayu bakar. 

Sesampai di rumah kayu itu ia belah untuk dijadikan kayu bakar. Ketika dibelah, ditemukanlah 1000 dinar dan catatan dari si A diseberang. 

Si A yang terus berusaha mencari kapal penyebrangan akhirnya menemukannya. Dan berhasil menyebrang ke rumah si B. 

Sesampainya di rumah B, si A menyodorkan 1000 dinar, dengan mengatakan : “Demi Allah, saya telah berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan kapal penyeberangan guna membayar hutang, dan saya tidak menemukannya kecuali hari ini. 

Kata si B. “Tidakkah kamu telah mengirimkannya kepadaku?
Kata A: “ Bukankan telah saya katakan bahwa saya tidak mendapatkan  kapal penyebrangan.
Kata si B:”Sesungguhnya Allah telah menyampaikan kepadaku apa yang engkau letakkan di dalam kayu bakar. (Ibn Katsir, 1: 447)

a.      Abdullah bin Amir

Abdullah bin Amir berkata, ”Suatu hari ibuku memanggilku sedangkan Rasulullah sedang duduk di rumah kami, maka ibuku berkata, ’Hai, kemari, akan kuberi kamu’ Maka Rasulullah berkata kepada ibuku, ’Apakah engkau mau memberinya?’ Ibuku menjawab, ’Aku mau memberinya kurma’ Berkata Rasulullah, ’Apabila engkau tidak memberinya sesuatu sungguh akan ditulis sebagai kebohongan.” (HR. Baihaqi dalam Syu’banul Iman).

Pelajaran dari kisah ini: Jika kita melakukan itu kepada anak-anak sedangkan yang sebenarnya tidak ingin memberinya, maka berarti
-          mengarjakan kebohongan
-          mengajarkan untuk tidak menepati janji
-          mendorong untuk tidak tsiqoh

b.       Abdullah bin Abil Hasma

Aku berjual-beli dengan Nabi SAW sebelum b’tsah, aku menyisakan kembalian pada beliau, lalu aku berjanji akan membawanya di suatu tempat, tapi aku lupa. Aku ingat setelah tiga hari kemudian, lalu aku mendatangi tempat itu dan aku dapati beliau ada di tempat itu. Beliau berkata, ”Sungguh engkau telah menyusahkanku. Aku di sini sejak tiga hari menunggumu” (HR. Abu Daud)

c.      Jabir bin Abdillah

Jabir bin Abdillah berkata, ”Ketika meninggalnya Rasullah SAW dan datang kepada Abu Bakar harta benda dari Hadhrami, maka berkata Abu Bakar, ’Siapa yang memiliki piutang kepada Nabi SAW atau pernah dijanjikan sesuatu oleh beliua, datanglah kepada kami’ Maka Jabir berkata, ’Aku pernah dijanjikan Nabi akan diberi ini, ini, ini” sambil membentangkan tangannya tiga kali. Jabi berkata, ’Maka Abu Bakar memberikan 500’. Abu Bakar berkata, ’Ambil lagi yang sebanyak itu!’ (HR. Bukhori-Muslim)

d.       Ibnu Juhaifah dan Abu Bakar

Abi Juhaifah pernah dijanjikan oleh Rasulullah SAW akan diberi 13 qulush (onta betina muda) lalu aku mendatanginya, tapi beliau wafat hingga aku tidak diberi apapun. Ketika Abu Bakar menjadi Khalifah, beliau berkata, ’Siapa yang memiliki janji dengan Rasulullah Saw, datanglah kepadaku.’ Maka aku berdiri dan memberitahukannya lalu beliau memerintahkan untuk memberi kepada kami.” (HR. Tirmidzi)

2.      Kewajiban tepat janji dan ancaman bagi yang tidak menepatinya

  1. Tidak menepati janji adalah salah satu ciri kemunafikan. Rasulullah bersabda : “Ada empat hal jika ada pada seseorang maka jadilah ia munafik tulen, dan jika ada sebagainnya maka ia memiliki ciri-ciri kemunafukan, hingga ia bisa meninggalkannya. 1). Jika dipercaya ia berkhianat, 2). Jika berbicara ia berdusta, 3). Jika berjanji mengingkari, 4). Jika berdebat ia curang.” Muttafaq alaih

  1. Menjadi musuh Allah di hari kiamat. Sabda Nabi : Allah berfirman ”Ada tiga orang yang menjadi musuhku di hari kiamat:1). Orang yang menjanjikan pemberian lalu mengingkari, 2). Orang yang menjual orang merdeka lalu ia makan hasilnya, 3). Orang yang mempekerjakan seseorang dan telah memenuhi permintaannya lalu tidak dibayrakan upahnya.HR. Al Bukhariy.

Salah satu bentuk kezaliman. Sabda Nabi : “Orang kaya yang menunda-nunda pembayaran hutang adalah perbuatan zalim….”Muttafaq alaih.