Jendela Keluarga: Ujian dan Cobaan sepertinya tidak
bisa lepas dari fitrah manusia, karena dengan ujian itulah hidup kita selaku
hambaNYA akan semakin berkualitas dan juga akan bertambah baik. Dan sebaliknya,
jika hidup ini selalu dalam keadaan baik terus, tanpa ada satu halangan dan
rintangan, tentu manusia tidak mengetahui tingkat kebaikan atau kualitas yang
ada pada dirinya.
Kita selaku orang
yang beriman kepada Allah SWT, tentu sudah sangat lumrah jika kita mendapat
ujian dan cobaan, sebab dengan adanya ujian tersebut, kadar keimanan seseorang
akan terlihat, sejauh manakah kesabaran dan ketabahan kita, sekuat manakah
keimanan dan keyakinan kita akan karunia dan pertolongan yang akan Allah
berikan kepada kita disaat kita ditimpa ujian maupun cobaan.
Allah SWT berfirman dalam Al Quran dalam
surat Al-‘Ankabut ayat 2 dan 3:
Apakah manusia itu mengira bahwa
mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak
diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum
mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan
sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.
Ayat ini menjelaskan kepada kita
bahwa salah satu konsekuensi pernyataan iman kita, adalah kita harus siap menghadapi ujian yang diberikan Allah Subhannahu
wa Ta'ala kepada kita, untuk membuktikan sejauh mana kebenaran dan kesungguhan
kita dalam menyatakan iman, apakah iman kita itu betul-betul bersumber dari
keyakinan dan kemantapan hati, atau sekedar ikut-ikutan serta tidak tahu arah
dan tujuan, atau pernyataan iman kita didorong oleh kepentingan sesaat, ingin
mendapatkan kemenangan dan tidak mau menghadapi kesulitan seperti yang
digambarkan Allah Subhannahu wa Ta'ala dalam surat Al-Ankabut :10:
Dan di antara manusia ada orang yang
berkata: “Kami beriman kepada Allah”, maka apabila ia disakiti (karena ia
beriman) kepada Allah, ia menganggap fitnah manusia itu sebagai azab Allah. Dan
sungguh jika datang pertolongan dari Tuhanmu, mereka pasti akan berkata:
“Sesungguh-nya kami adalah besertamu.” Bukankah Allah lebih mengetahui apa yang
ada dalam dada semua manusia”?
Bila kita sudah menyatakan iman dan
kita mengharapkan manisnya buah iman yang kita miliki yaitu Surga sebagaimana
yang dijanjikan oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala :
Sesungguhnya orang-orang yang
beriman dan beramal shalih, bagi mereka adalah Surga Firdaus menjadi tempat
tinggal. (Al-Kahfi 107).
Maka marilah kita bersiap-siap untuk
menghadapi ujian berat yang akan diberikan Allah kepada kita, dan bersabarlah
kala ujian itu datang kepada kita. Allah memberikan sindiran kepada kita, yang
ingin masuk Surga tanpa melewati ujian yang berat.
Apakah kalian mengira akan masuk
Surga sedangkan belum datang kepada kalian (cobaan) sebagaimana halnya
orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa malapetaka dan keseng-saraan,
serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersama-nya:
“Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguh-nya pertolongan
Allah itu amat dekat”. (Al-Baqarah
214).
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa
salam mengisahkan betapa beratnya perjuangan orang-orang dulu dalam perjuangan
mereka mempertahankan iman mereka, sebagaimana dituturkan kepada shahabat
Khabbab Ibnul Arats Radhiallaahu anhu.
... Sungguh telah terjadi kepada
orang-orang sebelum kalian, ada yang di sisir dengan sisir besi (sehingga)
terkelupas daging dari tulang-tulangnya, akan tetapi itu tidak
memalingkannya dari agamanya, dan ada pula
yang diletakkan di atas kepalanya gergaji sampai terbelah dua, namun itu
tidak memalingkannya dari agamanya... (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari dengan Fathul
Bari, cet. Dar Ar-Royyan, Juz 7 hal. 202).
Cobalah kita renungkan, apa yang
telah kita lakukan untuk membuktikan keimanan kita? cobaan apa yang telah kita
alami dalam mempertahankan iman kita? Apa yang telah kita korbankan untuk
memperjuangkan aqidah dan iman kita? Bila kita memper-hatikan perjuangan
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa salam dan orang-orang terdahulu dalam
mempertahankan iman mereka, dan betapa pengorbanan mereka dalam memperjuangkan
iman mereka, mereka rela mengorbankan harta mereka, tenaga mereka, pikiran
mereka, bahkan nyawapun mereka korbankan untuk itu. Rasanya iman kita ini belum
seberapanya atau bahkan tidak ada artinya bila dibandingkan dengan iman mereka.
Apakah kita tidak malu meminta balasan yang besar dari Allah sementara
pengorbanan kita sedikit pun belum ada?
Ujian yang diberikan oleh Allah
kepada manusia adalah berbeda-beda. Dan ujian dari Allah bermacam-macam
bentuknya, setidak-nya ada empat macam ujian yang telah dialami oleh para
pendahulu kita:
Yang pertama: Ujian
yang berbentuk perintah untuk dilaksanakan
Ujian berupa perintah untuk
dilaksanakan ini seperti perintah Allah kepada Nabi Ibrahim Alaihissalam untuk
menyembelih putranya yang sangat ia cintai. Ini adalah satu perintah yang
betul-betul berat dan mungkin tidak masuk akal, bagaimana seorang bapak harus
menyembelih anaknya yang sangat dicintai, padahal anaknya itu tidak melakukan
kesalahan apapun. Sungguh ini ujian yang sangat berat sehingga Allah sendiri
mengatakan:
Sesungguhnya ini benar-benar
suatu ujian yang nyata. (Ash-Shaffat
106).
Dan di sini kita melihat bagaimana
kualitas iman Nabi Ibrahim Alaihissalam yang benar-benar sudah tahan uji,
sehingga dengan segala ketabahan dan kesabarannya perintah yang sangat berat
itupun dijalankan.
Apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim
Shallallaahu alaihi wa salam dan puteranya adalah pelajaran yang sangat berat
itupun dijalankannya.
Apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim
dan puteranya adalah pelajaran yang sangat berharga bagi kita, dan sangat perlu
kita tauladani, karena sebagaimana kita rasakan dalam kehidupan kita, banyak
sekali perintah Allah yang dianggap berat bagi kita, dan dengan berbagai alasan
kita berusaha untuk tidak melaksanakannya. Sebagai contoh, Allah telah memerintahkan
kepada para wanita Muslimah untuk mengenakan jilbab (pakaian yang menutup
seluruh aurat) secara tegas untuk membedakan antara wanita Muslimah dan wanita
musyrikah sebagaimana firmanNya:
Hai Nabi katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mumin”
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian
itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.
Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab, 59).
Namun kita lihat sekarang masih
banyak wanita Muslimah di Indonesia khususnya tidak mau memakai jilbab dengan
berbagai alasan, ada yang menganggap kampungan, tidak modis, atau beranggapan
bahwa jilbab adalah bagian dari budaya bangsa Arab. Ini pertanda bahwa iman
mereka belum lulus ujian. Padahal Rasulullah Shallallaahu alaihi wa salam
memberikan ancaman kepada para wanita yang tidak mau memakai jilbab dalam
sabdanya:
“Dua golongan dari ahli Neraka
yang belum aku lihat, satu kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi, yang
dengan cambuk itu mereka memukul manusia, dan wanita yang memakai baju tetapi
telanjang berlenggak-lenggok menarik perhatian, kepala-kepala mereka seperti
punuk unta, mereka tidak akan masuk Surga dan tidak akan mencium wanginya”. (HR. Muslim, Shahih Muslim dengan Syarh An-Nawawi
cet. Dar Ar-Rayyan, juz 14 hal. 109-110).
Contoh lain ujian berupa perintah
untuk dilaksanakan adalah sebagaimana Allah SWT telah memerintahkan kepada seorang mukmin
untuk menunaikan ibadah puasa, sholat, zakat, dan masih banyak lagi
perintah-perintah Allah SWT untuk kita laksanakan. Namun kalau kita lihat
realitas sekarang banyak sekali kita temukan di tengah masyarakat kita yang
tidak menjalankan ibadah puasa ramadhan ataupun sholat, dan terlebih perintah
untuk berzakat yang ia harus rela mengeluarkan sebagian dari hartanya untuk
diberikan kepada orang yang berhak.
Bukankah hal demikian menunjukan
bahwanya ujian berupa perintah Allah SWT yang harus dilaksakan menjadi sesuatu
yang sangat berat untuk dilaksanakan oleh sebagian besar masyaralkat kita. Inilah
pertanda bahwa iman mereka belum lulus ujian.
Yang kedua: Ujian yang berbentuk larangan untuk ditinggalkan
Ujian yang berbentuk larangan untuk
ditinggalkan seperti halnya yang terjadi pada Nabi Yusuf Alaihissalam yang
diuji dengan seorang perempuan cantik, istri seorang pembesar di Mesir yang
mengajaknya berzina, dan kesempatan itu sudah sangat terbuka, ketika keduanya
sudah tinggal berdua di rumah dan si perempuan itu telah mengunci seluruh pintu
rumah. Namun Nabi Yusuf Alaihissalam membuktikan kualitas imannya, ia berhasil
meloloskan diri dari godaan perempuan itu, padahal sebagaimana pemuda umumnya
ia mempunyai hasrat kepada wanita. Ini artinya ia telah lulus dari ujian atas
imannya.
Sikap Nabi Yusuf Alaihissalam ini
perlu kita ikuti, terutama oleh para pemuda Muslim di zaman sekarang, di saat
pintu-pintu kemaksiatan terbuka lebar, pelacuran merebak di mana-mana, minuman
keras dan obat-obat terlarang sudah merambah berbagai lapisan masyarakat,
sampai-sampai anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar pun sudah ada
yang kecanduan. Perzinahan sudah seakan menjadi barang biasa bagi para pemuda,
sehingga tak heran bila menurut sebuah penelitian, bahwa di kota-kota besar
seperti Jakarta dan Surabaya enam dari sepuluh remaja putri sudah tidak perawan
lagi. Di antara akibatnya setiap tahun sekitar dua juta bayi dibunuh dengan
cara aborsi, atau dibunuh beberapa saat setelah si bayi lahir. Keadaan seperti
itu diperparah dengan semakin banyaknya media cetak yang berlomba-lomba
memamerkan aurat wanita, juga media elektronik dengan acara-acara yang sengaja
dirancang untuk membangkitkan gairah seksual para remaja.
Pada saat seperti inilah sikap Nabi
Yusuf Alaihissalam perlu ditanamkan dalam dada para pemuda Muslim. Para pemuda
Muslim harus selalu siap siaga menghadapi godaan demi godaan yang akan
menjerumuskan dirinya ke jurang kemaksiatan. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa
salam telah menjanjikan kepada siapa saja yang menolak ajakan untuk berbuat
maksiat, ia akan diberi perlindungan di hari Kiamat nanti sebagaimana sabdanya:
“Tujuh (orang yang akan
dilindungi Allah dalam lindungan-Nya pada hari tidak ada perlindungan selain
perlindunganNya, .. dan seorang laki-laki yang diajak oleh seorang perempuan
terhormat dan cantik, lalu ia berkata aku takut kepada Allah…” (HR. Al-Bukhari Muslim, Shahih Al-Bukhari dengan
Fathul Bari cet. Daar Ar-Rayyan, juz 3 hal. 344 dan Shahih Muslim dengan Syarh
An-Nawawi cet. Dar Ar-Rayaan, juz 7 hal. 120-121).
Yang ketiga: Ujian
yang berbentuk musibah
Ujian yang berbentuk musibah seperti
terkena penyakit, ditinggalkan orang yang dicintai dan sebagainya. Sebagai
contoh, Nabi Ayyub Alaihissalam yang diuji oleh Allah dengan penyakit yang
sangat buruk sehingga tidak ada sebesar lubang jarum pun dalam badannya yang
selamat dari penyakit itu selain hatinya, seluruh hartanya telah habis tidak
tersisa sedikitpun untuk biaya pengobatan penyakitnya dan untuk nafkah dirinya,
seluruh kerabatnya meninggalkannya, tinggal ia dan isterinya yang setia
menemaninya dan mencarikan nafkah untuknya. Musibah ini berjalan selama delapan
belas tahun, sampai pada saat yang sangat sulit sekali baginya ia memelas
sambil berdo’a kepada Allah:
“Dan ingatlah akan hamba Kami Ayuub
ketika ia menyeru Tuhan-nya;” Sesungguhnya aku diganggu syaitan dengan
kepayahan dan siksaan”. (Tafsir
Ibnu Katsir, Juz 4 hal. 51).
Dan ketika itu Allah memerintahkan
Nabi Ayyub Alaihissalam untuk menghantamkan kakinya ke tanah, kemudian
keluarlah mata air dan Allah menyuruhnya untuk meminum dari air itu, maka
hilanglah seluruh penyakit yang ada di bagian dalam dan luar tubuhnya. (Tafsir
Ibnu Katsir, Juz 4 hal. 52). Begitulah ujian Allah kepada NabiNya, masa delapan
belas tahun ditinggalkan oleh sanak saudara merupakan perjalanan hidup yang
sangat berat, namun di sini Nabi Ayub Alaihissalam membuktikan ketangguhan
imannya, tidak sedikitpun ia merasa menderita dan tidak terbetik pada dirinya
untuk menanggalkan imannya. Iman seperti ini jelas tidak dimiliki oleh banyak
saudara kita yang tega menjual iman dan menukar aqidahnya dengan sekantong
beras dan sebungkus sarimi, karena tidak tahan menghadapi kesulitan hidup yang
mungkin tidak seberapa bila dibandingkan dengan apa yang dialami oleh Nabi
Ayyub Alaihissalam ini.
Yang keempat: Ujian lewat tangan orang-orang kafir dan
orang-orang yang tidak menyenangi Islam.
Ujian lewat tangan orang-orang kafir
dan orang-orang yang tidak menyenangi Islam
sebagaimana apa yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya
terutama ketika masih berada di Mekkah kiranya cukup menjadi pelajaran bagi
kita, betapa keimanan itu diuji dengan berbagai cobaan berat yang menuntut
pengorbanan harta benda bahkan nyawa. Di antaranya apa yang dialami oleh
Rasulullah n di akhir tahun ketujuh
kenabian, ketika orang-orang Quraisy bersepakat untuk memutuskan hubungan
apapun dengan Rasulullah Shallallaahu alaihi wa salam beserta Bani Abdul
Muththolib dan Bani Hasyim yang melindunginya, kecuali jika kedua suku itu
bersedia menyerahkan Rasulullah Shallallaahu alaihi wa salam untuk dibunuh.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa salam bersama orang-orang yang membelanya
terkurung selama tiga tahun, mereka mengalami kelaparan dan penderitaan yang
hebat. (DR. Akram Dhiya Al-‘Umari, As-Sirah An-Nabawiyyah Ash-Shahihah, Juz 1
hal. 182).
Juga apa yang dialami oleh para
shahabat tidak kalah beratnya, seperti apa yang dialami oleh Yasir z dan istrinya Sumayyah dua orang pertama yang
meninggal di jalan dakwah selama periode Mekkah. Juga Bilal Ibnu Rabah
Radhiallaahu anhu yang dipaksa memakai baju besi kemudian dijemur di padang
pasir di bawah sengatan matahari, kemudian diarak oleh anak-anak kecil
mengelilingi kota Mekkah dan Bilal Radhiallaahu anhu hanya mengucapkan “Ahad,
Ahad” (DR. Akram Dhiya Al-Umari, As-Siroh An-Nabawiyyah Ash-Shahihah, Juz 1
hal. 154-155).
Dan masih banyak kisah-kisah lain
yang menunjukkan betapa pengorbanan dan penderitaan mereka dalam perjuangan
mempertahankan iman mereka. Namun penderitaan itu tidak sedikit pun mengendorkan
semangat Rasulullah dan para shahabatnya untuk terus berdakwah dan menyebarkan
Islam.
Musibah yang dialami oleh
saudara-saudara kita umat Islam di berbagai tempat sekarang akibat kedengkian
orang-orang kafir, adalah ujian dari Allah kepada umat Islam di sana, sekaligus
sebagai pelajaran berharga bagi umat Islam di daerah-daerah lain. Umat Islam di
Indonesia khususnya sedang diuji sejauh mana ketahanan iman mereka menghadapi
serangan orang-orang yang membenci Islam dan kaum Muslimin. Sungguh menyakitkan
memang di satu negeri yang mayoritas penduduknya Muslim terjadi pembantaian
terhadap kaum Muslimin, sekian ribu nyawa telah melayang, bukan karena mereka
memberontak pemerintah atau menyerang pemeluk agama lain, tapi hanya karena
mereka mengatakan: ( Laa ilaaha illallaahu ), tidak jauh berbeda dengan apa
yang dikisahkan Allah dalam surat Al-Buruj ayat 4 sampai 8:
“Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang
membuat parit, yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar, ketika mereka duduk
di sekitarnya, sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap
orang-orang yang beriman. Dan mereka tidak menyiksa orang-orang Mukmin itu
melainkan karena orang-orang Mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa
lagi Maha Terpuji”.
Peristiwa seperti inipun mungkin
akan terulang kembali selama dunia ini masih tegak, selama pertarungan haq dan
bathil belum berakhir, sampai pada saat yang telah ditentukan oleh Allah.
Kita berdo’a mudah-mudahan
saudara-saudara kita yang gugur dalam mempertahankan aqidah dan iman mereka,
dicatat sebagai para syuhada di sisi Allah. Amin. Dan semoga umat Islam yang
berada di daerah lain, bisa mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa,
sehingga mereka tidak lengah menghadapi orang-orang kafir dan selalu berpegang
teguh kepada ajaran Allah serta selalu siap sedia untuk berkorban dalam
mempertahankan dan meninggikannya, karena dengan demikianlah pertolongan Allah
akan datang kepada kita, firman Allah.
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu
menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan
kedudukanmu”. (Muhammad: 7).
Sebagai orang-orang yang telah
menyatakan iman, kita harus mempersiapkan diri untuk menerima ujian dari Allah,
serta kita harus yaqin bahwa ujian dari Allah itu adalah satu tanda kecintaan
Allah kepada kita, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallaahu alaihi wa salam :
“Sesungguhnya besarnya pahala
sesuai dengan besarnya cobaan (ujian), Dan sesungguhnya apabila Allah mencintai
satu kaum Ia akan menguji mereka, maka barangsiapa ridha baginyalah keridhaan
Allah, dan barangsiapa marah baginyalah kemarahan Allah”. (HR. At-Tirmidzi,
dan ia berkata hadits ini hasan gharib dari sanad ini, Sunan At-Timidzy cet.
Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, juz 4 hal. 519).
Mudah-mudahan kita semua diberikan ketabahan dan
kesabaran oleh Allah dalam menghadapi ujian yang akan diberikan olehNya kepada
kita. Amin.