Selamat Datang di Web Jendela Keluarga Aris Nurkholis - Ratih Kusuma Wardani

Jendela Keluarga: Mewujudkan Keluarga Islami

Keluarga muslim adalah keluarga yang dibangun atas dasar nilai-nilai keislaman, Setiap anggota keluarga komintmen terhadap nilai-nilai keislaman. Sehingga keluarga menjadi tauladan dan lebih dari itu keluarga menjadi pusat dakwah Islam.

Merajut Keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah

Keluarga sakinah adalah keluarga yang semua anggota keluarganya merasakan cinta kasih, keamanan, ketentraman, perlindungan, bahagia, keberkahan, terhormat, dihargai, dipercaya dan dirahmati oleh Allah SWT.

Cinta Tanpa Syarat

Ketika suami dan isteri sudah menetapkan “cinta tanpa syarat” dan saling memahami, maka perbedaan dan pertengkaran tidak membesar menjadi konflik yang merusakkan kebahagiaan keluarga.

Cinta Tidak Harus Dengan Kata

Mencintai dengan sederhana, adalah mencintai “dengan kata yang tak sempat diucapkan” dan “dengan isyarat yang tak sempat disampaikan”.

Komunikasi dan Interaksi Penuh Cinta

Hal yang sangat vital perannya dalam menjaga keharmonisan rumah tangga adalah interaksi dan komunikasi yang sehat, komunikasi yang indah dan melegakan serta komunikasi penuh cinta antara seluruh anggotanya.

Showing posts with label siyasi. Show all posts
Showing posts with label siyasi. Show all posts

Saturday, April 5, 2014

Partai Agama Lebih Baik Daripada Partai Sekuler




Jendela Keluarga: Beberapa survei mengatakan bahwa perolehan suara partai politik(parpol) berbasis agama pada Pemilu 2014 diprediksi semakin menurun. Bahkan partai ini terancam tidak dapat meloloskan calon anggota legislatifnya menjadi anggota DPR.

Partai Politik (parpol) bisa kita bagi dalam dua kelompok, yaitu partai sekuler (bukan berbasis agama) dan partai agama. Partai sekuler umumnya menggunakan jargon-jargon nasionalis, dan sebaliknya partai agama menggunakan jargon agama.

Ada yang menarik sejak pemilu 2004 sampai sekarang, kita makin sulit membedakan mana parpol agama dan mana parpol sekuler. Hal ini dikarenakan, parpol – parpol sekuler juga telah merubah jargon mereka menjadi partai religius nasionalis namun tetap dengan cita rasa sekuler.

Kalau parpol agama menggunakan jargon dan simbol agama maka itu bisa dikatakan wajar, namun bagaimana dengan parpol sekuler yang menggunakan simbol – simbol dan jargon agama dalam kampanyenya. Ini bisa dikategorikan masuk dalam strategi politik yakni pencitraan.

Pencitraannya akan terlihat jelas manakala saat pembahasan sidang-sidang tentang undang-undang, mereka menggunakan pemikiran sekulernya sementara simbol dan jargon agamanya ditanggalkan.

Ketika mereka dicokok KPK, mereka dengan bangga mengatakan bahwa untung partainya bukan partai agama sehingga ‘wajar’ kalau kurang memperhatikan moral.

Tahun 2013-2014 ini, banyak pengamat dan juga lembaga survei yang tiba-tiba punya hobi baru meneliti dan menganalisa partai-partai berbasis agama, padahal sebelumnya tidak kedengaran dan tidak terlihat di ranah itu. Banyak tuduhan, partai politik yang benar-benar murni berasaskan agama dituduh menjual agama demi kepentingan politiknya.

Seharusnya kita bisa lebih jernih dan obyektif menilai, mana partai politik yang menggunakan politik sebagai alat untuk memperjuangkan agama di ranah pemerintahan, dan mana partai politik sekuler tetapi mereka menggunakan agama sebagai alat politik guna untuk memikat dan menarik banyak masa yang mayoritas beragama. Jadi pertanyaannya, siapa yang menjual agama untuk kepentingan politik dan siapa menggunakan politik untuk agama?

Dari data ICW dan FITRA diketahui bahwa urutan partai politik yang terkorup adalah Golkar (36,36%), kedua PDIP (18,18%), Partai Demokrat 11,36%), PPP (9,65%), PKB (5,11%), PAN (3,97%), dan PKS (2,27%). Mari kita berpikir obyektif dan fair, dari data tersebut diketahui bahwa partai agama itu sesungguhnya tingkat korupsinya jauh lebih kecil dibanding partai nasionalis atau sekuler.

Mencermati situasi gaduhnya politik tanah air belakangan ini kadang juga disebabkan karena kita tidak 100 persen menjadi diri sendiri, yang akhirnya secara otomatis kita tidak bisa menjadi Indonesia.

Padahal kalau kita lihat dan baca terwujudnya Sumpah Pemuda 1928 adalah karena setiap tokoh yang terlibat waktu itu 100 persen berkepribadian utuh sebagai Jong Java, Jong Sumatra, jong Islaminten Bond, dan lain-lain. Karena mereka utuh menjadi diri mereka sendiri,ada ruang luas untuk berbagi dengan komponen bangsa yang lain tanpa merasa curiga dan khawatir dikhianati.

Namun kini, setiap diri kita, setiap parpol cenderung beridentitas dan berkepribadian setengah, akibatnya akan sangat rapuh karena absen bersikap. Padahal jika kita 100 persen beragama, maka akan memunculkan 100 persen Indonesia.

Oleh karenanya, sudahlah para agen survey maupun pengamat bertindaklah sewajarnya saja, tidak usah membuat framing – framing khusus untuk partai tertentu.

Persilahkan, semua peserta pemilu 2014 berlomba-lomba membuat yang terbaik untuk bangsa ini. Adanya partai berbasis agama bukanlah yang menakutkan, partai berbasis agama atau bukan, yang punya tetap orang Indonesia. Biarkan rakyat memilih mana yang terbaik.

Di antara partai yang ada saat ini, apakah partai agama atau partai sekuler yang akan jadi pilihanya.

Di sejumlah negara maju seperti Jerman misalnya, partai berasas agama justru bisa memberi solusi bagi masyarakatnya. Partai CDU, partainya Angela Merkel dipercaya oleh masyarakat dan terbukti membuat Jerman jaya dan menjadi penyelamat Eropa dalam mengatasi krisis.

Terlebih lagi di daerah negara bagian Bayern, daerah terkaya di seluruh Jerman, pemenangnya selalu partai agama. Begitu juga di negara-negara lain seperti Turki atau Iran.

Sebuah kesadaaran besar yang kita sepakat bersama bahwa Bhineka itu adalah karunia, oleh karenanya janganlah partai berbasis agama dikerdilkan dan jangan pula diframing tetapi berdirilah dan amatilah secara adil di antara partai-partai yang ada tersebut

Monday, March 31, 2014

Pembantaian Muslim Afrika, Muslim Indonesia Harus Menangkan Pemilu!



Jendela Keluarga: Isunya menebar kasih. Propagandanya mengajak pada cinta. Namun pada kenyataannya, ajaran Kristen yang telah lama disesatkan Yahudi ini, lebih sering mengajarkan kebencian bahkan pembantaian. Korbannya, siapa lagi kalau bukan kaum muslimin.

Seakan memanfaatkan kondisi umat Islam yang tengah lemah tak berdaya, semua bangsa dari kulit putih hingga kulit hitam, dari mata biru hingga mata sipit, seakan tak kenal lelah membunuhi umat Islam satu persatu. Mereka tahu, Mesir yang akan menjadi embrio khilafah dengan kebangkitan Ikhwanul Muslimin, sekarang telah punah setelah agen-agen Freemasonry Internasional dan anggota Zionis menguasai Mesir kembali. Saudi, Negara-negara Teluk, Malasyia, Indonesia sibuk dengan agenda-agenda korupsi. Di sisi lain, umat Islam di negeri-negeri damai dicekoki ajaran toleransi, HAM, namun umat Islam dibiarkan tidak boleh berkuasa.

Tengoklah tragedi pembantaian muslim Afrika. Di tengah hari cinta kasih yang mereka propagandakan, setelah direstui pihak gereja dan diizinkan militer serta kepolisian Afrika Tengah, kaum Kristen membunuhi satu persatu umat Islam. Pertanyaannya, apa gerangan yang akan terjadi jika ada seorang Kristen mati oleh seorang muslim? Dunia akan heboh! Gereja akan mendentingkan lonceng-lonceng emergensi. AS-Eropa akan menyerang secara militer, bahkan paling minimal melakukan embargo.

Di titik ini, saya kebingungan bila masih ada da'i yang mempermasalahkan Pemilu demokrasi, apalagi mengajak umat untuk Golput dan menyerahkan tampuk kekuasaan kepada non Islam. Alasannya, partai-partai Islam (PBB-PKS-PPP) memiliki caleg non Islam, lalu percuma umat memilih juga. Suatu pemahaman yang absurd dan tidak mendasarkan pada kajian realitas (fiqh waqi'). Memang ada caleg non Islam dalam tubuh partai Islam, namun mereka tunduk pada kebijakan partai Islam. Lain halnya dengan partai-partai yang jelas sekuler. Mereka sangat dominan bahkan menjadi pengurus teras dan donatur partai-partai.

Saya yakin berdasarkan Al-Qur'an surat Al-Baqarah 120, pembantaian umat Islam di Indonesia oleh minoritas Syi'ah-Ahmadiyah-Kristen tinggal menunggu waktu. Saat umat Islam tak lagi berdaya, dan kekuasaan ekonomi-sosial-politik dikuasai Noni cs. Maka umat Islam siap-siap digorok, dibakar, dikubur hidup-hidup. Semua asset akan disita dan direbut. Saat itu, kita akan mengungsi kemana? Maka Pemilu 2014, umat Islam harus bangkit. Pilih partai Islam (PKS-PBB-PPP). Bila ada yang salah, awasi dan ingatkan. Jangan putus asa bila baru satu atau dua kali mengingatkan, belum ada perubahan. Lalu teriak-teriak di belakang dan mengajak umat Golput!


****  
By: Nandang Burhanudin

Sunday, March 30, 2014

Keuntungan Besar Parpol Sarang Koruptor Kalau Umat Islam Golput



Jendela Keluarga: DISADARI atau tidak, kunci kesuksesan maupun kegagalan Pemilu 2014 sebenarnya ada di tangan Umat Islam. Sebagai perhelatan demokrasi terbesar Indonesia, Pemilu akan menjadi berbobot atau tidak, ketika Umat Islam yang menjadi mayoritas pemilih menggunakan hak politiknya.

Entah itu hak memilih maupun hak untuk tidak memilih. Kedua pilihan itu, akan menentukan nasib bangsa ke depan.

Pada 2014 ini, ada dua perhelatan Pemilu terbesar tanah air. Diantaranya adalah Pileg (Pemilu Legislatif) dan Pilpres (Pemilu Presiden/Cawapres). Nah, di situlah peran Umat Islam yang besar ini diuji.

Bagaimanapun, karena Umat Islam-lah Pemilu dapat menentukan  wakil rakyat terbaik untuk diantarkannya menuju kantor Parlemen, dan karena Umat Islam pula, maka akan terpilih Presiden dan Wakil Presiden terbaik untuk memimpin lebih dari 250 juta Rakyat Indonesia ke depan, sekaligus menjadi pemimpin Negara yang hampir 90% nya adalah Umat Islam.

Sayangnya tipikal Umat Islam di tanah air ini memang beragam.  Memang sebagian besar bersedia hadir ke bilik suara dan memilih Caleg maupun Capres/Cawapres pilihan.
Tetapi ada yang memang mau hadir ke bilik suara, tetapi mirisnya mereka tidak memilih satupun Caleg/Capres/Cawapres yang ada di kartu suara. Bahkan ada yang sengaja tidak tidak hadir ke bilik suara, dan hanya menunggu pengumuman KPU melalui televisi. Ada lagi yang sengaja hadir ke bilik suara, tetapi sengaja mencoblos/mencontreng dengan cara yang salah.

Alasan kelompok ini sangat klasik. Bahwa, tidak ada diantara peserta Pemilu yang cocok dengan dirinya maupun kepentingannya. Tidak ada Caleg yang dia kenal atau pernah/akan menguntungkannya.

Atau bahkan ada dugaan awal, Caleg yang ada di daftar kartu suara dikhawatirkan menjadi koruptor, dan sebagainya apabila terpilih nanti. Kelompok-kelompok tersebut, biasa disebut Golongan Putih atau Golput.

Sejarah mencatat,  fenomena Golput pada setiap tahapan Pemilu, baik itu Pileg maupun Pilpres,  dari Pemilu ke Pemilu ternyata terus meningkat. Dari beberapa sumber dapat diketahui bahwa pada Pemilu 3 kali terakhir tercatat Golput sebagai berikut:  Golput Pemilu 2009 mencapai 29,04%. Golput Pemilu 2004 mencapai 23,34%. Golput Pemilu 1999 mencapai  10,21%.

Sedangkan pada pemilu-pemilu sebelumnya, meski Golput tercatat naik turun angkanya, namun kecenderungan selalu naik.Perlu dicatat bahwa:

- Pertama, tidak bisa dipungkiri memang ada kecenderungan adanya penurunan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Partai Politik (Parpol) yang mereka pilih karena pada sebagian yang terpilih di Pemilu sebelumnya ada yang terlibat korupsi.

- Kedua, pilihan mereka ternyata menghasilkan kekecewaan akibat tokoh/Parpol yang dipilih ternyata tidak berhasil memenuhi  janji  kampanye.

- Ketiga, memang masih adanya kesadaran yang rendah untuk mengikuti Pemilu. Dan,

- Keempat, sebagian kecil Umat Islam kadang tidak paham secara teknis saat memilih akibat kurangnya sosialisasi. Dengan kondisi ini, maka Golput semakin subur.

Selain daripada itu, ada beberapa pengakuan dari  Umat Islam yang melakukan aksi Golput, diantaranya:  Pertama, bahwa Golput perlu dilakukan untuk  mengoreksi secara konstruktif terhadap Parpol maupun Negara.

Kedua, mereka ingin menunjukkan bahwa tidak memilih itu bagian dari hak masyarakat untuk memilih.

Ketiga, sebagian dari penggerak Golput adalah kelompok yang kurang setuju dengan sistem demokrasi yang ternyata tidak menjamin kesejahteraan dan kepastian hukum di kemudian hari. Meski untuk menemukan solusi selain Demokrasi bukan persoalan mudah, tampaknya kelompok terakhir ini cukup intens melakukan berbagai sosialisasi anti demokrasinya.

Fenomena Aneh Parpol Sarang Koruptor

 
Yang menambah jengkel mereka sehingga menjadi Golput, adalah munculnya fenomena mengesalkan dalam praktek politik tanah air. Misalnya, meski masyarakat luas sudah tahu data dan jumlah koruptor pada setiap Partai peserta pemilu, anehnya peraup suara terbanyak setiap pemilu justru berasal dari Parpol-Parpol yang bersangkutan banyak dengan kasus korupsi.

Umat Islam yang datang ke bilik suara, entah dapat dorongan darimana, justru memilih Parpol dan tokoh-tokoh yang justru banyak bermasalah dengan kader korup. Fenomena ini memang agak janggal jika diteliti lebih lanjut.

Padahal jika mau, dengan gamblang masyarakat sebenarnya sudah dapat mengetahui nama Parpol yang di dalamnya bercokol banyak koruptor yang sudah divonis Pengadilan, baik yang ditangani KPK maupun Polri, namun faktanya Parpol tersebut justru menjadi pilihan masyarakat.

Jumlah perwakilan yang ada di Parlemen, faktanya malah paling banyak, dan tentu saja menjadi faktor penentu apapun hasil produk Parlemen. Begitu juga Partai besar yang di dalamnya banyak elit Partai ditangkap KPK, malah bisa menguasai parlemen dua kali dan memimpin Negeri ini. Kondisi ini jelas sangat mengkhawatirkan.

Oleh karenanya, dengan bercokolnya banyak tokoh Parlemen dari Parpol yang sering bermasalah dengan kader korup, atau dengan bercokolnya Pemimpin Pemerintahan yang berasal dari Partai yang di dalamnya bercokol banyak kader korup, sudah pasti akan menambah kekecewaan masyarakat luas, yang akhirnya menjadi ikut-ikutan bergabung dengan Golput. Wajar jika angka Golput selalu naik.

Apabila pola semacam ini terus terulang, sudah pasti Indonesia akan mengalami kegagalan proses demokrasi yang berulang-ulang. Penguasa Parlemen dari Partai “Korup”, dan Pemerintahan dipimpin dari partai yang sama. Kemudian setiap jelang Pemilu didengungkan isu Golput, namun pada prakteknya masyarakat tetap memilih pola yang sama dengan sebelumnya. Alhasil, tidak berubah.

Masyarakat kecewa, pemerintahan sering bermasalah, korupsi tidak berkurang, dan isu Golput pun terus menerus menjadi bumbu pahit demokrasi.

Ruginya Umat Islam Golput

Semestinya, masyarakat khususnya Umat Islam harus pandai bersikap. Umat Islam harus cerdik melihat bahwa tidak mungkin dengan Golput kemudian dapat mengurangi koruptor di Parlemen. Karena menjadi Golput pun, kecil kemungkinan akan menggagalkan Pemilu dan sangat susah menekan Negara ini mengubah sistem Demokrasi dengan sistem lain.

Meskipun hal itu bisa terjadi, namun belajar dari sejarah, angka Golput tampaknya sulit menembus angka 50%, sehingga yang terjadi malah sebaliknya:  Pemilu tetap berjalan, dan Umat Islam justru kehilangan wakil-wakil rakyatnya di parlemen, dan otomatis tidak memiliki wakil pembela Umat yang nantinya akan berjuang melalui pembuatan Undang-Undang.

Jika sudah demikian, maka jangan heran apabila banyak Undang-Undang produk DPR, yang akhirnya terbukti merugikan Umat Islam. Mungkinkah ada yang berfikir, tidak mungkin UU bentukan DPR merugikan Umat Islam karena di dalam parlemen banyak Aleg (Anggota Legislatif) beragama Islam?. Tentu ada. Dan, jawabannya pun mudah.

Meski banyak Aleg dari Umat Islam, namun dalam prakteknya  pengaruh Partainya biasanya lebih kuat. Maka idealisme Aleg jelas menjadi lenyap terhempaskan oleh kepentingan Parpol yang menaunginya.

Apa yang ada di dalam benak Aleg yang awalnya untuk membela kepentingan Umat, kadang dengan mudah tergadaikan dengan kepentingan Partai Politik sebagai payungnya. Oleh karena itu, meski banyak Partai Politik yang di dalamnya banyak Aleg Muslim, namun jangan harap mereka sepenuhnya bisa membantu Umat Islam melalui UU yang dibuatnya.

Dengan demikian, pada Pemilu 2014 mendatang, Umat harus lebih pandai memilih Parpolnya, selain juga pandai memilih Caleg yang sudah disusun KPU. Karena terbukti selama ini banyak UU produk Senayan khususnya, yang tidak sejalan dengan kepentingan Umat Islam.

Maka wajar jika sebuah Organisasi Islam seperti Muhammadiyah, belum lama ini akhirnya harus pontang-panting ke MK (Mahkamah Konstitusi) karena kepentingan masyarakat umumnya dan kepentingan Umat Islam di Muhammadiyah khususnya ternyata terabaikan oleh produk UU dari Senayan.

Belum lama ini, misalnya, Muhammadiyah mengajukan Judicial Review UU 22/2001 tentang Migas yang terbukti merugikan Umat karena cenderung menguntungkan asing. Umat yang besar ini akhirnya tidak diuntungkan dengan adanya UU tersebut.

Judicial Review ini berhasil dikabulkan MK, dengan dibubarkannya BP Migas. Menyusul saat ini juga sedang berlangsung  Judicial Review UU No 7/2004 Tentang Sumber Daya Air (SDA) yang dianggap lebih banyak dikuasai asing. Umat Islam di hampir seluruh pelosok tanah air akan terlukai jika UU SDA tersebut tidak dibatalkan atau diubah secara substantif karena sebagian besar Umat Islam hidup memanfaatkan air, dan ada kecenderungan air yang melimpah di Indonesia ini akan diatur sedemikian rupa sehingga dapat merugikan mereka dan bahkan dikuasai asing.

Berikutnya Muhammadiyah sudah mengajukan Judicial Review atas UU 44/2009 tentang Rumah Sakit. UU ini diajukan ke MK karena UU ini terdapat pasal dan ayat yang dengan jelas ingin mematikan dan melumpuhkan semua Rumah Sakit milik Muhammadiyah khususnya, yang kini jumlahnya lebih dari 400 buah. Sudah terbukti, gara-gara UU tersebut, sangat sulit bagi RS milik Muhammadiyah mengajukan ijin perpanjangan, apalagi mendirikan RS baru. Padahal Muhammadiyah lebih berpengalaman dari Negeri ini dalam mengelola Rumah Sakit, namun dengan adanya UU tersebut, memaksa Muhammadiyah berhenti melayani masyarakat melalui Amal Usaha Rumah Sakit.

Belum lagi UU No 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan pemerintah Pengganti UU No. 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi UU; dan UU No. 9 tahun 2013 tentang Pencegahan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, serta banyak UU lain yang benar-benar merugikan Umat Islam.

Isu-isu terorisme kini menghantui hampir semua kalangan aktifis Islam, pergerakan Islam, masjid, mushola, rohis, dan semua elemen Islam karena UU tersebut tidak mengindahkan HAM dan sudah terbukti banyak digunakan sebagai alasan membantai Umat Islam dengan alasan terorisme. Sungguh sangat ironi, mayoritas penghuni Negeri ini sekarang ternyata justru menjadi sasaran teror negara.

Jika Umat tidak memenuhi parlemen, maka diduga UU semacam ini akan terus bermunculan. Untuk itu, agar benar-benar dapat memaksimalkan peran parlemen maupun Istana dalam mengelola kepentingan-kepentingan Umat yang besar ini, semua tergantung pada Umat Islam sendiri. Jika ingin ada perubahan ke arah lebih baik, maka Umat Islam harus berbondong-bondong ke bilik suara saat Pemilu.

Jika ukurannya soal korupsi, maka mereka harus memilih Partai yang paling rendah keterlibatannya dalam kasus korupsi. Umat Islam harus memilih dan mendukung Partai Politik yang dianggap minim terlibat kasus korupsi. Mengapa ada istilah ‘minim’? Karena kenyataannya tidak mungkin juga, ada partai Politik yang benar-benar bersih dari korupsi. Semua maklum dan tahu bahwa isi dari Partai Politik adalah manusia biasa yang tentu bisa berbuat salah. Mereka bukanlah malaikat yang tidak bisa berbuat dosa.

Satu-satunya langkah terbaik Umat Islam adalah dengan memilih dan membesarkan Partai Politik yang memiliki resikonya paling kecil menjadi Partai Korup. Jika disepakati, maka tidak ada alasan bagi Umat jika kemudian ikut-ikutan memberangus Parpol “Islam” bahkan menebar opini miring terhadap Parpol milik Umat Islam tersebut. Yang perlu dilakukan adalah dengan mendukung dan ikut memperbaikinya agar bisa lebih baik pada masa berikutnya.

Sekali lagi, Umat Islam jelas harus pandai-pandai memilih Caleg karena pilihan yang dilandasi iseng, sekedarnya, atau asal-asalan; pasti tidaklah bermanfaat. Memilih Caleg yang dilandasi ikut-ikutan tetangga, ikut-ikutan teman tanpa mempertimbangan kualitas Partainya, maupun kualitas pribadi sang Caleg, hanyalah menghasilkan Aleg “boneka”.  Umat harus bisa memastikan, Partai Politik yang di dalamnya bercokol banyak kasus koruptor layak untuk ditinggalkan.

Parpol yang tidak memihak kepada Umat Islam tidaklah menjadi pilihan. Pastikan pula, Partai Politik yang di dalamnya minim kasus korupsi, layak menjadi pertimbangan untuk dipilih beserta para Caleg-calegnya.

Sedangkan terhadap parpol baru sekalipun, Umat Islam harus pandai mencermati karena sesungguhnya kita bisa mendeteksi melalui platform dan visi misi serta track record (jejak rekam) para pendiri dan pengurus parpol baru tersebut. Karena masih Parpol baru, maka tentu filter kasus korupsi belum bisa dilihat. Akan tetapi semangat (ghirrah) membantu Umat Islam, dapatlah dilihat secara kasat mata. Jika tidak ada signal membantu Umat, berarti Parpol baru tersebut layak ditinggalkan.

Memilih Caleg juga tidaklah tepat apabila hanya dikarenakan iming-iming jangka pendek berupa  sejumlah uang atau gara-gara bantuan materi misalnya mie instan, beras, maupun uang transport saat Pemilu. Jelas ini sebuah kecelakaan politik yang tak perlu diulangi di waktu mendatang.

Menjelang Pemilu, memang biasanya para cukong dan penjahat besar yang ingin menguasai parlemen, uang dan materi menjadi andalan dalam meraih simpati publik, khususnya Umat Islam. Jika masyarakat mengikuti pola kerja para cukong dan penjahat besar ini, maka jangan protes apabila hasil dari Pemilu 2014 malah menjadi fenomena klasik: Pemilu menghasilkan koruptor!

Karena tidak mungkin bagi para cukong dan penjahat tersebut mau mengeluarkan dan menggelontorkan uang triliunan sebelum menang, kalau tidak ingin mencari kembalian kan?

Apakah ukurannya hanya jumlah kasus koruptor? Tentu tidak. Umat Islam harus pandai menandai Partai yang memang berdiri dengan niat baik untuk mendekatkan hukum nasional dengan hukum yang ditentukan Allah SWT. Bukan dengan mengganti dengan Hukum Islam, tapi mendekatkan hukum nasional dengan hukum yang dikehendaki Allah SWT. Umat Islam harus belajar tata hukum yang pernah diungkapkan oleh  ahli hukum Belanda Lodewijk Willem Christian Van den Berg (1845–1927) dengan teori Receptio in Complexu-nya. Sebenarnya hukum itu mengikuti agama yang dianut seseorang. Maka jika di Indonesia mayoritas Islam, semestinya hukum disesuaikan dengannya.

Sebaliknya jika nantinya Indonesia mayoritas Non Muslim, maka sudah semestinya hukum disesuaikan dengan mayoritas masyarakatnya.

Momok Mengerikan

Nah, apapun yang terjadi, naiknya angka Golput--dengan berbagai alasan, jelas akan membahayakan Umat Islam.  Karena konsekuensi terjeleknya, Umat Mayoritas tidak bisa membuat aturan dan hukum untuk dirinya sendiri, tetapi aturan dan hukum itu akan dibuat oleh pihak lain.

Ini akan menjadi momok mengerikan. Karena dengan demikian sudah sangat jelas, secara tidak langsung Umat Islam melakukan pilihan terburuk dalam Pemilu, yakni dengan menutup kesempatan Caleg terbaik Umat, atau Capres/Cawapres pilihan Umat memimpin Negeri ini. Sewajarnya bila, Umat mayoritas memiliki peran terbesar di Parlemen maupun di istana.

Maka umat harus terus berjuang dengan memilih calon terbaiknya agar komposisi wakil rakyat yang membela dan menggawangi kepentingan Umat Islam khususnya, menjadi mayoritas di Parlemen. Tidak mungkin membiarkan Parlemen dikuasai oleh kepentingan yang dapat merugikan Umat mayoritas bukan?.

Dengan kalimat lain, apabila Umat Islam ikut-ikutan Golput, maka dapat dipastikan sama artinya dengan memberikan jalan mulus bagi kelompok lain. Karena sesuai dengan prinsip demokrasi, jelas Umat Islam harus memiliki porsi signifikan untuk mewarnai.
Salahsatu caranya adalah, Umat Islam harus berbondong-bondong mengantar wakil-wakil terbaiknya.

Tentang banyaknya parpol “Islam” mestinya tidak menjadi  halangan. Sejelek-jelek Parpol “Islam”, setidaknya mereka memiliki niat untuk menyalurkan kepentingan Umat melalui parlemen. Yang penting, diantara elemen Umat Islam tidak ada yang mau diadudomba oleh pihak lain karena jika mau diadudomba, maka justru Umat Islam sendiri yang akan  berkelahi, saling menyerang dan saling memojokkan.

Anggap saja semua Parpol berbasis Islam adalah aset politik Umat Islam, maka sudah sewajarnya, kita yang harus merawat dan menjaga aset tersebut. Sudah saatnya semua Parpol berbasis Islam bersatu dalam perbedaan. Oleh karena itu, dengan adanya  Partai “Islam” yang lebih dari satu, maka Umat boleh merasa sulit mencari pilihan, tetapi sebenarnya tidak susah jika sudah satu pemikiran.

Dulu ketika masih jaman Orde Baru, memang masyarakat mudah untuk mendeteksi mana Parpol pengusung kepentingan Umat, dan mana Parpol pengusung kepentingan lain. Karena saat itu Parpol hanya ada dua yakni Partai Islam & Partai Non-Islam plus satu Orsospol Golkar. Oleh karenanya, Umat saat itu bisa dengan mudah menentukan pilihan yang cocok.

Bagaimana dengan saat ini? Tampaknya pilihan Umat menjadi banyak. Dengan banyaknya pilihan Umat, maka menyebabkan pilihan Umat Islam mungkin tidak bisa bersatu. Pilihan menjadi ada dimana-mana, dan dampaknya kepentingan Umat Islam menjadi terbengkalai, terpecah, tidak bisa bersatu. Faktanya, Pesatuan Umat pun terganggu.

Bagi yang tidak menemukan solusi, kadang hanya menjadi pemilih asal-asalan. Sudah menjadi pemilih asal-asalan, ditambah teror psikis yang terus menghantui terhadap Islam, dimana isu miring terus menghantam Umat melalui isu terorisme. Maka lengkap sudah penderitaan, dimana kepentingan politiknya tercerabut, dan kepentingan agamanya terteror.

Kondisi tersebut lebih parah jika kita melihat adanya kelompok-kelompok kecil Umat yang mencoba menggelorakan Golput hanya karena tidak setuju dengan sistem demokrasi yang sudah disepakati para pendiri bangsa kita. Andai saja ketidaksetujuan demokrasi hanya sebagai wacana, tidak menjadi masalah. Tetapi jika berujung pada ajakan Golput, jelas ini menambah penderitaan Umat.

 Alangkah baiknya, Umat Islam bersatu memperbaiki Demokrasi, dan jika demokrasi sudah baik, dan Umat Islam berada di dalamnya sepenuh-penuhnya, maka Indonesia insya Allah akan menjadi Negara yang baldatun thayyibatun warabbun ghafur. Bila mau lakukan langkah berani, bisa saja Umat menyatukan pilihan dalam rangka menggalang satu kekuatan di Parlemen. Meski ini sulit dan memerlukan persiapan, namun tidak tertutup kemungkinan ini bisa dilakukan.

Maka, sekali lagi kesuksesan Pemilu ada di tangan Umat Islam. Kunci sukses Pemilu bukan saja terletak pada kehadiran di bilik suara, memilih serta selesainya penghitungan suara, namun lebih dari itu, suksesnya Pemilu terletak pada sebanyak apa Aleg berkualtitas yang bisa mereka antarkan memasuki Gedung Parlemen pada 2014 nanti, dan sebagus apa Presiden/Wakil Presiden yang terpilih kelak. Semakin berkualitas hasil pilihan, maka partisipasi terhadap keberhasilan Pemilu oleh Umat Islam bisa dianggap semakin besar.

Sebaliknya semakin buruk kualitas yang terpilih, maka semakin kecil pula partisipasi Umat Islam. Oleh karenanya, berpartisipasi yang sebenarnya adalah jika Umat Islam berhasil mengantar sebanyak mungkin Caleg berkualitas memasuki Parlemen menjadi Aleg,  dan mendudukkan Capres/Cawapres terbaik pilihan Umat, menjadi Presiden dan Wakil Presiden yang diridhai Allah SWT.[tribunnews]

*) Aktifis Muda Muhammadiyah

Tuesday, March 4, 2014

Menilai Tingkat Korupsi Partai-partai Peserta Pemilu 2014




Jendela Keluarga: Menilai tingkat korupsi partai2 bukanlah suatu pekerjaan mudah. Kesulitannya adalah pada obyektifitas kita sebagai subyek penilai yang cenderung untuk agak subyektif dan obyek penilaian (partai) yang juga cenderung mau menang sendiri dan menganggap bahwa partainya bersih. Subyektifitas penilai yang cenderung memberikan penilaian bersih kepada partai yang diikuti dan memberi nilai tidak bersih kepada partai yang dibencinya. Disisi lain, yang sudah antipati terhadap partai akan menganggap semua partai tidak bersih.

Kesulitan kedua adalah kecenderungan kita menilai suatu obyek (partai) dengan pandangan hitam putih. Kesalahan kecil dari suatu partai dianggap tidak ada bedanya dengan sebuah kesalahan besar. Seorang anggota suatu partai yang melakukan kesalahan menempel poster didinding rumah warga dinilai sama dengan korupsi trilyunan dari salah seorang anggota partai lainnya.

Kesulitan yang ketiga adalah memberi bobot yang proporsional terhadap kesalahan suatu partai. Karena kesulitan inilah perlu kiranya kita melakukan penyederhanaan seperlunya.

Sebagai contoh untuk menilai korupsi suatu partai berdasarkan jumlah kasus yang melibat, jumlah anggota partai yang terlibat atau apa ? apakah keterlibatan anggota partai biasa dan yang pengurus apakah sama ? dan banyak pertanyaan lain.

Penyederhanaan dilakukan hanya dengan pembatasan2 sebagai berikut:

Yang dimaksud dengan anggota partai adalah anggota partai yang menjadi/pernah menjadi anggota DPRD/DPR periode 2009/2014 berasal dari partai tersebut.

Data keterlibatan anggota partai ada di http://chirpstory.com/li/184257 lengkap dengan nama, jabatan dan asal partai.

Secara ringkas jumlah koruptor dari masing-masing partai adalah sebagai berikut :

Jumlah Koruptor berdasarkan Partai
Jumlah Koruptor berdasarkan Partai

Tabel diatas menyajikan jumlah koruptor yang berasal dari masing-masing partai. Sebagai juara adalah PDIP dengan 84 koruptor dan mendominasi 33,7% dari keseluruhan koruptor yang berasal dari partai. Dengan data ini kita bisa saja menuduh bahwa sarang koruptor sebenarnya adalah PDIP. Munculnya Jokowi, Ganjar dan Tri Rismaharini hanyalah sebuah kedok dari kebobrokan partai.

Penyajian lebih jelas jika menggunakan pie chart sebagai berikut:

Pie Chart Koruptor berdasarkan Partai
Pie Chart Koruptor berdasarkan Partai

Sesungguhnya kasus-kasus korupsi didominasi oleh 4 partai saja, yaitu PDIP, Golkar, PAN dan PD dengan total jumlah koruptornya 84,3%.

Namun demikian, PDIP, Golkar dan PD punya alibi bahwa sebagai partai besar mereka memang mempunyai koruptor tetapi jumlah yang bersih jauh lebih banyak. Toh semua ada koruptornya (ingat kata SBY). Atau Mereka partai kecil, kalau besar ya sama saja (ingat kata orang Golkar). 

Untuk mengatasi subyektifitas ini perlu kiranya dibuat sebuah standarisasi sehingga partai kecil dan besar mempunyai kesempatan yang sama.

Karena itu dalam kesempatan ini saya mengusulkan adanya index korupsi. Secara sederhana jumlah koruptor dibagi dengan jumlah perolehan suara partai pada pemilu 2009

Index korupsi
Index korupsi

Ke-12 partai peserta pemilu bisa dilihat track recordnya. Kecuali Nasdem yang tidak punya rekam jejak sehingga tidak bisa dinilai, tabel diatas secara jelas menempatkan 9 partai sebagai partai tidak bersih dengan index korupsi diatas 1. Keanehan adalah pada partai Demokrat yang berada pada nomor 7. Walaupun terhitung tidak bersih, Demokrat terlihat tidak terlalu parah. Ada kemungkinan terhambatnya penetapan tersangka/masuk pengadilan/jatuhnya vonis koruptor dari partai demokrat karena ragu-ragunya penegak hukum untuk mempermasalahkan orang-orang demokrat.

Dari tabel diatas terlihat juga bahwa partai yang bisa dikatakan yang relatif bersih hanya 2, Gerindra dan PKS. Dan tentu saja, PKS mempunyai index sangat bagus dengan angka mendekati nol.

Tentu keadaan ini akan menguntungkan dua partai tersebut, utamanya PKS sebagai partai yang paling bersih.

Sumber: kompasiana.com/Fajar Muhammad Hasan

Friday, February 21, 2014

[Video] Kreatif Banget...!



   Iklan PKS Kreatif Banget....


Wednesday, February 5, 2014

[Video] Merinding nontonnya




Jendela Keluarga: Video ini memperlihatkan sekelompok anak manusia yang selalu ada dalam setiap kondisi, selalu memberikan pelayanan kepada siapa saja yang membutuhkan. Mulai dari pimpinan sampai seluruh jajaran akar rumput semuanya bergerak memberikan bantuan dan pelayanan.

Wednesday, January 22, 2014

Politik Kotor Sang Pemimpin


Jendela Keluarga: Ibnu Katsir dalam "Bidayah wa Nihayah" menuturkan kisah sederhana tentang Umar bin Abdul Aziz. Suatu malam datanglah Raja' ibn Haiwah, sang alim di kediaman Umar ibn Abdul Aziz. Raja' ibn Haiwah, kita mengenalnya sebagai sosok yang sangat berpengaruh dalam pengangkatan Umar ibn Abdul Aziz. Di tengah sistem mulk yang menyesakkan dada, ia tak berputus asa. Ia dekati sang raja, Sulaiman ibn Abdul Malik, lalu menanamkan pengaruh. Ia berusaha hadirkan kebajikan dan cegah kemadharatan selagi masih berkesanggupan.

Ya, lelaki alim itu lebih memilih menyalakan lilin daripada mengutuki kegelapan. Ia ikuti kaidah ushul: maa laa tudraku kulluhu, fa laa tutraku kulluh. Sesuatu yang tak dapat diraih seluruhnya, janganlah ditinggalkan semuanya. Hasilnya, ia berhasil munculkan Umar ibn Abdul Aziz di tengah sistem yang rusak. Semula Baitul Maal banyak dikuras untuk kepentingan penguasa, lawan politik diberangus bahkan ribuan mati tanpa pengadilan, kebebasan berpendapat terbelenggu, tapi akhirnya semua berubah total.

Nah, malam itu, sang alim datang ke kediaman Umar ibn Abdul Aziz. Mereka berbincang hangat. Di tengah perbincangan itu, tiba-tiba lampu padam. Barangkali minyak lampu habis. Tapi Umar ibn Abdul Aziz masih terdiam. "Tidakkah kamu panggil pelayanmu agar bersedia menambah minyak lampu ini?" kata Raja' ibn Haiwah. Malam telah cukup larut. Ruangan sangat gelap.

"Mereka sudah tertidur. Aku tidak mau mengganggu istirahatnya," jawab tuan rumah.

"Kalau begitu," kata Raja' ibn Haiwah, "aku saja yang melakukannya."

"Jangan gurunda," jawab Umar ibn Abdul Aziz, "bukanlah kemulian tatkala tuan rumah meminta bantuan dari tamunya." Setelah itu Umar beranjak. Ia ambil lampu yang padam lalu bergegas pergi menambah minyak yang habis. Sesaat kemudian ia kembali. Pada sang guru yang alim ia berujar santun, "Tadi Umar berdiri dan pergi, kini aku datang lagi dan masih sebagai Umar ibn Abdul Aziz."

Kisah di atas teramat sederhana, tapi melukiskan pribadi yang tak sederhana. Melakukan perkara-perkara kecil yang kadang merupakan tugas orang lain, tapi ia bersedia menunaikan, itu jelas bukan perkara sederhana. Apalagi bagi seorang khalifah, itu jelas luar biasa. Tapi di zaman ketika amal dan kesalihan tidak lagi menjadi ukuran, ia akan tampak disamarkan dengan label pencitraan. Ketika zaman lebih banyak dipengaruhi tayangan media dan seloroh host televisi, kadang mata hati kita teramat buram membaca ketulusan dan akhlak yang sebenarnya. Sungguh, sekira tulisan ini adalah nasihat, ia tak pantas ditujukan pertama kali untuk orang lain. Ia lebih pantas ditujukan untuk penulisnya sendiri. Betapa mudah saya menilai seseorang dari komentar dan seloroh pembawa acara di televisi; saya lupa, kadang akhlak seseorang bukanlah sepotong yang ditampilkan televisi.

Umar ibn Abdul Aziz rela berpayah dan berkotor-kotor. Ia teladani Sang Rasul yang rela gali parit dengan tangan beliau sendiri menjelang Pang Khandak. Maka, jika hari ini ada para salih negarawan yang bersedia teladani Rasul dan Umar ibn Abdul Aziz, rasa-rasanya saya sangat malu. Ketika mereka bersedia kotor untuk bersihkan lingkungan, bersihkan masjid dan tempat ibadah, bersihkan jalanan, sambangi korban bencana, sungguh itu bukan amal buruk. Ia adalah kebajikan yang layak diteladani.

Tapi di negeri yang sakit, tanpa sadar, kita turut kena imbasnya. Kebaikan bukan untuk diteladani, tapi untuk dicurigai. Jabat tangan pun akan menyakitkan bagi mereka yang ada luka di jari jemarinya. Kita sibuk menggunjingkan harga tenda presiden yang mahal saat akan berkunjung ke Sinabung, kita ribut menelisik para relawan partai politik yang bekerja dengan atribut, kita gaduh dengan bantuan berlabel partai serta caleg, kita riuh untuk sesuatu yang orang lain lakukan, tapi lupa dengan apa yang mesti kita perbuat.

Sekali lagi maafkan, tulisan ini adalah teguran yang lebih layak dialamatkan untuk penulisnya sendiri daripada untuk orang lain. Sebab, tanpa Anda ketahui, pada skala yang lebih kecil, saya pun sering menilai dengan cara yang sama.

Hanya pada Allah saya mohon ampunan. Semoga Allah hadirkan dalam diri kita semangat Raja' ibn Haiwah untuk datangkan kebaikan di negeri ini dengan kejernihan untuk hadirkan sosok-sosok yang bersedia teladani Umar ibn Abdul Azizi, para pemimpin yang siap kotor demi rakyatnya.
 


 
Oleh: Ustd. Dwi Budiyanto