"Sesungguhnya orang-orang
yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan
orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat.
Dan Allah Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."
(QS An-Nuur [24]: 19)
Salah satu cara musuh Islam melemahkan dan
menghancurkan Islam adalah dengan menyebarkan isu tentang sosok manusia
terpandang di kalangan orang beriman.
Di era globalisasi yang ditandai kemajuan
teknologi informasi, orang yang berhati busuk dan ingin menyebar gosip atau isu
mampu menyebarluaskannya dengan hanya menekan satu tombol.
Ajaran Islam, yang selalu relevan untuk semua
tempat dan zaman, sesungguhnya telah mengantisipasi hal ini, di antaranya
melalui ayat di atas.
Tuduhan Bohong terhadap Siti Aisyah ra
Ayat di atas masih terkait dengan ayat-ayat
sebelum dan sesudahnya yang menyinggung tentang Qishshatu'l Ifki
(berita bohong). Dalam berita ini, Ummul Mukminin Siti Aisyah ra dituduh
selingkuh dengan sahabat Nabi saw, Shafwan Ibnu Mu'aththal ra, pasca-perang
Bani Mushthaliq, Sya'ban 5 H. Biang keladinya adalah kaum munafik sehingga menimbulkan
instabilitas di kaum Muslimin (selengkapnya baca QS An-Nuur [24]: 11-26 dan
riwayat tentang masalah ini di Tafsir Ibnu Katsir, IV/32-35).
Balasan bagi Penyebar Isu di Dunia dan
Akhirat
Dalam kajian Ibnu Katsir, ayat tersebut
mengajarkan etika dan adab ketika mendengar informasi yang tidak baik. Yakni,
mengelolanya dengan baik, tidak banyak memperbincangkannya dan tidak
menyebar/mempublikasikannya (lihat Tafsir Ibnu Katsir IV/38). Sebab,
Allah swt mengancam orang yang sengaja dan terencana menyebarkan isu/gosip
terkait pribadi orang yang beriman dengan siksa yang sangat pedih di dunia dan
akhirat.
Siksa di dunia dalam bentuk hukuman Haddul
Qadzaf (hukuman penuduh zina), yaitu dicambuk 80 kali sebagaimana firman
Allah, "Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik
(yaitu wanita-wanita yang suci, akil balig dan muslimah] (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh
itu) 80 kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.
Dan mereka Itulah orang-orang yang fasik" (QS An-Nuur [24]: 4).
Hukuman tersebut telah dipraktikkan Nabi saw
terhadap para penyebar berita bohong terhadap istri beliau, Siti Aisyah.
Mengenai nama-nama pelakunya, terjadi perselisihan pendapat di kalangan ulama.
Sebuah riwayat menyebutkan, Nabi saw mencambuk dua orang laki-laki dan seorang
perempuan, yaitu Misthah bin Utsaatsah, Hassan bin Tsabit dan Hamnah binti
Jahsy. Menurut Al Qusyairi, mengutip pendapat Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah
saw mencambuk Abdullah bin Ubay, dedengkot kaum munafik, 80 kali cambukan, dan
baginya siksa api neraka di akhirat.
Namun, Imam Al Qurthubi mencoba menyimpulkan
dengan mengatakan, yang populer dari semua riwayat dan yang sudah diketahui
oleh para ulama bahwa yang dihukum cambuk adalah Hassan, Misthah dan Hamnah.
Sementara Abdullah bin Ubay, tidak pernah terdengar ia dihukum cambuk.
Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Aisyah ra, ia
berkata, “Ketika turun (ayat) pembebasanku (dari tuduhan zina), Nabi saw
berdiri dan menyampaikan hal ini (kepada kaum Muslimin) dan membaca Al-Qur'an.
Lalu begitu beliau saw turun dari mimbar, beliau perintahkan untuk dihadirkan
dua orang laki-laki dan seorang perempuan, maka beliau menghukum mereka dengan
hukuman cambuk (80 kali). Mereka adalah; Hassan bin Tsabit, Misthah bin
Utsatsah dan Hamnah binti Jahsy.”
Para ulama kami berkomentar, bahwa Abdullah bin
Ubay tidak dihukum cambuk, sebab Allah Ta'ala benar-benar telah menyiapkan
baginya azab yang sangat pedih di akhirat. Kalau dihukum cambuk di dunia tentu
hal ini akan mengurangi siksanya di akhirat padahal Allah telah bersumpah
tentang terbebasnya Aisyah ra dari segala tuduhan dan dustanya semua orang yang
menuduh dan menyebar gosip tersebut. Dengan demikian, faedah hukuman hudud
dapat dirasakan sebab tujuannya adalah memperlihatkan kebohongan penuduh dan
terbebasnya tertuduh sebagaimana firman Allah swt, "Oleh karena mereka
tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang- orang
yang dusta" (QS An Nuur [24]: 13).
Sedangkan ketiga orang Islam tersebut dihukum
untuk menebus dan mengampuni dosa sehingga tidak sampai terbawa sampai ke
akhirat sebagaimana sabda Nabi saw tentang hudud yang diriwayatkan oleh Ubadah
bin Shamit ra, "Sesungguhnya ia (hukuman hudud itu) Kaffaratun (penebus
dosa) bagi orang yang ditegakkan hukuman tersebut atasnya" (lihat Al
Jaami' Li Ahkaami'l Qur'an. Qurthubi, XII/133-134, Dar Al Kutub Al
Ilmiyah, Beirut, Cet. I, 1408 H/1988 M).
Penggunaan redaksi "Sesungguhnya
orang-orang yang senang/ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu
tersiar di kalangan orang-orang yang beriman…" menunjukkan bahwa
sekadar menyukai tersebar luasnya perbuatan keji atau gosip dan menikmatinya,
maka seseorang berdosa dan akan mendapat siksa. Sementara penyebar gosipnya,
tentu dosa dan siksaannya pun lebih dahsyat.
Hal ini timbul karena kedengkian dan kebencian
serta hasud terhadap masyarakat yang telah hidup rukun, damai dan penuh kasih
sayang. Maka, pendengki dan penghasud pun tidak tinggal diam, ia bekerja keras
untuk mengoyak-ngoyak pilar-pilar positif masyarakat. Dan yang paling efektif
adalah dengan jalan menyentuh kehormatan keluarga tokoh sentralnya. Maka
ditiuplah 'terompet' isu dan gosip. Begitulah yang dimainkan Abdullah bin Ubay
untuk menggoyang stabilitas barisan kaum Muslimin (lihat Tafsir Al Munir,
Az Zuhaili, XVIII/182-183).
Sebuah strategi untuk menjatuhkan harga diri da'i
dan rumah tangganya yang boleh jadi akan terulang di mana dan kapan saja.
Orang Beriman itu Suci, Bersih dan Mulia
Ayat 19 Surah An-Nuur memberi kita pemahaman
bahwa sejatinya orang beriman itu suci, bersih dan mulia sehingga jauh dari
perbuatan keji. Sebab, keimanan itu identik dengan kesucian, kebersihan dan
kemuliaan. Seorang Mukmin harus selalu berhati-hati untuk tidak menjadi obyek
tuduhan keji, maka semaksimal mungkin ia menghindarkan diri masuk ke wilayah
atau persoalan yang berpotensi mendapat tuduhan keji. Bila setelah berusaha
maksimal tetap ada tuduhan, maka ini adalah ujian keimanan.
Ayat tersebut juga menunjukkan betapa bernilai
dan berharganya seorang Mukmin di sisi Allah swt, karenanya tidak dibenarkan
mencari-cari kesalahan, mematai-matai atau menyebar gosip tentang pribadi orang
beriman.
Rasulullah saw bersabda, "Janganlah kalian
menyakiti hamba-hamba Allah. Jangan mencela mereka dan jangan mencari-cari
aurat/aib mereka. Sebab, barangsiapa yang mencari-cari aib saudaranya sesama
muslim, maka Allah akan mencari aibnya sehingga Ia membuka aib tersebut di
rumahnya." (HR Ahmad)