Selamat Datang di Web Jendela Keluarga Aris Nurkholis - Ratih Kusuma Wardani

Jendela Keluarga: Mewujudkan Keluarga Islami

Keluarga muslim adalah keluarga yang dibangun atas dasar nilai-nilai keislaman, Setiap anggota keluarga komintmen terhadap nilai-nilai keislaman. Sehingga keluarga menjadi tauladan dan lebih dari itu keluarga menjadi pusat dakwah Islam.

Merajut Keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah

Keluarga sakinah adalah keluarga yang semua anggota keluarganya merasakan cinta kasih, keamanan, ketentraman, perlindungan, bahagia, keberkahan, terhormat, dihargai, dipercaya dan dirahmati oleh Allah SWT.

Cinta Tanpa Syarat

Ketika suami dan isteri sudah menetapkan “cinta tanpa syarat” dan saling memahami, maka perbedaan dan pertengkaran tidak membesar menjadi konflik yang merusakkan kebahagiaan keluarga.

Cinta Tidak Harus Dengan Kata

Mencintai dengan sederhana, adalah mencintai “dengan kata yang tak sempat diucapkan” dan “dengan isyarat yang tak sempat disampaikan”.

Komunikasi dan Interaksi Penuh Cinta

Hal yang sangat vital perannya dalam menjaga keharmonisan rumah tangga adalah interaksi dan komunikasi yang sehat, komunikasi yang indah dan melegakan serta komunikasi penuh cinta antara seluruh anggotanya.

Friday, June 24, 2011

Tsabat Memenangkan Dakwah

Tsabat Memenangkan Dakwah

Assalamualaikum ikhwah dan akhawat sekalian,

‘Tsabat’ bermakna teguh pendirian dan tegar dalam menghadapi ujian serta mehnah di jalan kebenaran.
Ia merupakan benteng bagi seorang aktivis dakwah sehingga ia memiliki daya tahan dan pantang menyerah terhadap berbagai perkara yang merintanginya sehingga ia mendapatkan cita-citanya atau mati dalam keadaan mulia kerana tetap konsisten di jalanNya.

Dalam ‘Majmu’atur Rasaail’, Imam Hasan Al Banna menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan ‘tsabat’ adalah orang yang sentiasa bekerja dan berjuang di jalan dakwah yang amat panjang sehingga ia kembali kepada Allah swt dengan kemenangan, samada kemenangan di dunia ataupun mati syahid.

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah swt. maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada pula yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah janjinya”. (QS Al Ahzab : 23)

Sesungguhnya jalan dakwah yang kita lalui ini adalah jalan yang bukan mudah bahkan ianya adalah jalan yang :
Jauh.
Panjang.
Penuh liku.
Ditaburi dengan halangan dan rintangan, rayuan dan godaan.
Oleh kerana itu dakwah ini sangat memerlukan orang-orang yang memiliki ciri-ciri dan sifat-sifat yang tinggi nilainya iaitu orang-orang yang :
Berjiwa ikhlas.
Profesional dalam bekerja.
Berjuang dan beramal.
Tahan akan berbagai tekanan.
sehingga dengan modal itu mereka akan sampai pada harapan dan cita-citanya.

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir yang memerlukan pertolongan dan orang-orang yang meminta-minta dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan solat dan menunaikan zakat dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji dan orang-orang yang bersabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar imannya dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”. (QS Al Baqarah : 177)

Di samping itu, dakwah ini juga sentiasa menghadapi musuh-musuhnya di setiap masa dan zaman sesuai dengan keadaannya masing-masing. Tentulah musuh-musuh ini sangat tidak menginginkan dakwah ini tumbuh dan berkembang sehingga mereka berusaha untuk memangkas pertumbuhan dakwah atau mematikannya kerana dengan tumbuhnya dakwah, ianya akan bertentangan dengan kepentingan hidup mereka.

Oleh kerana itu, dakwah ini memerlukan pemikulnya yang berjiwa teguh menghadapi perjalanan yang panjang dan penuh liku-liku serta musuh-musuhnya. Merekalah orang-orang yang mempunyai ketahanan daya juang yang kukuh.

Kita boleh melihat keteguhan Rasulullah saw ketika baginda mendapatkan tawaran yang menggiurkan untuk meninggalkan dakwah Islam tentunya dengan imbalan kekuasaan, kekayaan atau wanita namun dengan tegar beliau bersifat tegas dan berkata dengan ungkapan penuh keyakinannya kepada Allah swt :

‘Demi Allah, wahai bapa saudaraku, seandainya mereka boleh meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan dakwah ini. Niscaya tidak akan aku tinggalkan urusan ini sehingga Allah swt memenangkan dakwah ini atau aku binasa kerananya’.

Demikian juga para sahabatnya ketika menghadapi ujian dan cubaan dakwah, mereka tidak pernah berkurang sedikit pun langkah dan jiwanya malah semakin mantap komitmen mereka pada jalan Islam ini.
Ka’ab bin Malik pernah ditawarkan oleh Raja Ghassan untuk menetap di wilayahnya dan mendapatkan kedudukan yang menggiurkan. Tapi semua itu ditolaknya kerana perkara itu justeru akan menimbulkan mudharat yang jauh lebih besar lagi.

Kita dapat juga saksikan peristiwa yang menimpa umat Islam pada masa Khalifah Al Mu’tashim Billah tentang fitnah dan ujian ‘Khalqul Qur’an’. Imam Ahmad bin Hanbal sangat tegar menghadapi ujian tersebut dengan tegas ia menyatakan bahwa Al Qur’an adalah kalamullah, BUKAN makhluk sebagaimana yang didoktrin oleh Khalifah. Dengan tuduhan sesat dan menyesatkan kaum muslimin, Imam Ahmad bin Hanbal menerima penjara dan hukuman rotan. Dengan keteguhan beliaulah, kaum muslimin dapat diselamatkan aqidah mereka dari kesesatan.

Begitu pula kita merasakan ketegaran Imam Hasan Al Banna dalam menghadapi tribulasi dakwahnya. Ia terus bersabar dan bertahan. Meskipun akhirnya ia pun menemui Rabbnya dengan tembakan senjata api.

Tidak lupa juga dengan Sayyid Qutb yang menerima hukuman mati dengan jiwa yang lapang lantaran aqidah dan menguatkan sikapnya berhadapan dengan tiang gantung. Beliau dengan yakin menyatakan kepada saudara perempuannya :

‘Duhai saudaraku, semoga kita boleh berjumpa di depan pintu syurga kelak’.

Namun dalam masa yang sama, tidak sedikit aktivis dakwah yang kendur daya tahannya.
Ada yang berguguran kerana tekanan material dan tergoda oleh rayuan harta benda. Setelah mendapatkan kenderaan mewah, rumah megah dan sejumlah wang yang dimasukkan ke dalam akaunnya ia membuatkan semangat dakwahnya luntur. Bahkan ia akhirnya sangat haus dan rakus pada harta benda duniawi yang fana itu.

Ada pula yang menurun daya juangnya kerana tekanan keluarga. Keluarganya menghendaki sikap hidup yang berbeza dengan nilai dakwah. Keluarganya ingin ia kekal sebagai keluarga kebanyakan masyarakat yang sekular dengan gaya dan ‘style’ nya, sikap dan perilakunya sehingga ia pun mengikuti selera keluarganya.

Ada juga yang tidak tahan kerana tekanan politik yang sangat keras di mana ancaman, kekerasan, hukuman dan penjara sentiasa menghantui dirinya sehingga ia tidak tahan di mana akhirnya ia pun meninggalkan jalan dakwah ini.
Oleh kerana itu, ‘tsabat’ mesti berlandaskan sikap istiqamah pada petunjuk Allah swt. Ia mestilah berpegang teguh pada :
Ketaqwaan.
Kebenaran hakiki.
serta tidak mudah dipujuk oleh bisikan nafsu dirinya sehingga dirinya kukuh untuk memegang janji dan komitmen pada nilai-nilai kesucian.

Ia tidak memiliki keinginan sedikitpun untuk menyimpang lalu mengikuti kecenderungan yang hina dan tipu muslihat syaitan yang durjana. Sikap ini mesti terus diperkemaskan dengan ‘taujihat’ dan ‘tarbawiyah’ sehingga tetap bersemayam dalam sanubari yang paling dalam. Dengan bekalan itu seorang aktivis dakwah dapat bertahan untuk berada di jalan dakwah ini.

Melalui sikap teguh ini :
Perjalanan panjang akan menjadi pendek.
Perjalanan yang penuh onak dan duri tidak menjadi hambatan untuk meneruskan langkah-langkah panjangnya.
Bahkan ia dapat melihat kepentingan sikap ‘tsabat’ dalam dakwah.
Adapun kepentingan ‘tsabat’ dalam memikul amanah dakwah ini di antaranya :

PERTAMA : BUKTI JALAN HIDUP YANG BENAR

Jalan hidup ini sangat berbagai bentuk :
Ada jalan yang baik ada pula yang buruk.
Ada yang menyenangkan ada pula yang menyusahkan.
Sikap ‘tsabat’ menjadi bukti siapa yang benar jalan hidupnya. Mereka berani menghadapi jalan hidup bagaimana keadaan sekalipun selama jalan itu menghantarkan pada kemuliaan meskipun perlu merasakan kepahitan atau kesusahan.

Sikap ‘tsabat’ ini melahirkan keberanian menghadapi realiti hidup. Ia pantang menyesali keadaan dirinya apalagi menyalahkan keadaan. Ia tidak serik atau berputus asa kerana berbagai persoalan yang mengelilinginya.

Malah ia mampu mengendalikan permasalahan dan menemui harapan besar untuk ia raih. Amatlah munasabah perintah Allah swt pada orang yang beriman tatkala menghadapi musuh agar menguatkan jiwa yang tegar dan konsisten pada keyakinannya.

“Wahai orang-orang yang beriman apabila kamu menghadapi satu pasukan maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah nama Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung”. (QS Al Anfal : 45).

Oleh yang demikian, mereka yang ‘tsabat’ di atas jalan dakwah ini menjadi pilihan hidupnya lantaran ia tahu dan berani menerima kenyataan yang memang perlu ia alami serta muncullah sikap kesatria yang gagah berani meniti jalan hidupnya bersama dakwah ini.

Seorang pujangga yang masyhur, Al Bukhturi dalam baris syairnya ia mengungkapkan bahwa jiwa yang berani hidup dengan menghadapi risiko apapun dan tetap teguh berdiri di atas tapak kakinya adalah ‘nafsun tudhi’u wa himmatun tatawaqqadu’, (jiwa yang menerangi dan cita-cita yang menyala-nyala’) kerana jiwa yang seperti ini menjadi bukti bahwa ia benar dalam mengharungi bahtera hidupnya.

KEDUA : CERMIN KEPERIBADIAN SESEORANG

Sikap ‘tsabat’ membuatkan pemiliknya menjadi tenang di mana ketenangan hati menimbulkan kepercayaan. Kepercayaan menjadi modal utama dalam berinteraksi dengan banyak kalangan. Oleh kerana itu, sikap ‘tsabat’ menjadi cermin keperibadian seorang muslim dan cermin itu berada pada bagaimana sikap dan jiwa seorang mukmin dalam menjalani arah hidupnya dan bagaimana ia menyelesaikan masalah-masalahnya.

Semua orang sangat memerlukan cermin untuk memperbaiki dirinya. Dari cermin, kita dapat mengarahkan sikap salah kepada sikap yang benar. Cermin amat membantu untuk mempermudahkan bagi menemui kelemahan diri sehingga dengan cepat mudah diperbaiki.

Amatlah beruntung bagi diri kita kerana masih ramai orang yang menjual ‘cermin’ agar kita semakin mudah untuk memperbaiki diri. Oleh kerana itulah, Rasulullah saw meletakkan peranan seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya.

Begitu pula, seorang ulama’, memberi hadiah kepada sahabatnya yang diberi amanah kepimpinan sebuah ‘cermin antik’ yang besar. Rupa-rupanya hadiah itu membuatkan sahabatnya itu menangis dan menginsafi diri lalu memahami betul bahwa hadiah ‘cermin antik’ tersebut bukanlah untuk hiasan rumahnya melainkan sebagai usaha nasihat.

Nasihat yang tulus dari ulama’ yang soleh untuk mengingatkan sahabatnya agar dapat memperbaiki diri dalam memikul amanah kepimpinannya.

Begitu juga, sikap ‘tsabat’ adalah cermin bagi setiap mukmin kerana ‘tsabat’ mampu menjadi mesin penggerak jiwa-jiwa yang rapuh di mana ia dapat mengukuhkannya. Tidak sedikit orang yang jiwanya telah mati hidup kembali lantaran mendapatkan tenaga dari sikap ‘tsabat’ seseorang. Ia bagaikan inspirasi yang mengalirkan udara segar terhadap jiwa yang bingung menghadapi segala kepahitan.

Seorang ulama’ mengingatkan kita :

‘Berapa ramai orang yang jiwanya mati menjadi hidup dan jiwa yang hidup menjadi layu disebabkan keadaan daya tahan yang dimiliki oleh seseorang’.

Maka, di sinilah fungsi dan peranan ‘tsabat’ yang cukup penting.

KETIGA : USAHA UNTUK MENUJU KEMENANGAN DAN KEJAYAAN

Setiap kemenangan dan kejayaan memerlukan sikap ‘tsabat’ dan istiqamah dalam mengharungi aneka ragam bentuk kehidupan. Sudah tentu tidak akan ada kemenangan dan kejayaan secara percuma. Ia hanya akan dapat dicapai apabila kita memiliki pra-syaratnya iaitu sikap tetap istiqamah menjalani kehidupan ini.

Seorang murabbi mengingatkan mutarabbinya dengan mengatakan :

‘Peliharalah keteguhan hatimu, kerana ia bentengmu yang sesungguhnya. Barang siapa yang memperkukuhkan bentengnya niscaya ia tidak akan goyah oleh badai walau sekencang manapun dan ini menjadi pengamanmu’.

Begitulah nasihat ramai ulama’ kita yang mengingatkan agar kita berusaha secara maksima bagi mengukuhkan kekuatan hati dan keteguhan jiwa agar mendapatkan cita-cita kita.

Begitu juga jika kita meneliti terhadap jalan dakwah. Kegemilangan jalan suci ini hanya dapat diraih dari sikap konsisten terhadap prinsip dakwah ini yang tidak mudah berubah kerana tarikan-tarikan kepentingan yang mengarah pada kecenderungan duniawi.

Tanpa sikap ‘tsabat’, seseorang aktivis dakwah itu akan terseret pada putaran kehancuran dan kerugian dunia dan akhirat.

“Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami. Dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia. Dan kalau Kami tidak memperkuat hatimu niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka. Kalau terjadi demikian benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu siksaan berlipat ganda di dunia ini dan begitu pula siksaan berlipat pula sesudah mati dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap Kami”. (QS Al Isra’ : 73 – 75)

Sikap ini menjadi daya tahan terhadap gegaran apapun dan dari sanalah ia mencapai kejayaannya sebagaimana yang diingatkan oelh Rasulullah saw kepada Khabbab bin Al ‘Arats agar tetap bersabar dan berjiwa tegar menghadapi ujian dakwah ini bukan dengan sikap yang tergesa-gesa apalagi dengan sikap yang menginginkan jalan dakwah ini tanpa sebarang halangan dan rintangan.

KEEMPAT : JALAN UNTUK MENCAPAI SASARAN

Untuk mencapai sasaran hidup yang dikehendaki, tidak ada jalan lain kecuali dengan bermodalkan ‘tsabat’. Teguh meniti jalan yang sedang dilaluinya, meskipun perlahan-lahan.

Tidak tertarik untuk melencong sedikit pun atau sesekali melainkan mereka lakukan terus-menerus meniti jalannya dengan sikap tetap istiqamah.

Bahkan dalam dunia penglipur lara dikisahkan kura-kura mampu mengalahkan kancil untuk mencapai suatu tempat. Kura-kura meskipun berjalan perlahan-lahan namun akhirnya mampu menghantarkan dirinya pada tempat yang dituju.
Ibnu ‘Athaillah As Sakandary menasihatkan muridnya untuk sentiasa tekun dalam beramal agar meraih harapannya dan tidak cepat merasa letih atau putus asa untuk mendapatkan hasilnya.

‘Barang siapa yang menggali telaga lalu berpindah pada tempat yang lain untuk menggali lagi dan seterusnya berpindah lagi maka selamanya ia tidak akan menemui air dari lubang yang ia gali. Tapi bila kamu telah menggali lubang, galilah terus hingga kamu dapatkan air darinya meskipun amat meletihkan’. (Disunting dari ‘Kitab Tajul ‘Arus’)

Oleh yang demikian, ketekunan dan kesabaran menjadi alat bantu untuk mencapai cita-cita dan harapan yang dikehendakinya dan kedua-dua sifat itu adalah merupakan pancaran sikap ‘tsabat’ seseorang.

‘Tsabat’ meliputi beberapa aspek :
Pertama : Teguh terhadap agama Allah swt.

Keteguhan pada masalah ini dengan tidak menanggalkan agama ini dari dirinya walaupun kematian menjadi ancamannya. Ini sebagaimana wasiat yang sentiasa dikumandangkan oleh Khatib Juma’at agar sentiasa menjaga keimanan dan ketaqwaan sehingga mati dalam keadaan muslim.

Ini juga yang menjadi wasiat para Nabi kepada keturunannya.

“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya. Demikian pula Ya’qub. ‘Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu. Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”. (QS Al Baqarah : 132)

Wasiat ini untuk menjadi amaran kepada pada kaum muslimin agar tetap memelihara imannya. Jangan mudah tergiur oleh kesenangan dunia lalu :
Mengganti keyakinannya dengan yang lain.
Menjual agamanya dengan harga yang murah.
Menukar prinsip hidupnya dengan tarikan dunia.
Mengganti aqidahnya dengan secebis kariernya.
Kedua : Tetap komited pada agama Allah swt.

Ini berlaku samada dalam ketaatan mahupun ketika menerima kenyataan hidup. Ia tidak mengeluh atas apa yang menimpa dirinya malah tetap tegar menghadapinya. Bangunan komitmennya tidak pernah pudar oleh kenyataan pahit yang dirasakannya. Keluhan dan penyesalan bukanlah sebuah penyelesaiaan malah akan menambah bebanan hidup.

Oleh kerana itu, keteguhan dan kesabaran menjadi modal untuk menghadapi seluruh permasalahannya.
Mereka yang menjaga komitmennya pada ajaran Allah sentiasa memandang bahwa apa sahaja yang diberikanNya adalah sesuatu yang baik bagi dirinya.

Persepsi ini tidak akan membuatkan ia goyah menghadapi pengalaman sepahit atau segetir manapun malah berkemungkinan ia mampu merubahnya menjadi suatu kenangan manis yang patut diabadikan dalam kumpulan album kehidupannya kerana segala pengalaman pahit itu, apabila mampu diatasi dengan sikap tegar maka ia akan menjadi bahan nostalgia yang amat mahal.

Ketiga : Teguh pada prinsip dakwah.

Ia menjadikan prinsip-prinsip dakwah itu sebagai petunjuk-petunjuk jalan dalam memberikan khidmatnya kepada tugas yang agung ini serta mengutamakan dakwah di atas aktiviti lainnya sehingga mampu memberikan sumbangannya di atas jalan ini tanpa kenal erti penat lelah.

Ia sentiasa terkehadapan dalam usaha pembelaan terhadap dakwah walaupun harus menderita kerana sikapnya. Ketenangan dan kegusaran hatinya sentiasa dikaitkan dengan nasib dakwah. Ia tidak akan merasa nyaman apabila dakwah berada dalam ancaman.

Oleh kerana itu, ia berusaha untuk sentiasa berdisiplin pada prinsip dakwah ini kerana ia faham bahwa berubahnya ia dari prinsip ini akan memberi akibat yang merbahaya bagi dakwah dan masa depan umat. Perhatikanlah peristiwa Uhud, Bir Ma’unah dan lainnya di mana peristiwa yang amat memilukan dalam sejarah dakwah tersebut di antaranya disebabkan oleh kurangnya disiplin aktivis dakwah pada prinsip dan petunjuk dakwah.

KELIMA : HARGA DIRI SEORANG AKTIVIS DAKWAH

Ketika ini kita memasuki era di mana halangan dan peluang sama-sama terbuka. Kita mungkin binasa lantaran tidak tahan menghadapi tentangan atau mungkin berjaya kerana mampu membuka pintu peluang seluas-luasnya.

Oleh kerana itu kita dituntut untuk bersikap ‘tsabat’ dalam keadaan dan situasi apapun samada senang atau susah, sempit ataupun lapang. Tidak pernah tergoda oleh bisikan-bisikan kemewahan dan gemerlapan dunia lalu tertarik padanya dan lari dari jalan dakwah.

‘Tsabat’ tidak mengenal waktu dan tempat, di mana dan bila sekalipun. Kita tetap mesti menjunjung misi dan visi dakwah kita yang suci ini untuk menyelamatkan umat manusia dari kehinaan dan kemudaratan. Dengan jiwa ‘tsabat’ inilah aktivis dakwah memiliki harga diri pada pandangan Allah swt mahupun di mata musuh-musuhnya. Melalui sikap ini seorang aktivis dakwah lebih istimewa daripada kebanyakan orang lain dan ia menjadi citra yang tidak ternilai harganya.

Imam Hasan Al Banna menegaskan :

‘Janganlah kamu merasa rendah diri, lalu kamu samakan dirimu dengan orang lain. Atau kamu tempuh dalam dakwah ini jalan yang bukan jalan kaum mukminin. Atau kamu bandingkan dakwahmu yang cahayanya diambil dari cahaya Allah dan manhajnya diserap dari sunnah RasulNya dengan dakwah-dakwah lainnya yang terbentuk oleh berbagai kepentingan lalu hilang begitu sahaja dengan berlalunya waktu dan terjadinya berbagai peristiwa. Kuncinya adalah ‘Tsabat’ dalam jalan dakwah ini’.

Kalau begitu, bagaimanakah bangunan ‘tsabat’ yang kita miliki?

Ya Allah, Engkaulah pemilik hati-hati kami. Engkaulah Tuhan yang membolak balikkan hati-hati, teguhkanlah hati-hati dan jiwa-jiwa kami untuk sentiasa berpegang teguh pada agamaMu dan ketaatan di jalanMu. Berilah kekuatan kepada kami untuk kami tetap ‘tsabat’ di jalanMu sehingga kami menemui antara dua kebaikan samada kemenangan di dunia atau kami gugur di jalanMu untuk mendapatkan syurga dan kenikmatan di sisiMu.

Ameen Ya Rabbal Alameen

Wan Ahmad Sanadi Wan Ali
Pengerusi JK Tarbiah IKRAM Shah Alam

Tuesday, June 7, 2011

Benarkah Kita Kader Dakwah

Benarkah Kita Kader Dakwah ?


Oleh : Cahyadi Takariawan

 

Benarkah kita kader dakwah ? Kader dakwah itu memiliki kepahaman yang utuh. Paham akan falsafah dasar perjuangan, paham akan nilai-nilai yang diperjuangkan, paham akan cita-cita yang hendak dicapai, paham akan jalan yang harus dilalui. Kader dakwah memiliki pemahaman yang komprehensif. Paham akan tahapan-tahapan untuk merealisasikan tujuan, paham akan konsekuensi setiap tahapan, paham akan logika tantangan yang menyertai setiap tahapan, paham bahwa di setiap tahapan dakwah memiliki tingkat resiko yang berlainan. Kepahaman kader dakwah terus berkembang.


Benarkah kita kader dakwah ? Kader dakwah itu memiliki keikhlasan yang tinggi. Ikhlas artinya bekerja hanya untuk Allah semata, bukan untuk kesenangan diri sendiri. Sangat banyak godaan di sepanjang perjalanan dakwah, baik berupa harta, kekuasaan dan godaan syahwat terhadap pasangan jenis. Hanya keikhlasan yang akan membuat para kader bisa bersikap dengan tepat menghadapi segala bentuk godaan dan dinamika dakwah. Sangat banyak peristiwa di sepanjang perjalanan dakwah yang menggoda para kader untuk meninggalkan jalan perjuangan. Ikhlas adalah penjaga keberlanjutan dakwah.

Benarkah kita kader dakwah ? Kader dakwah itu memiliki amal yang berkesinambungan. Amal dalam dakwah bukanlah jenis amal yang setengah-setengah, bukan jenis amal sporadis, spontan dan tanpa perencanaan. Sejak dari perbaikan diri dan keluarga, hingga upaya perbaikan masyarakat, bangsa, negara bahkan dunia. Amal dalam dakwah memiliki tahapan yang jelas, memiliki tujuan yang pasti, memiliki orientasi yang hakiki. Kader dakwah tidak hanya beramal di satu marhalah dan meninggalkan marhalah lainnya. Kader dakwah selalu mengikuti perkembangan mihwar dalam dakwah, karena itulah amal yang harus dilalui untuk meretas peradaban.

Benarkah kita kader dakwah ? Kader dakwah itu memiliki etos jihad yang abadi. Jihad dalam bentuk kesungguhan, keseriusan, dan kedisiplinan dalam menggapai visi dakwah yang hakiki. Kesungguhan membela hak-hak umat, kesungguhan mendidik masyarakat, keseriusan mengusahakan kesejahteraan masyarakat, kedisiplinan membersamai dan menyelesaikan persoalan kehidupan yang semakin kompleks. Kader dakwah harus memberikan kesungguhan dalam menjalankan semua agenda dakwah, hingga menghasilkan produktivitas yang paripurna, di lahan apapun mereka bekerja. Itulah makna jihad dalam konteks perjalanan
aktivitas dakwah.


Benarkah kita kader dakwah ? Kader dakwah itu memiliki pengorbanan yang tak terhingga nilainya. Dakwah tidak mungkin akan bisa dijalankan tanpa pengorbanan. Sejak dari pengorbanan harta, waktu, tenaga, pikiran, fasilitas, hingga pengorbanan jiwa. Rasa lelah, rasa jenuh, rasa letih selalu mendera jiwa raga, kesenangan diri telah dikorbankan demi tetap berjalannya roda dakwah. Aktivitas dijalani sejak berpagi-pagi hingga malam hari. Kadang harus bermalam hingga beberapa lamanya, kadang harus berjalan pada jarak yang tak terukur jauhnya, kadang harus memberikan kontribusi harta pada kondisi diri yang belum mapan dari segi ekonomi. Pengorbanan tanpa jeda, itulah ciri kader dakwah yang setia.

Benarkah kita kader dakwah ? Kader dakwah itu memiliki ketaatan kepada prinsip, keputusan organisasi, dan kepada pemimpin. Prinsip-prinsip dalam dakwah harus dilaksanakan dengan sepenuh ketaatan. Taat kepada pondasi manhaj adalah bagian penting yang akan menghantarkan dakwah pada tujuannya yang mulia. Taat kepada keputusan organisasi merupakan syarat agar kegiatan dakwah selalu terbingkai dalam sistem amal jama’i. Taat kepada pemimpin merupakan tuntutan agar pergerakan dakwah berjalan secara efektif pada upaya pencapaian tujuan. Ketaatan bukan hanya terjadi dalam hal-hal yang sesuai dengan pendapat pribadi, namun tetap taat terhadap keputusan walaupun bertentangan dengan pendapatnya sendiri.

Benarkah kita kader dakwah ? Kader dakwah itu memiliki keteguhan tiada henti. Kader dakwah harus selalu tegar di jalan dakwah, karena perjalanan amatlah panjang dengan berbagai gangguan dan tantangan yang menyertainya. Teramat banyak aktivis dakwah semasa, dimana mereka memiliki semangat yang menyala pada suatu ketika, namun padam seiring berjalannya usia. Ada yang tahan tatkala mendapat ujian kekurangan harta, namun menjadi gugur saat berada dalam keberlimpahan harta dunia. Ada yang tegar saat dakwah dilakukan di jalanan, namun tidak tahan saat berada di pucuk kekuasaan. Kader dakwah harus berada di puncak kemampuan untuk selalu bertahan.

Benarkah kita kader dakwah ? Kader dakwah itu memiliki kemurnian dan kebersihan dalam orientasi aktivitasnya. Sangat banyak faktor yang mengotori kebersihan orientasi dakwah. Ada kekotoran cara mencapai tujuan. Ada kekotoran dalam usaha mendapatkan harta. Ada kekotoran dalam langkah menggapai kemenangan. Kader dakwah harus selalu menjaga kemurnian orientasinya, tidak berpaling dari kebenaran, tidak terjebak dalam kekotoran. Karena dakwah memiliki visi yang bersih, sehingga harus dicapai dengan langkah dan usaha yang bersih pula.

Benarkah kita kader dakwah ? Kader dakwah itu memiliki solidaritas, persaudaraan dan kebersamaan yang tinggi. Ukhuwah adalah sebuah tuntutan dalam menjalankan agenda-agenda dakwah. Semakin besar tantangan yang dihadapi dalam perjalanan dakwah, harus semakin kuat pula ikatan ukhuwah di antara pelakunya. Kader dakwah saling mencintai satu dengan lainnya, saling mendukung, saling menguatkan, saling meringankan beban, saling membantu keperluan, saling berbagi dan saling mencukupi. Kader dakwah tidak mengobarkan dendam, iri dan benci. Kader dakwah selalu membawa cinta, dan menyuburkan dakwah dengan sentuhan cinta.

Benarkah kita kader dakwah ? Kader dakwah itu memiliki tingkat kepercayaan yang tak tertandingi. Berjalan pada rentang waktu yang sangat panjang, dengan tantangan yang semakin kuat menghadang, menghajatkan tingkat kepercayaan prima antara satu dengan yang lainnya. Berbagai isu, berbagai fitnah, berbagai tuduhan tak akan menggoyahkan kepercayaan kader dakwah kepada para pemimpin dan kepada sesama kader dakwah. Berbagai caci maki, berbagai lontaran benci, berbagai pelampiasan kesumat, tak akan mengkerdilkan kepercayaan kader terhadap langkah dakwah yang telah dijalaninya.
Jadi, benarkah kita kader dakwah ?

Sunday, May 1, 2011

Belajar dari Sejarah, Antara NII, Umat Islam, dan 'Mereka'

وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا

“Dan Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (din) (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup." (QS. Al-Baqarah [2] : 217)

Belajar dari Sejarah

Majalah Time edisi 30 September 2002 menurunkan satu tulisan berjudul, ”Taking The Hard Road” di mana dibuka oleh tulisan “Indonesia menghadapi pilihan sulit menggulung kaum ekstrimis dan risikonya mendapatkan reaksi keras dari umat Islam”.
Hampir 10 tahun kemudian setelah tulisan itu, tahun 2010-2011, Kata-kata ekstrimis, terror bom, Gerakan radikal, mulai terdengar di masyarakat. Kata-kata yang dahulu baik, semakin kemari semakin bermakna negarif seperti jihad, Negara Islam, Syariat Islam, dan lainnya.

Namun, mungkin saat ini umat Islam yang semakin terdesak, seolah–olah tidak adanya antara Islam dengan ekstrimis, teroris atau bahkan seperti yang diungkapkan para orientalis, bahwa Islam itu teroris, ekstrimis, dan lainnya.

Media memulai peranan penting dalam pembentukan opini. Saat ini, isu yang digencarkan adalah tentang NII KW9, yang pada mulanya diduga ada orang yang dicuci otaknya. Namun mengapa tiba-tiba bisa menyambung kepada NII ini, di saat sebelumnya, media gencar memberitakan bom terhadap Ulil, Bom di Mesjid, Bom yang diliput, juga perampokan CIMB Niaga yang dalam diskusi-diskusi terbuka, ada saja yang mengaitkan dengan Umat Islam yang ‘ekstrimis, teroris, dll’.
Sebenarnya , tentang NII KW9 sudah lama dibahas oleh MUI Bagaimana mungkin ingin menegakan Negara Islam dengan cara yang menyalahi syariat? (syahadat ulang, membayar, tidak shalat, dll) Ini tentu sesuatu hal yang patut dipertanyakan.

Pada tahun 2002, MUI meneliti tentang NII KW9 yang ternyata diambil beberapa kesimpulan bahwa hubungan NII KW9 memiliki hubungan historis dengan Ma;had Al-Zaitun. Lalu, apakah tidak ada follow up dari pemerintah / MUI sendiri? Sehingga muncul banyak pertanyaan.
Saat ini isu tentang NII KW9 mulai dimunculkan kembali, padahal kasus ini sudah bergulir puluhan tahun, dimana terjadi desas-desus bahwa NII KW9 sengaja ‘dipelihara’ Intel untuk mengaburkan dengan NII sebenarnya yang dahulu secara sah dan resmi berdampingan dengan RI. Al Chaidar bahkan mengatakan, bahwa dalam kerjanya NII KW9 dilarang merekrut TNI dan Polri agar tidak ‘jeruk makan jeruk’. Dan muncul juga pertanyaan, kenapa baru-baru ini di blow up lagi oleh media?

Key Comboy dalam bukunya Intel, Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia menyebutkan bahwa Ali Moetopo berhasil memasukkan orangnya yang bernama Sugiyarto dalam lingkaan orang-orang Darul Islam (DI/NII-pen). Sugiyarto ini berhasil membangun hubungan dengan Danu Mohammad Hasan (komandan DI Jabar) dan pada awalnya orang-orang DI ini dimanfaatkna untuk mengejar orang–orang komunis.
Umar Abduh membenarkan dalam tulisan berjudul Latar Belakang Gerakan Komando Jihad. “Ali Moertopo mengajukan ide tentang pembentukan dan pembangunan kembali kekuatan NII, guna menghadapi bahaya laten komunis” Ide Ali Moertopo ini selanjutnya diolah Danu M. Hasan, Tahmid Rahmat Basuki (Anak Karto Suwiryo), dan H. Ismail Pranoto.
Jadi, apa yang sebenarnya dituju oleh isu yang bergulir saat ini (NII)? Ditambah dengan adanya RUU Intelejen, dan pembahasan agama dan kekerasan yang marak di media?

Sejarah yang Kembali Terulang

Orang-orang Komando Jihad ditangkap, Undang-undang Subversif PNPS No. 11 Tahun 1963 .Sejak saat itulah UU Subversif ini digunakan sebagai senjata utama untuk menangani semua kasus yang bernuansa makar dari kalangan Islam. Kenneth E. Ward menyatakan, rezim Orde baru (yang dimotori oleh Jendal Ali Moertopo, Kepala Opsis/Aspri Presiden) sedari awal sudah menempatkan Umat Islam melalui Identitas dengan “Darul Islam” (NII), sehingga cenderung hendak menghancurkan Islam, sejak kasus Komando Jihad (Komji), stigma bahwa Islam merupakan agama kaum ekstrim kanan terus didengungkan oleh kelompok Ali Moerrtopo.

M. Sembodo dalam bukunya Pater Beek, Fremason, dan CIA pada hal 142 menjelaskan bahwa ada kesan yang ingin ditimbulkan dari penangkapan-penangkapan aktivis Islam.
Penangkapan ini memberikan adanya pembenaran pada Ali Moertopo bahwa telah muncul bahaya makar yang dilakukan oleh ekstrimis Islam guna memecah belah NKRI. Dengan cara ini ada dua keuntungan yang didapatkan, yaitu memberikan kesan bahwa umat Islam adalah umat yang tidak setia pada NKRI. Kedua memberikan tekanan kepada umat Islam agar tidak macam-macam dengan pemerintah.
Agar tidak dicap macam-macam, umat Islam mungkin saja harus sekuler, harus berpikir liberal, agar tidak dimusuhi oleh Pemerintah. Suatu penggiringan opini yang sangat cerdas sekali, yang akhirnya umat Islam mungkin menjadi malu dengan identitas keislamannya.

Jika kita melihat sejarah, terlihat pola sejarah masa lalu berulang kemasa kini. Jangan heran, mungkin suatu saat akan ada orang tua yang melarang anaknya mengaji, mungkin jika ada orang yang mengajak kepada Islam, orang akan curiga, ketika ada orang berdiskusi tentang Islam, akan menjauh, ketika membahas tentang Negara yang berasaskan Islam akan malu, ketika ada halaqah-halaqah beberapa orang dicurigai, ketika ada sebuah dauroh, dituduh memberontak, ketika membahas tentang politik Islam, dikaitkan dengan menggulingkan NKRI, Rohis dituduh awal mula perekrutan teroris. Rekrutmen da’i dicurigai. Akhirnya orde baru kembali terjadi. Rancangan Undang-undang Intelejen sedang dibahas di DPR. Pengawasan terhadap gerakan dakwah, penyusupan intelijen, dan sejarah berulang kembali.

BIN dapat melakukan penangkapan dan pemeriksaan intensif (interogasi) paling lama 7X24 jam. Usulan itu seperti halnya masa lalu, dapat membuat mereka ditangkap, tanpa surat penangkapan, tanpa pemberitahuan, dll. Sehingga Gerakan Islam semakin terbatas geraknya. Lagi-lagi kita harus belajar dari sejarah.

Isyhadu Bi anna Muslimun

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali ‘Imran [3] : 139)

Ketika dakwah Rasulullah shallahu alaihi wa sallam dimulai, pertentangan mulai terjadi, terjadi fitnah, tuduhan, dan semacamnya. Sampai akhirnya Rasulullah shallahu alaihi wa sallam ditawari kekuasaan, tapi menolaknya, ditawari harta, wanita, tapi menolaknya, ditawari untuk saling menyembah Tuhan, tetap menolaknya, hingga diminta jangan berdakwah, dan tahun depan kafir Quraisy akan masuk Islam, ketika Rasul shallahu alaihi wa sallam mulai ragu turun firman Allah agar tidak menerima tawarannya.
Tapi, apakah dengan begitu dakwah Rasulullah shallahu alaihi wa sallam terhenti? Apakah dengan menyerang kekufuan mereka dakwah berhenti? Apakah dengan difitnah, ujian, diboikot dakwah berhenti? Apakah dengan bara' (menolak) kepada kaum kafir dakwah terhenti? Justru dengan hal-hal di atas, Islam semakin berkembang, Islam semakin justru Islam semakin eksis.

Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayaNya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai” (QS. At Taubah [9] : 31-32)

Kaum muslimin di Indonesia diprovokasi untuk berpikir sekuler-liberal, sebagian dari budaya global. Bahkan kaum muslimin didorong untuk meninggalkan cara berpikir tauhid, yang mengakui Al-Quran sebagai kitab suci yang valid dan mukjizat, dan hanya mengakui Islam sebgai satu-satunya agama yang benar.
Dalam Ma’alim fii Thariq (Petunjuk Jalan), Sayyid Quthb menguraikan tentang hakikat Islam “Peraturan Allah, pada hakikatnya, adalah lebih baik, karena itu termasuk syariat Allah. Kapan pun, syariat yang dibuat oleh manusia tak akan dapat menyamai syariat Allah. Akan tetapi, ini bukan landasan da’wah. Landasan da’wah adalah menerima syariat Allah apa adanya dan menolak syariat lain apa pun wujudnya. Beginilah Islam, pada hakikatnya. Islam tidak memiliki makna lain selain makna ini.”

"Maka , tidak perlu kita mencari-cari aturan-aturan lain, kita cukup bangga menjadi muslim “Maka apakah mereka mencari din selain din Allah, padahal kepada Allahlah mereka berserah diri." (QS. Ali-Imran [3] : 83)

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada din(Allah)yang hanif (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS. Ar-Rum [30] : 30)

Surat Al-Baqarah ayat 217 yang dikutip pada awal tulisan di atas menegaskan bahwa mereka akan terus memerangi kita, sampai din itu tidak ada pada diri kita satu persatu. Dalam din mencakup aqidah, maka sedikit demi sedikit, aqidah kita dirusak.

Di dalam din mencakup akhlak, dari situlah mulai “yaruddukum andinikum”. Semakin malu dengan identitas keislaman, di dalam din itu ada syariat, “yaruddukum andinikum”, semakin malu dengan syariat, anti terhadap penegakan hukum Islam, dalam din itu ada Islamic Wordview, mulai bangga dengan Liberalisme, Hermeneutika, Humanisme dan pada akhirnya seperti yang pernah disampaikan —Allahu yarham— Ustadz Rahmat Abdullah , “nggak bangga lagi dengan Islam” nggak bangga lagi dengan produk tarbiyah, bangganya dengan sana, sana, sana.” Dan memang itulah yang dituju mereka. Pertanyaannya apakah kita, kawan-kawan kita, saudara kita akan terjebak dengan makar mereka? Disinilah para dai berperan besar.

Muhammad Rizki Utama
Mahasiswa Arsitektur Institut Teknologi Bandung
rizkilesus.wordpress.com

Wednesday, April 20, 2011

MENYUBLIMKAN KEPEDIHAN


Sesungguhnyalah epos setiap pahlawan dan pejuang selalu menyimpan kisah-kisah kepedihan. Karena semua pahlawan, semua orang besar, tidak bisa menghindarkan diri dari keterbatasan dirinya yang tidak dimengerti publik.  Kebesaran nama dirinya telah menyihir opini masyarakat, seakan dia adalah manusia tanpa cela, serba sempurna dan serba tidak ada kekurangannya. Di titik ini, setiap pejuang ditempatkan secara terasing, di posisi yang tidak dia kehendaki.
Ada pejuang yang memilih menjaga citra diri dengan mencoba menjadikan dirinya sesuai harapan publik. Tentu ini tidak mudah. Dia adalah magnet bagi kamera media. Omongannya, responnya, perbuatannya, tindakannya, adalah sebuah berita. Semua mata memandang kepadanya, dimanapun ia berada. Tak ada ruang privat lagi bagi orang seperti dirinya. Media bisa masuk ke semua ruang-ruang pribadinya.
Dengan pilihan ini, ia harus menjadi seseorang seperti yang diharapkan publik. Bukan menjadi dirinya sendiri yang memiliki banyak keterbatasan. Namun ia harus menjadi hero, menjadi superman, menjadi seseorang yang selalu diidolakan semua kalangan masyarakat. Tak ada kesempatan bagi dirinya untuk menjadi dirinya sendiri, menjadi manusia biasa yang bisa menangis, bisa salah, bisa lupa, bisa khilaf, bisa berbuat dosa.  Dia dipaksa menjadi seseorang seperti harapan masyarakat terhadap sosok pahlawan dan pejuang. Bahwa para pahlawan selalu tampil elegan, tanpa cela, tanpa cacat. Sedikitpun.
Celakanya, para pemuja sosok pahlawan ini hampir tidak bisa membedakan mana sosok manusia biasa yang tengah berusaha menjadi pejuang atau pahlawan, dengan manusia pilihan yang Tuhan takdirkan menjadi Nabi. Bagi seorang Nabi utusan Tuhan, dirinya mendapatkan dukungan Ketuhanan secara penuh. Karena semua perkataan dan perbuatannya adalah hukum untuk diikuti oleh pemeluk agama sang Nabi. Berbeda dengan manusia yang lainnya, kendati dia adalah seseorang yang berusaha menempatkan diri dalam barisan para pejuang dan para pahlawan, namun tetap saja dia adalah manusia biasa.
Sebuah harapan yang berlebihan bahkan absurd. Saat dunia telah sangat lama ditinggalkan oleh Nabi terakhir, akhirnya menjadi defisit keteladanan dan contoh kebaikan. Dunia muak dengan kemunafikan dan kepura-puraan yang sering ditampakkan banyak aktor politik dan banyak pejabat publik. Masyarakat menghendaki dan mencoba mengidentifikasi tokoh-tokoh yang bisa menjadi sumber inspirasi dan keteladanan dalam kehidupan. Sangat langka. Begitu menemukan beberapa gelintir orang yang dianggap masih memiliki harapan untuk menjadi panutan, maka harapan mereka menjadi berlebihan dan tidak masuk akal.
Para pejuang ini telah dipajang dalam bingkai harapan yang sangat ideal. Tak boleh berdebu, mereka bersihkan setiap hari dengan puji-pujian dan sejuta doa. Para pejuang ini yang akan menjadi penyelamat bangsa, akan menjadi harapan perubahan bagi Indonesia. Sebuah obsesi yang lahir dari dahaga berkepanjangan akan munculnya sosok keteladanan dari para pahlawan. Sangat lama masyarakat menunggu para pahlawan yang akan mensejahterakan rakyat Indonesia dan membebaskan masyarakat dari kebodohan, kemiskinan, kelaparan, ketertinggalan dan keterbelakangan.
Para pejuang telah ditempatkan pada posisi yang mustahil melakukan kesalahan. Mereka tidak ditolerir memiliki kelemahan, bukan hanya untuk diri pribadinya. Namun juga bagi isteri, anak-anak dan semua keluarganya. Masyarakat mudah mengalami kekecewaan fatal bahkan keputusasaan apabila melihat ada kekurangan pada diri sang hero, atau pada isteri dan anak-anaknya. Keteladanan dituntut untuk selalu dipenuhi, bahkan oleh anak-anak yang tidak banyak mengerti beban orang tua mereka yang terlanjurkan diidolakan sebagai sosok pahlawan super. Isterinya harus super, anak-anaknya harus super, keluarga besarnya harus super. Betapa berlebihan tuntutan ini.
Namun ada pula para pejuang yang memilih menikmati menjadi dirinya sendiri apa adanya. Seorang manusia yang penuh kelemahan dan keterbatasan. Di tengah kelemahan dan keterbatasan diri, ia mencoba menjadi seseorang yang memberikan kemanfaatan bagi orang lain. Memberikan kontribusi kebaikan sekuat kemampuan yang dia miliki. Waktu, tenaga, pikiran, harta benda dia curahkan untuk melakukan hal terbaik yang bisa dia sumbangkan bagi perbaikan bangsa dan negara. Mungkin tidak terlalu memuaskan masyarakat, mungkin tidak heroik, mungkin tidak dielu-elukan oleh para pemuja kepahlawanan. Namun ia selalu berusaha memberikan yang terbaik.
Dia melihat dunia dengan dua kacamata pada saat bersamaan. Satu kacamata idealis, dia memiliki visi yang sangat jelas tentang hal-hal ideal yang harus dilakukan dan harus terjadi bagi bangsa dan negara. Satu lagi kacamata realis, bahwa dia melihat Indonesia tidak cukup diubah oleh keteladanan beberapa sosok pahlawan. Indonesia hanya memerlukan kebersamaan untuk melakukan perubahan, memerlukan konsistensi untuk menegakkan aturan, memerlukan kedisiplinan untuk menjalankan agenda kebangsaan dan kenegaraan. Indonesia memerlukan harmoni dari pagelaran orkestra berbangsa dan bernegara.
Dia tidak mau terkurung ke dalam sosok pahlawan ideal seperti yang digambarkan masyarakat. Benarkah perubahan Indonesia harus dimulai dari sosok-sosok profan yang tak memiliki sedikitpun kekurangan, cacat, kelemahan dan kesalahan ? Bukankah itu hanya layak dinisbatkan kepada para Nabi dan Rasul yang dimuliakan Tuhan dengan tugas-tugas Ketuhanan ? Dia merasa hanyalah manusia biasa yang berusaha melakukan perubahan ke arah kebaikan, semaksimal kemampuan yang dia miliki. Namun dia mengetahui ada sejumlah sisi-sisi kemanusiaan dalam dirinya yang akan sulit dipahami oleh publik.
Sering terbersit dalam kesendiriannya, apakah hanya ada dua pilihan menjalani kehidupan bagi bangsa Indonesia ? Pilihan menjadi pahlawan super hero yang dipuja-puja seluruh masyarakat, dan pilihan menjadi pecundang yang dicela oleh semua media, tanpa sisa ? Tidak adakah pilihan menjadi diri sendiri yang jujur apa adanya, menjadi seseorang yang penuh keteterbatasan dan kelemahan, namun selalu berusaha menyumbangkan kontribusi terbaik bagi bangsa dan negara ? Dimanakah tempat orang-orang seperti ini ? Apa nama dan nilai mereka ini ? Menjadi pahlawan ataukah pecundang ?
Menjadi super hero tanpa cela betapa sangat sulitnya. Siapa yang akan sanggup menempati posisi seperti ini, siapa yang akan merelakan dirinya berada dalam sebuah suasana pencitraan, untuk memenuhi harapan dahaga masyarakat akan sosok-sosok keteladanan ? Menjadi pejuang tanpa kelemahan dan kekurangan, betapa beratnya. Menjadi pahlawan tanpa sedikitpun tercemar oleh cela yang dilakukan oleh dirinya, isteri, anak-anak dan keluarga besarnya, siapa sanggup menempuhnya ? Inilah episode kepedihan setiap pahlawan dan pejuang.
Saya berusaha memilih sesuatu yang masuk akal dan sesuai hati nurani. Saya bukan seorang pahlawan, bukan seorang super hero, bukan seorang super man, atau semacam itu. Saya hanyalah seorang anak bangsa yang memiliki teramat sangat banyak kekurangan, kelemahan, keterbatasan dan hal-hal tidak ideal. Dari sudut pandang apapun. Namun saya sangat meyakini bahwa kebaikan besar bermula dari kebaikan-kebaikan kecil. Saya sangat meyakini hal-hal luar biasa bisa bermula dari konsistensi melakukan hal-hal yang biasa.
Terserah orang menyebut apa terhadap hal yang saya lakukan. Saya berjalan pada sebuah keyakinan, pada sebuah arah tujuan. Saya berjalan pada sebuah bingkai cita-cita perubahan, namun saya hanyalah seorang manusia yang penuh keterbatasan. Isteri saya hanyalah seorang perempuan biasa, sangat biasa, yang memiliki sangat banyak kekurangan. Anak-anak saya hanyalah anak-anak yang terlahir dari sejarah pernikahan, dan mereka menjadi dirinya yang tidak bisa dibebani dengan harapan orang atas ayah mereka. Namun dengan segala titik kelemahan dan kekurangan kemanusiaan tersebut, saya selalu berusaha melakukan hal-hal baik yang mampu saya lakukan. Memproduksi kebajikan semaksimal kesanggupan yang ada pada saya.
Tidak bolehkah memiliki pilihan sederhana seperti ini ? Haruskah kita memilih menjadi pahlawan tanpa cela, atau sekalian memilih menjadi pecundang yang dicela serta dilaknat seluruh media ? Sedih sekali hidup kita, jika terbelenggu oleh “apa kata orang kepada kita”. Sedih sekali, jika hidup kita harus menyesuaikan dengan selera media. Sempit sekali dunia, jika kita harus menjadi sosok-sosok utopis yang diimpikan para pemuja epos kepahlawanan dunia. Hingga orang tidak berani berbuat dan berkata apa-apa, karena takut dilaknat media. Hingga orang takut melakukan upaya perbaikan semampu yang dia bisa, karena takut dicela massa.
Setiap hari berseliweran sms, mengkonfirmasi berita ini dan itu di media massa. Mencela, melaknat, mencaci maki, menghakimi semau sendiri, memastikan keburukan orang, mengimani berita media massa tentang perilaku seseorang. Sms berseliweran tanpa tuan, menghakimi tanpa persidangan, memutuskan tanpa penjelasan, memastikan tanpa pertanyaan, menuduh tanpa kelengkapan persyaratan, membunuh karakter tanpa alasan. Semua orang ketakutan, semua orang gelisah, tiarap, takut dirinya tengah dirilis media. Takut dirinya tengah dibicarakan koran. Takut dirinya menjadi berita utama di sms yang berseliweran setiap detik, setiap kesempatan.
Seakan dunia telah kiamat, saat seseorang pejuang dituduh melakukan kesalahan. Seakan kebaikan telah hilang, saat sosok pahlawan yang diidamkan teropinikan melakukan pelanggaran. Hancur sudah dunia kepahlawanan, habis sudah sejarah para pejuang, tamat sudah riwayat para pembela kebenaran. Hari ini juga semua jiwa telah binasa. Kita menjadi orang yang berlebih-lebihan melihat, menanggapi, mengomentari segala sesuatu. Baru running text, baru rilis koran, baru kilas berita televisi dan cybermedia. Tiba-tiba sms sudah menyebar kemana-mana. Tiba-tiba kepercayaan sudah sirna. Tiba-tiba kehangatan sudah tiada. Berpuluh tahun kita merajutnya. Hilang sesaat begitu saja ?
Inilah sisi kepedihan dalam setiap epos kepahlawanan dan kepejuangan. Setiap pahlawan, setiap pejuang selalu dihadapkan kepada kondisi-kondisi kemanusiaan yang sulit dimengerti para pemuja mereka. Media telah menghukum tanpa ampunan. Headline setiap hari. Heboh, bombastis, sinistis. Mematikan hati yang terlalu ciut menerima kritik dan lontaran tajam. Mematikan semangat yang terlampau dingin untuk melakukan berbagai kebajikan. Cita-cita dan tujuan seakan sudah terlupakan oleh opini koran dan berita harian.
Silakan tidur dan berhenti dari kebaikan, maka para setan akan pesta pora merayakan kemenangan. Silakan menyesal menempuh jalan panjang bernama kebajikan, tempuh jalan lain yang lebih menyenangkan pemberitaan. Hanya itukah tujuan kita ? Mendapat pujian, mendapat pengakuan, mendapat ucapan selamat dan penghargaan atas kesantunan, kesalehan, kebaikan, kejujuran, dan kebersihan  yang ditampilkan ? Tidak siap mendengar kritik tajam, caci maki, cemoohan masyarakat dan media massa ? Tidak kuat mendengar ledekan, tertawaan, gunjingan, dan kekesalan orang ?
Adakah anda rasakan kesedihan yang saya tuliskan ? Kesedihan di setiap epos kepahlawanan dan kepejuangan. Kesedihan yang tidak bisa dibagi dengan para pemuja pahlawan. Kesedihan yang harus dikunyah dan dinikmati sendiri oleh setiap orang yang berjuang dalam kebaikan. Jika anda merasakan, saya ajak anda menyublimkan kesedihan itu menjadi sebuah karya nyata, sekecil apapun yang kita bisa.
Menyublimkan kepedihan menjadi amal kebaikan berkelanjutan yang kita lakukan dalam setiap tarikan nafas. Jangan menguapkannya, karena jika diuapkan kesedihan hanya akan hilang namun tidak menghasilkan karya. Ya, anda harus menyublimkan kepedihan ini menjadi sesuatu yang sangat berarti. Menjadi sesuatu yang menyemangati diri. Menjadi sesuatu yang menasihati. Menjadi sesuatu yang bernilai abadi. Menjadi sesuatu yang bernama kontribusi.
Setiap cemoohan dan ejekan akan menambah kesedihan di hati para pejuang. Setiap ketidakberhasilan akan menggoreskan kegetiran pada dada setiap pejuang. Kesedihan itu harus disublimasi menjadi karya yang berarti. Setiap hari kita telah terbiasa menumpuk kelelahan, kesedihan, kegetiran, kepedihan, dari yang terkecil hingga yang paling dalam. Menyublimkan kegetiran akan mengubahnya menjadi kerja nyata bagi bangsa dan negara. Apa artinya dipuji-puji jika tidak memiliki kontribusi yang berkelanjutan ? Apa salahnya dicaci maki jika itu memacu kontribusi yang lebih berarti bagi perbaikan ?
Mari bekerja di ladang-ladang amal kita yang sangat luas tanpa batas. Silakan mencela bagi yang hobi mencela. Silakan melaknat bagi yang gemar melakukannya. Silakan berhenti dan menepi bagi yang sudah tidak memiliki kepercayaan lagi. Sekecil apapun langkah kebaikan kita lakukan, pasti tetap menjadi kontribusi yang berarti bagi negeri. Keyakinan ini tak bisa ditawar lagi. Tuhan telah mengumandangkan, hal jaza-ul ihsan illal ihsan. Apakah kita tetap juga tidak memahami ?
Kita serahkan semuanya kepada Tuhan Yang Maha Mengerti.
Cahyadi Takariawan ; Malili, Luwu Timur, Sulawesi Selatan 9 April 2011
<Terimakasih kepada ustadz Abdussalam yang telah meminjamkan laptop dan koneksi internetnya di Masamba, Luwu Utara, Sulawesi Selatan>

Bersabarlah Atas Beban Dakwah

oleh :

Sheikh Yusuf Qardawi
Menurut Al-Qur’an sabar yang keempat adalah sabar atas beban dakwah kepada Allah. Sebab para da’i menuntut menusia agar membebaskan diri dari hawa nafsu, lamunan-lamunan kosong, adat kebiasaan mereka, memberontak kepada syahwat, sembahan nenek moyang, tradisi kaum, da superioritas kelas atau keturunan, memberikan sebagian yang mereka miliki kepada saudaranya, dan mematuhi ketentuan-ketentuan Allah dalam bentuk perintah dan larangan, halal dan haram.
Sementara kebanyakan manusia menentang dakwah yang dibawakan oleh Rasulullah shallahu alaihi wa sallam, seperti menghadapi perlawanan yang menggunakan segala bentuk senjata, harta, kekuasaan, kekuatan, wibawa, pengaruh dan sebagainya.
Tidak ada jalan lain bagi para da’i kecuali harus berpegang teguh dengan keyakinan serta bersenjatakan kesabaran dalam menghadapi kekuatan dan kekuasaan tiran.
Sabar di sini seperti dikatakan Imam Ali ra, merupakan pedang yang tak pernah tumpul dan cahaya yang tak bisa redup. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan hadist shahih,
“Sabar adalah cahaya”.
Inilah rahasia dikaitkannya antara tawashibish-shabri dan tawashi bil haqqi dalam surat al-Ashr,
Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran”. (QS. Al-Ashr [103] : 1-3)
Sebab, kebenaran tidak dapat dipertahankan kecuali dengan sabar. Juga merupakan rahasia dikaitkannya kesabaran dengan amar ma’ruf dan nahi munkar di dalam wasiat Lukman Hakim kepada anaknya,
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا أَصَابَكَ ۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah manusia dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS. Lukman [31] : 17)
Seolah-olah dia berpesan, selama engkau menyeru kepada manusia kepada kebaikan, memerintah mereka melakukan yang ma’ruf dan mencegah mereka dari yang mungkar, maka persiapkanlah dirimu yang memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran.
Beban-beban dakwah kepada Allah wujudnya beraneka ragam, di antaranya yang disebutkan al-Qur’an sebagai berikut,
Pertama, dalam bentuk keberpalingan manusia dari juru dakwah. Sesuatu yang dirasa paling menyesakkan dada seorang juru dakwah ialah penolakan manusia terhadap dakwah yang telah diserukannya.
Hal ini dapat kita lihat dalam munajat Nabi Nu as kepada Allah, ketika mengadukan ikhwal kaumnya yang menolak dakwahnya.
قَالَ رَبِّ إِنِّي دَعَوْتُ قَوْمِي لَيْلًا وَنَهَارًا
فَلَمْ يَزِدْهُمْ دُعَائِي إِلَّا فِرَارًا
وَإِنِّي كُلَّمَا دَعَوْتُهُمْ لِتَغْفِرَ لَهُمْ جَعَلُوا أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ وَاسْتَغْشَوْا ثِيَابَهُمْ وَأَصَرُّوا وَاسْتَكْبَرُوا اسْتِكْبَارًا
“Berkata Nuh, Rabbi, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku siang dan malam, tetapi seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenarana). Dan sesungguhnya setiap aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (kemukanya) dan mereka tetap mengingkari dan menyombongkan diri dengan sangat” . (QS. Nuh [71] : 5-7)
Dalam dakwah Nabi Hud as ketika kaumnya berkata,
قَالُوا يَا هُودُ مَا جِئْتَنَا بِبَيِّنَةٍ وَمَا نَحْنُ بِتَارِكِي آلِهَتِنَا عَن قَوْلِكَ وَمَا نَحْنُ لَكَ بِمُؤْمِنِينَ
“Hai Hud, kamu tidak mendatangkan kepad kami suatu bukti yang nyata, dan kami sekali-kali akan meninggalkan sembahan kami karena perkataanmu, dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kami”. (QS. Hud [11] : 53)
Juga dapat kita lihat dalam dakwah Nabi Muhammad saw ketika Allah menjelaskan sikap kaumnya kepadanya,
حم
تَنزِيلٌ مِّنَ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
كِتَابٌ فُصِّلَتْ آيَاتُهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لِّقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
بَشِيرًا وَنَذِيرًا فَأَعْرَضَ أَكْثَرُهُمْ فَهُمْ لَا يَسْمَعُونَ
وَقَالُوا قُلُوبُنَا فِي أَكِنَّةٍ مِّمَّا تَدْعُونَا إِلَيْهِ وَفِي آذَانِنَا وَقْرٌ وَمِن بَيْنِنَا وَبَيْنِكَ حِجَابٌ فَاعْمَلْ إِنَّنَا عَامِلُونَ
“Haa Miim. Diturunkan dari Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui, sebagai berita gembira da peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling (darinya), maka mereka tidak mau mendengarkan. Mereka berkata : Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamuj seru kami kepadanya dan di telinga kami ada sumbatan dan diantara kami dan kamu ada dinding maka bekerjalah kamu, sesungguhnya kami bekerja pula”. (QS. Fushilat [41] : 1-5)
Oleh sebab itu, Allah bersifat kepada Rasul-Nya,
وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِاللَّهِ ۚ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِي ضَيْقٍ مِّمَّا يَمْكُرُونَ
Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaran itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janglanlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka”. (QS. An–Nahl [16] : 127)
Juru dakwah yang telah mencontohkan bentuk ini secara mengagumkan adalah Nuh as, ketika ia menghadapi keberpalingan dan rintangan yang tidak pernah lagi dihadapi oleh juru dakwah sesudahnya.
Dalam bentuk gangguan manusia dengan ucapan atau perbuatan. Tidak ada sesuatu yang paling menyedihkan sesorang da’i yang mukhlis, yang bersih dari hawa nafsu dan sangat mencintai kebaikan bagi manusia, daripada sikap manusia yang menyambut nasihatnya dengan tuduhan-tuduhan palsu, yang menolak seruannya ke jalan Allah dengan kekerasan, yang membalas kebaikannya dengan kejahatan, yang menuduh aktivitasnya yang konstruktif dengan merongrong keamanan negara.
Kadang-kadang persoalannya tidak h anya sampai di sini. Para thagut itu bahkan seringkali merampas hartanya, menyiksa tubuhnya, memasung kebebasannya, menodai kehormatannya, menghabisi nyawanya, ata mengusirnya dari negara kelahirannya.
Inilah yang pernah disumpahkan al-Qur’an tentang kepastian terjadinyanya terhadap da’I Allah. Ketika Kitabullah menjelaskan hal itu kepada kaum Mukminin agar mempersiapkan dirinya dengan senjat sabar,
لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيرًا ۚ وَإِن تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ذَٰلِكَ مِنْعَزْمِ الْأُمُورِ
“Kamu sungguh-sungguh akan diuji menyangkut hartamu dan dirimu, dan juga kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang di beri Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang hygn mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang m enyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertaqwa, maka sesungguhnya yang demikian itu urusan yang patu diutamakan”.(QS. Ali Imran [3] : 186)
Dari sini kemudian Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk bersabar atas gangguan kaumnya.
وَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا يَقُولُونَ وَاهْجُرْهُمْ هَجْرًا جَمِيلًا
“Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik”. (QS. Al-Muzammil [73] : 10)
Semua nabi telah mencontohkan secara baik bentuk sabar ini. Karena itu, Allah memberikan pujian dan kemuliaan bagi mereka yang bersabar di jalan dakwah dan jalan-Nya. Wallahu’alam