Selamat Datang di Web Jendela Keluarga Aris Nurkholis - Ratih Kusuma Wardani

Jendela Keluarga: Mewujudkan Keluarga Islami

Keluarga muslim adalah keluarga yang dibangun atas dasar nilai-nilai keislaman, Setiap anggota keluarga komintmen terhadap nilai-nilai keislaman. Sehingga keluarga menjadi tauladan dan lebih dari itu keluarga menjadi pusat dakwah Islam.

Merajut Keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah

Keluarga sakinah adalah keluarga yang semua anggota keluarganya merasakan cinta kasih, keamanan, ketentraman, perlindungan, bahagia, keberkahan, terhormat, dihargai, dipercaya dan dirahmati oleh Allah SWT.

Cinta Tanpa Syarat

Ketika suami dan isteri sudah menetapkan “cinta tanpa syarat” dan saling memahami, maka perbedaan dan pertengkaran tidak membesar menjadi konflik yang merusakkan kebahagiaan keluarga.

Cinta Tidak Harus Dengan Kata

Mencintai dengan sederhana, adalah mencintai “dengan kata yang tak sempat diucapkan” dan “dengan isyarat yang tak sempat disampaikan”.

Komunikasi dan Interaksi Penuh Cinta

Hal yang sangat vital perannya dalam menjaga keharmonisan rumah tangga adalah interaksi dan komunikasi yang sehat, komunikasi yang indah dan melegakan serta komunikasi penuh cinta antara seluruh anggotanya.

Showing posts with label pendidikan. Show all posts
Showing posts with label pendidikan. Show all posts

Tuesday, February 25, 2014

Untuk Kalian yang Mengharamkan Kata “JANGAN”, Adakah Engkau Telah Melupakan Kitabmu






Jendela Keluarga: “Al-Qur’an itu kuno,  Bu, konservatif, out of dated!. Kita telah lama hidup dalam nuansa humanis, tetapi Al-Qur’an masih menggunakan pemaksaan atas aturan tertentu yang diinginkan Tuhan dengan rupa perintah dan larangan di saat riset membuktikan kalau pemberian motivasi dan pilihan itu lebih baik. Al-Qur’an masih memakai ratusan kata ‘jangan’ di saat para psikolog dan pakar parenting telah lama meninggalkannya. Apakah Tuhan tidak paham kalau penggunaan negasi yang kasar itu dapat memicu agresifitas anak-anak, perasaan divonis, dan tertutupnya jalur dialog?“ Katanya sambil duduk di atas sofa dan kakinya diangkat ke atas meja.


Pernahkan Bapak dan Ibu sekalian membayangkan kalau pernyataan dan sikap itu terjadi pada anak kita, suatu saat nanti?

Itu mungkin saja terjadi jika kita terus menerus mendidiknya dengan pola didikan Barat yang tidak memberi batasan tegas soal aturan dan hukum. Mungkin saja anak kita menjadi demikian hanya gara-gara sejak dini ia tidak pernah dilarang atau mengenal negasi ‘jangan’.

Saat ini, sejak bergesernya teori psikoanalisa (Freud dan kawan-kawan) kemudian disusul behaviorisme (Pavlov dan kawan-kawan), isu humanism dalam mendidik anak terus disuarakan. Mereka membuang kata “Jangan” dalam proses mendidik anak-anak kita dengan alasan itu melukai rasa kemanusiaan, menjatuhkan harga diri anak pada posisi bersalah, dan menutup pintu dialog. Ini tidak menjadi masalah karena norma apapun menghargai nilai humanisme.

Tidak perlu ditutupi bahwa parenting telah menjadi barang dagangan yang laris dijual. Ada begitu banyak lembaga psikologi terapan, dari yang professional sampai yang amatiran dengan trainer yang baru lulus pelatihan kemarin sore. Promosi begitu gencar, rayuan begitu indah dan penampilan mereka begitu memukau. Mereka selalu menyarankan, salah satunya agar kita membuang kata “jangan” ketika berinteraksi dengan anak-anak. Para orang tua muda terkagum-kagum member applausa. Sebagian tampak berjilbab, bahkan jilbab besar. Sampai di sini [mungkin] juga sepertinya tidak ada yang salah.

Tetapi pertanyaan besar layak dilontarkan kepada para pendidik muslim, apalagi mereka yang terlibat dalam dakwah dan perjuangan syariat Islam. Pertanyaan itu adalah “Adakah Engkau telah melupakan Kitabmu yang di dalamnya berisi aturan-aturan tegas? Adakah engkau lupa bahwa lebih dari 500 kalimat dalam ayat Al-Qur’an menggunakan kata “jangan”?

Salah satu contoh terbaik adalah catatan Kitabullah tentang Luqman Al-Hakim, Surah Luqman ayat 12 sampai 19. Kisah ini dibuka dengan penekanan Allah bahwa Luqman itu orang yang Dia beri hikmah, orang arif yang secara tersirat kita diperintahkan untuk meneladaninya (“walaqod ataina luqmanal hikmah..” dst)

Apa bunyi ayat yang kemudian muncul? Ayat 13 lebih tegas menceritakan bahwa Luqman itu berkata kepada anaknya “Wahai anakku, JANGANLAH  engkau menyekutukan Allah. Sesungguhnya syirik itu termasuk dosa yang besar”.

Sampai pada ayat 19, ada 4 kata “laa” (jangan) yang dilontarkan oleh Luqman kepada  anaknya, yaitu “laa tusyrik billah”, “fa laa tuthi’humaa”, “Wa laa tusha’ir khaddaka linnaasi”, dan “wa laa tamsyi fil ardli maraha”

Luqman tidak perlu mengganti kata “jangan menyekutukan Allah” dengan (misalnya) “esakanlah Allah”. Pun demikian   dengan “Laa” yang lain, tidak diganti dengan kata-kata kebalikan yang bersifat anjuran.

Adakah pribadi psikolog atau pakar patenting pencetus aneka teori ‘modern’ yang melebihi kemuliaan dan senioritas Luqman?  Tidak ada. Luqman bukan nabi, tetapi namanya diabadikan oleh Allah dalam Kitab suci karena ketinggian ilmunya. Dan tidak satupun ada nama psikolog kita temukan dalam kitabullah itu.

Membuang kata “jangan” justru menjadikan anak hanya dimanja oleh pilihan yang serba benar. Ia tidak memukul teman bukan karena mengerti bahwa memukul itu terlarang, tetapi karena lebih memilih berdamai. Ia tidak sombong bukan karena kesombongan itu dosa, melainkan hanya karena menganggap rendah hati itu lebih aman baginya. Dan, kelak, ia tidak berzina bukan karena takut dosa, tetapi karena menganggap bahwa menahan nafsu itu pilihan yang dianjurkan orang tuanya.

Anak-anak hasil didikan tanpa “jangan” berisiko tidak punya “sense of syariah” dan keterikatan hukum. Mereka akan sangat tidak peduli melihat kemaksiyatan bertebaran karena dalam hatinya berkata “itu pilihan mereka, saya tidak demikian”. Mereka bungkam melihat penistaan agama karena otaknya berbunyi “mereka memang begitu, yang penting saya tidak melakukannya”.

Itulah sebenar-benar paham liberal, yang ‘humanis’, toleran, dan menghargai pilihan-pilihan.

Jadi, yakini dan praktikkanlah teori parenting Barat itu agar anak-anak kita tumbuh menjadi generasi liberal. Simpan saja Al-Qur’an di lemari paling dalam dan tunggulah suatu saat akan datang suatu pemandangan yang sama seperti kutipan kalimat di awal tulisan ini.

sumber: fimadani.com

Tuesday, February 18, 2014

Lomba Menulis Artikel Ilmiah 2014 - SPS UPI



Ketentuan Umum Lomba Menulis Artikel Ilmiah:

Peserta
  • Peserta yang berhak mengikuti lomba menulis artikel ilmiah adalah para akademisi termasuk guru, dosen, mahasiswa, pascasarjana, dan pemerhati pendidikan.

Artikel
  • Artikel yang ditulis bertemakan tentang pendidikan termasuk di dalamnya pembelajaran, pendidikan sekolah, pendidikan formal dan informal, pendidikan tinggi dan kejuruan, kebijakan pendidikan dan belajar sepanjang hayat baik teori maupun praktik.
  • Artikel dapat ditulis secara perorangan maupun kelompok.
  • Artikel merupakan pemikiran sendiri dan belum pernah dipublikasikan atau sedang dipertimbangkan untuk dipublikasikan di jurnal manapun.
  • Artikel dibuat dengan sistematika yang terdapat di ketentuan khusus.

Peserta yang akan mengikuti lomba menulis artikel cukup dengan mengirimkan artikel ke e-mail publikasi.pasca@gmail.com paling lambat 5 Mei 2014

Proses Perlombaan
Semua karya yang masuk akan dinilai secara bertahap.
Tahap pertama akan dinilai dari aspek kesesuaian dengan pedoman penulisan.
Tahap kedua akan dinilai secara konten dan isi artikel.

Artikel yang lolos tahap dua akan dimuat di jurnal yang akan diterbitkan oleh Pusat Pengembangan dan Publikasi Karya Ilmiah Sekolah Pascasarjana UPI dan memperoleh uang tunai sebesar Rp 500.000 (lima ratus ribu rupiah) dan satu eksemplar jurnal yang diterbitkan oleh pusat Pengembangan dan Publikasi Karya Ilmiah hardcopy.

Dari seluruh artikel akan dipilih 3 artikel pemenang. Pemenang akan diumumkan pada website Sekolah Pascasarjana UPI pada tanggal 1 Juli 2014 atau dihubungi oleh panitia melalui surat resmi atau via telpon ke masing-masing pemenang pada tanggal 2 Juli 2014.

Pemenang I, II, III akan memperoleh piagam penghargaan dan uang tunai sebagai berikut:
  1. Juara I: Rp 5.000.000,-
  2. Juara II: Rp 3.000.000,-
  3. Juara III: Rp 2.000.000,-
 (klik gambar untuk memperbesar poster)
Lomba Menulis



Ketentuan Penulisan artikel dapat diunduh di sini


Alamat:
Jalan Dr. Setiabudhi nomor 229 Bandung 40154
No. Telepon: 022 – 2001197, 2002320
No. Faksimili: 022 – 2005090
e-mail: pascasarjana@upi.edu

selengkapnya di: http://sps.upi.edu/

Monday, February 17, 2014

Lomba Menulis Artikel-3 Nasional tahun 2014 tentang ABK, PLK dan Pensif


Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar (Dit.PPK-LK Dikdas) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) untuk ketiga kalinya mengadakan"Lomba Menulis Artikel Nasional tahun 2014" tentang Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), Pendidikan Layanan Khusus (PLK) dan Pendidikan Inklusif (Pensif) yang ditujukan kepada wartawan (cetak/ online/ elektronik), pelajar/mahasiswa dan masyarakat umum.

KRITERIA PENILAIAN 
Karya jurnalistik akan dinilai berdasarkan kriteria: 
1. Muatan Inspirasi (Inspiratif)
2. Objektivitas dan keberimbangan 
3. Kedalaman dan kelengkapan 
4. Akurasi 
5. Cara penyampaian 

PETUNJUK TEKNIS, SYARAT dan KETENTUAN PENGIRIMAN:
Seluruh karya tulisan pelajar/mahasiswa, wartawan dan masyarakat umum berupa artikel/opini/feature maupun "berita-feature" (berita berkisah, dan bukan berita biasa) telah termuat di media cetak (koran/ tabloid/ majalah) di daerahnya masing-masing pada periode terbit/tayangan Januari 2013 hingga Juni 2014.
Karya penulisan bisa dikirim 1-15 (satu hingga lima belas) judul naskah. Namun juri hanya mengambil salah satu karya naskah terbaik dari masing-masing peserta lomba.
Karya tulis yang dimuat di media massa tersebut merupakan copy lengkap guntingan kliping, berikut copy nama media penerbit, halaman terbitan dan tanggal terbitan dengan rapi dan jelas terbaca, hal ini sebagai bukti karya penulisan peserta yang telah dimuat di media massa. 
Sedangkan peserta yang memiliki artikel/opini/feature yang belum pernah dimuat/ belum sempat dimuat di media lokal, bisa mengirimkan karyanya kepada panitia namun tetap orisinil dan bukan jiplakan tulisan milik orang lain. Hanya saja, bagi peserta yang naskahnya termuat di media cetak lokal atau nasional dengan mengirimkan bukti klipingan media tersebut maka akan memperoleh point plus 10 langsung oleh dewan juri. 
Setiap peserta wajib mengirim salinan karya penulisan tersebut berupa file teks microsoft word. Masing-masing karya penulisan mencantumkan pada bagian atas judul naskah, berupa: 
Ø  nama media massa yang menayangkan naskah tsb,
Ø  tanggal terbitan media cetak/ tayangan pada media online,
Ø  halaman yang memuat naskah tersebut,
Ø  nama penulis/peserta,
Ø  profesi kini,
Ø  nama institusi bekerja/ lembaga yang sedang beraktivitas,
Ø  email penulis/peserta,
Ø  nomer ponsel penulis/peserta,
Ø  nama bank, cabang, nomor rekening bank anda (kesalahan mencantumkan nomor rekening bank dan nama bank, merupakan tanggung jawab peserta itu sendiri)
Salinan naskah-naskah tersebut disimpan ke dalam CD, dan kirim ke panitia lomba bersama copy guntingan kliping(tidak perlu kliping asli) ke dalam amplop coklat (ukuran A4/ F4/ Folio). Sementara untuk naskah yang ditayangan di media online, maka naskahnya cukup di-print sesuai dengan halaman media online tersebut.
Di dalam amplop tersebut, peserta melampirkan pula 1 lembar pas foto ukuran 4x6 cm, 1 fotokopi/scan KTP/pelajar, dan/atau 1 fotokopi kartu pers.
    Karya jurnalistik dikirim cap pos atau mengirim langsung mulai 1-15 Juli 2014 dengan amplop coklat (ukuran A4/ F4/ Folio) yang mencantumkan pada bagian kiri  LOMBA TULIS PK-PLK 2014.
Alamat pengiriman (klik): 

HADIAH:
Ø  Juara I : Rp. 8.000.000 dan 1 buah laptop 
Ø  Juara II : Rp. 7.000.000 
Ø  Juara III : Rp. 5.000.000 
Ø  6 Tulisan Favorit masing-masing : Rp. 1.000.000
seluruh hadiah dipotong pajak 
Nama pemenang akan diumumkan pada website www.pk-plk.com, para pemenang juara pertama, kedua, dan ketiga akan diundang pada acara Gebyar Lomba PK-PLK Pendidikan Dasar untuk penyerahan hadiah pada pertengahan bulan November 2014. Hasil penulisan terbaik akan diarsipkan secara online; dibukukan; ataupun diterbitkan di media Dit.PPK-LK Dikdas Kemdikbud.
Sumber:

Wednesday, February 12, 2014

Mengapa Finlandia Memiliki Sistem Pendidikan Terbaik Di Dunia

Mengejutkan. Ternyata negara yang paling oke tata kelola pendidikannya bukanlah Amerika Serikat, Jepang atau Jerman. Akan tetapi, kiblat pendidikan dunia saat ini mengarah ke negara Finlandia.

Amerika Serikat sendiri berada jauh dibawah level Finlandia, tepatnya di urutan ke-17. Lalu, dimana daya tariknya sistem pendidikan di Finlandia dengan negara-negara lainnya khususnya Indonesia? Jawabannya adalah di kemandirian siswa dan gurunya.

Di Finlandia kemandirian dalam mengikuti proses belajar mengajar itu tidak hanya dinikmati oleh guru-gurunya yang begitu dihormati tetapi juga ditularkan kepada para pelajar melalui berbagai kesempatan-kesempatan penting.

Salah satunya dimana setiap pelajar diberi otonomi khusus untuk menentukan jadwal ujiannya untuk mata pelajaran yang menurutnya sudah dia kuasai.

Sistem inilah yang dipertahankan oleh Finlandia hingga akhirnya berhasil mengantarkan negara ini berada pada posisi puncak sebagai negara yang paling berhasil mengelola pendidikan nasionalnya.

Fantastiknya, dalam evaluasi belajar, angka ketidak lulusan secara nasional tidak pernah melebihi 2 persen pertahunnya. Finlandia juga tidak mengenal istilah ujian semester apalagi ujian nasional layaknya ditanah air.

Evaluasi belajar secara nasional dilakukan tanpa ada intervensi pemerintah sekali pun. Karena setiap sekolah bahkan guru berkuasa penuh untuk menyusun kurikulumnya sendiri.

Jadi jangan pernah berhayal bahwa guru-guru di Finlandia disibukkan untuk mengejar terget-target tertentu karena di negeri ini guru selalu menyesuaikan bahan ajarnya dengan kebutuhan setiap pelajar.

Jadi, di Finlandia siapa pun presidennya dan menteri pendidikannya tidak akan berpengaruh signifikan terhadap masa depan pendidikan. Karena fungsi pemerintah dalam memajukan sektor pendidikan adalah dukungan finansial dan legalitas.

Mau bagaimana caranya, maka gurulah yang berwewenang atas itu karena guru dipandang sebagai sosok yang paling mengerti mau dimana wajah pendidikan Finlandia dibawa dimasa yang akan datang.

Sistem ini telah berdampak positif kepada pola cara mengajar guru yang tidak terlalu dipusingkan oleh hiruk pikuknya politik nasional negaranya.

Keseriusan negara Finlandia menyokong keberhasilan pendidikan nasionalnya dibuktikan dengan diterapkannya kebijakan gratis sekolah 12 tahun. Kerenkan?

Guru-guru Finlandia adalah lulusan terbaik setiap perguruan tinggi dan mereka harus masuk dalam kelompok 10 besar lulusan terbaik. Jika tidak, jangan pernah bermimpi jadi guru di negeri ini.

Itulah sebabnya guru-guru di Finlandia betul-betul berdedikasi tinggi. Gajinya besar dong? Tidak. Guru-guru Finlandia justru digaji dengan gaji secukupnya bahkan bisa dikatakan kurang memadai.

Tetapi gurunya begitu menikmati profesinya hal ini karena mayoritas masyarakat Finlandia begitu menghormati dan menghargai profesi seorang guru.

Di Finlandia hanya ada guru-guru dengan kualitas terbaik dengan pelatihan terbaik pula. Profesi guru sendiri adalah profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah fantastis. Lulusan sekolah menengah terbaik biasanya justru mendaftar untuk dapat masuk di sekolah-sekolah pendidikan, dan hanya 1 dari 7 pelamar yang bisa diterima. Persaingannya lebih ketat daripada masuk ke fakultas hukum atau kedokteran!

Jika negara-negara lain percaya bahwa ujian dan evaluasi bagi siswa merupakan bagian yang sangat penting bagi kualitas pendidikan, Finlandia justru percaya bahwa ujian dan testing itulah yang menghancurkan tujuan belajar siswa. Terlalu banyak testing membuat kita cenderung mengajarkan kepada siswa untuk semata lolos dari ujian, ungkap seorang guru di Finlandia.



Pada usia 18 th siswa mengambil ujian untuk mengetahui kualifikasi mereka di perguruan tinggi dan dua pertiga lulusan melanjutkan ke perguruan tinggi.

Siswa diajar untuk mengevaluasi dirinya sendiri, bahkan sejak Pra-TK!
Ini membantu siswa belajar bertanggungjawab atas pekerjaan mereka sendiri, kata Sundstrom, kepala sekolah di SD Poikkilaakso, Finlandia.

Siswa didorong untuk bekerja secara independen dengan berusaha mencari sendiri informasi yang mereka butuhkan. Suasana sekolah sangat santai dan fleksibel. Adanya terlalu banyak komando hanya akan menghasilkan rasa tertekan, dan mengakibatkan suasana belajar menjadi tidak menyenangkan.

Kelompok siswa yang lambat mendapat dukungan intensif. Hal ini juga yang membuat Finlandia sukses.

Berdasarkan penemuan PISA, sekolah-sekolah di Finlandia sangat kecil perbedaan antara siswa yang berprestasi baik dan yang buruk dan merupakan yang terbaik menurut OECD. Remedial tidaklah dianggap sebagai tanda kegagalan tapi sebagai kesempatan untuk memperbaiki. Seorang guru yang bertugas menangani masalah belajar dan prilaku siswa membuat program individual bagi setiap siswa dengan penekanan tujuan-tujuan yang harus dicapai, umpamanya: Pertama, masuk kelas; kemudian datang tepat waktu; berikutnya, bawa buku, dlsb. Kalau mendapat PR siswa bahkan tidak perlu untuk menjawab dengan benar, yang penting mereka berusaha.

Para guru sangat menghindari kritik terhadap pekerjaan siswa mereka. Menurut mereka, jika kita mengatakan “Kamu salah” pada siswa, maka hal tersebut akan membuat siswa malu. Dan jika mereka malu maka ini akan menghambat mereka dalam belajar. Setiap siswa diperbolehkan melakukan kesalahan. Mereka hanya diminta membandingkan hasil mereka dengan nilai sebelumnya, dan tidak dengan siswa lainnya.

Setiap siswa diharapkan agar bangga terhadap dirinya masing-masing. Ranking hanya membuat guru memfokuskan diri pada segelintir siswa tertentu yang dianggap terbaik di kelasnya.

Ditanah air Indonesia, sebenarnya sistem pendidikan Finlandia telah terterapkan sejak tahun 1961 melalui wadah gerakan pramuka. Apa yang berlaku di Finlandia jelas-jelas merupakan sistem pendidikan yang berlalu di gerakan pramuka.

Dimana setiap kecakapan dan keterampilan dibidang tertentu yang dimiliki oleh setiap anggota pramuka, bila sudah merasa mampu bisa mengusulkan diri untuk di uji.

Disamping itu, setiap 32 orang anggota pramuka dibina oleh 3 orang pembina secara terus menerus. Akan tetapi sistem pendidikan kepanduan ditanah air ini tidak mendapat respon yang positif ditanah air.

Buktinya kendati berhasil melahirkan kader-kader bangsa yang mandiri, negara ternyata tidak berani mengalokasikan dana BOS yang ada pada setiap sekolah untuk sepersekian persen wajib dipergunakan untuk mengelola gerakan pramuka di gugus depan.

Pendidikan nasional kita yang masih sarat dengan kepentingan politik kepala daerah menjadikan potret pendidikan begitu semraut. Pelaksanaan UN yang jelas lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya selalu dipertahankan untuk alasan yang tidak jelas.

Bahkan ironisnya lagi, UN telah mengajarkan bangsa ini bagaimana berlaku curang dan menipu. Gilanya lagi peserta UN dikawal dan diamati setiap detik melalui layar CCTV.

Seperti teroriskan. Cara-cara gila ini begitu dibangga-banggakan oleh pemerintah bahkan institusi pendidikan sendiri. Padahal metode ini punya dampak physicologi bagi para pelajar dimana UN benar-benar menjadi beban berat.

Jadi jangan heran bila di Nias pada hari pertama UN ada siswa yang meninggal dunia begitu menerima lembar soal ujian.

Finlandia tidak pernah membebani muridnya untuk hal-hal yang kurang bermutu atau mengurangi ke-kreativitasan seorang anak setelah meninggalkan rumah sekolah.

Maka, tugas tugas (PR), les tambahan dan bimbingan ini dan itu nyaris tidak pernah ada di Finlandia. Bagaimana dengan tanah air? Tekanan yang begitu berat sangat terasa apalagi menjelang ujian nasional.

Setiap murid selalu diberi les tambahan yang berlebihan, pelajar di wajibkan mengikuti Tryout hampir tiap bulan dengan alasan untuk mengukur kemampuan siswa.

Dirumah disuguhi lagi dengan tugas-tugas berat bahkan ada lagi menu les tambahan yang ditawarkan padahal nuansa bisnisnya lebih terasa daripada urgensinya bagi peserta didik. Repot bukan?

Alhasil, pelajar tanah air lahir dan besar tanpa pernah mempergunakan otaknya untuk berkreativitas. Generasi muda pun besar penuh dengan tekanan. Jadi jangan heran, walaupun lulus UN 100 persen ternyata persentasi lulus SMPTN berbanding terbalik dengan kelulusan UN.

Inilah setidaknya potret pendidikan kita dewasa ini. Indonesia jatuh kepada tingkat kekhawatiran yang terlalu berlebihan. Alih-alih untuk mencerdaskan bangsa tetapi cara-cara yang dilakukan justru mengantarkan bangsa ini kelembah kehancuran.

Oleh karena itu kita perlu berbenah. Mengembalikan sistem pendidikan kezaman dahulu kala (seperti cerita orangtua kita) dimana setiap anak dan orangtua begitu menghormati guru perlu kita lakukan.

Guru harus diberi otoritas penuh untuk mengatur kurikulumnya sendiri. Setiap anak juga tidak dibebani dengan tugas ini dan itu. Bahkan birokrasi pendidikan kita yang berbelit-belit perlahan-lahan harus dikurangi.

Wajib belajar 12 tahun mutlak harus dilakukan tentunya dengan biaya gratis. Tidak hanya itu wajar 12 tahun itu harus dengan satu izajah saja yaitu izajah SMA.

Sedangkan untuk SD dan SMP tidak lagi mengeluarkan izajah mengingat tuntutan dunia kerja saat ini pun izajah dua jenjang pendidikan ini tidak begitu diperlukan.

Oleh karena itu, perpindahan dari tingkat SD ke SMP cukuplah dengan nilai rapor begitu juga dari SMP ke SMA.

Maka evaluasi belajar secara nasional hanya dilakukan dijenjang SMA ketika yang bersangkutan akan melanjut keperguruan tinggi atau merambah dunia kerja.

Menggratiskan pendidikan dinegara ini bukanlah hal yang mustahil. Bukankah 40 persen APBN kita mark-up dan 30 persennya dikorupsi.

Jadi andai pengelolaan keuangan negara kita ditata dengan baik maka tidak mustahil dimasa-masa yang akan datang biaya pendidikan kita yang saat ini ditampung 20 persen dalam APBN kedepannya akan meningkat menjadi 50 persen.

Bila sudah demikian, bukankah pendidikan kita sudah bisa digratiskan.

Beberapa hal yang mungkin bisa ditiru, dari sistem pendidikan yang ada di Finladia, diantaranya :



1. Anak Finlandia tidak memulai sekolah sampai usia mereka 7 Thn. ( Bandingkan dengan para orangtua di Indonesia justru bangga anaknya sekolah pada usia dibawah usia 7 tahun. bahkan dengan beben pembelajaran yang berat.)

2. Tidak di bebani Ujian dan PR, sampai menjelang usia mereka remaja.

3. Anak-anak tidak diukur sama sekali selama enam tahun pertama pendidikan mereka. ( Pada sistem pendidikan kita , Murid SD sampai stress karena sering ditakuti Pihak sekolah, dengan seabreg Ujian, Padahal terkadang anak sering tidak diajar ).
The children are not measured at all for the first six years of their education.

4. Hanya ada satu tes standar wajib di Finlandia, yang diambil ketika anak-anak berusia 16 Tahun. ( Bandingkan dengan sistem ujian ujian di SMP dan SMA, Ditambah UN, bukan saja membuat Lembaga pendidikan tidak jujur, Anak hanya dihargai Otaknya saja, Minus bakat dan Minat,)

5. Tidak ada Kelas Unggulan,semua kemampuan berada pada kelas yang sama. Dan terbukti akhirnya RSBI /RSI di indonesia oleh MK dicabut keberadaanya, karena akan tercipta kasta kasta baru dalam dunia pendidikan.



6.Finlandia menghabiskan sekitar 30 persen lebih untuk biaya pendidikan per siswa mengungguli Amerika Serikat.
7. 30 persen anak-anak menerima bantuan tambahan selama sembilan tahun pertama mereka sekolah.

8. 66 persen siswa masuk ke perguruan tinggi.Dan tertinggi di erofa

9. Nyaris semua siswa memilki kemampuan akademis yang merata

10. Kelas sains maksimal 16 siswa sehingga mereka dapat melakukan eksperimen praktis dalam setiap kelas.
.Science classes are capped at 16 students so that they may perform practical experiments in every class.



11. 93 persen masyarakat Finlandia lulus dari SMA.bahkan17,5 peresen lebih tinggi dari AS .
12. 43 persen dari Finlandia siswa sekolah menengah pergi ke sekolah kejuruan.

13.Siswa SD mendapatkan 75 menit dari istirahat sehari di Finlandia dibandingkan rata-rata 27 menit di Amerika Serikat.
43 percent of Finnish high-school students go to vocational schools.

14. Guru hanya menghabiskan 4 jam sehari di dalam kelas, dan mengambil 2 jam seminggu untuk “pengembangan profesional.”
Teachers only spend 4 hours a day in the classroom, and take 2 hours a week for “professional development.”

15. Finlandia memiliki jumlah guru sebanyak di New York City, namun siswa jauh lebih sedikit. Dengan perbandingan 600.000 siswa di finlandia dengan 1,1 juta di NYC.

Sunday, February 9, 2014

Manfaat Pembelajaran Tematik Terpadu

Jendela Keluarga: Pada pembelajaran di SD/MI dan sederajat, Kurikulum 2013 menyarankan keutamaan penggunaan model pembelajaran dengan pendekatan tematik terpadu (PTP) atau pembelajaran tematik integratif. Mengapa demikian? Tentunya ada banyak manfaat yang dapat diraih oleh pembelajaran yang mengimplementasikan model pembelajaran ini. Berikut beberapa di antaranya:

  • Melalui penerapan model pembelajaran tematik terpadu (PTP) maka akan tercipta suasana kelas yang nyaman dan menyenangkan.

Suasana kelas memungkinkan semua orang yang ada di dalamnya (utamanya siswa dan guru) akan mempunyai perasaan bersedia menanggung resiko bersama-sama. Contohnya saja, semua orang yang ada di dalam kelas akan berusaha menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang bahkan berupa pertanyaan yang tidak semestinya atau tidak benar tanpa harus menyinggung perasaan sang penanya. Prosedur-prosedur kerja keseharian, memastikan bahwa semua jadwal dapat diprediksi, dan terdapat jaminan bahwa siswa akan merasa aman saat berada di kelas maupun  di luar kelas.  Keterampilan hidup yang dipelajari dapat dikenali, didiskusikan dan dipraktikkan oleh siswa dengan interaksi yang tepat dan dengan perasaan senang di dalam komunitasnya di ruang kelas.
  • Penerapan Pembelajaran Tematik Teerpadu (PTP) mendorong siswa untuk belajar memecahkan masalah sosial dan saling menghargai

Di dalam kehidupan mereka nanti pada saat bermasyarakat di usia dewasanya, siswa-siswa kelas rendah sangat perlu untuk menguasai berbagai keterampilan sosial. Mereka harus mampu dan mempuanyai keterampilan bekerjasama di dalam kelompoknya, melakukan kolaborasi dengan berbagai rekan kerja atau siapa saja, belajar berada di dalam kelompok, dan kemampuan memecahkan konflik di antara anggota kelompok yang selanjutnya akan mendodong mereka untuk dapat memecahkan masalah sosial di sekitarnya dengan tetap saling menghargai.
  • Lingkungan belajar yang ramah pada pendekatan pembelajaran terpadu tematik memberikan peluang sebesar-besarnya bagi siswa untuk belajar dengan lebih baik

Di dalam pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran tematik terpadu, guru harus dapat menggunakan seoptimal mungkin semua lingkungan belajar yang ada di sekitar. Optimalisasi lingkungan belajar akan menciptakan kelas menjadi tempat yang ramah otak untuk pembelajaran. Dengan cara ini, maka guru telah memberikan peluang yang sebesar-besarnya bagi semua siswa untuk mengeksplorasi materi ajar secara luas dan mendalam, kemudian melibatkan mereka secara langsung dalam aktivitas belajar-mengajar.
  • Kecepatan proses pengolahan informasioleh siswa melalui pembelajaran tematik terpadu

Siswa, melalui pendekatan pembelajaran tematik terpadu akan membuat mereka secara cepat dan tepat waktu mampu memproses informasi yang disediakan. Proses pengolahan informasi oleh siswa ini tentu tidak hanya dalam hal kuantitas, tetapi yang penting juga adalah kualitasnya. Melalui pendekatan tematik terpadu dapat membantu siswa dalam mengeksplorasi konsep-konsep baru dan membantu mereka agar siap mengembangkan pengetahuannya.
  • Aplikasi materi pembelajaran langsung dalam konteks kehidupan sehari-hari (real life situation)

Beberapa waktu yang lalu santer dibicarakan tentang pembelajaran di kelas yang harus berangkat dari masalah nyata dari kehidupan sehari-hari siswa (real life situation) atau kontekstual. Pembelajaran tematik terpadu adalah pembelajaran yang sangat bersesuaian dengan prinsip kontekstualitas pembelajaran di kelas ini. Pada model pembelajaran tematik terpadu, materi pembelajaran yang disampaikan oleh guru seharusnya akan dapat diaplikasikan langsung oleh siswa dalam konteks kehidupannya sehari-hari.
  • Model pembelajaran tematik terpadu menganut prinsip mastery learning (belajar tuntas)

Di kelas siapapun guru pasti maklum betul bahwa kecepatan belajar siswa sangatlah variatif dan beragam. Hal ini harus diakomodasi oleh guru sehingga semua siswanya memperoleh kesempatan untuk menguasai materi ajar. Dalam model pembelajaran tematik terpadu, siswa-siswa yang relatif mengalami keterlambatan dalam menyelesaikan program belajar dimungkinkan untuk mengejar ketertinggalanya dengan dibantu oleh guru melalui pemberian bimbingan khusus dan penerapan prinsip belajar tuntas. Selanjutnya, dengan program pembelajaran yang bersifat ramah otak memungkinkan guru untuk mewujudkan ketuntasan belajar dengan menerapkan variasi cara penilaian.

Friday, February 7, 2014

Model Pembelajaran Tematik Terpadu

Jendela Keluarga: Kurikulum 2013 telah mulai diimplementasikan di beberapa sekolah sasaran atau sekolah-sekolah yang menyatakan kesiapan untuk melaksanakannya atas komitmen sendiri. Di jenjang Sekolah Dasar (SD/MI), proses pembelajaran menggunakan pendekatan tematik. 

Apakah Model Pembelajaran Tematik Terpadu (PTP) itu?

Model pembelajaran tematik terpadu (PTP) yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai integrated thematic instruction (ITI) dikembangkan mula-mula di awal tahun 1970-an.  Akhir-akhir ini Pembelajaran Tematik Terpadu (PTP) dianggap sebagai salah satu model pembelajaran yang efektif (highly effective teaching model). Keefektifan model pembelajaran tematik terpadu dapat dilihat dari kemampuannya dalam mewadahi serta menyentuh secara terpadu ranah-ranah emosi (emotional), fisik (physical), dan akademik (academic) di dalam kelas atau di lingkungan sekolah. 

Secara empirik, Model PTP ini juga telah dibuktikan mampu dan sukses untuk memicu akselerasi dan menaikkan kapasitas daya ingat (memori) peserta didik (enhance learning and increase long-term memory capabilities of learners) untuk jangka waktu yang lebih panjang.

Pembelajaran Tematik Terpadu (PTP) dan Pembelajaran Tematik Terintegrasi

Model pembelajaran tematik terpadu yang sangat disarankan penggunaannya di sekolah dasar atau sederajat ini juga dikenal dengan nama pembelajaran tematik terintegrasi (integrated thematic instruction, ITI). Pada mulanya model pembelajaran tematik terintegrasi dikonseptualisasikan pada tahun 1970-an.  Pendekatan pembelajaran tematik integratif ini sebelumnya telah dikembangkan khusus untuk anak-anak berbakat dan bertalenta (gifted and talented), anak-anak yang cerdas, program perluasan belajar, dan peserta didik yang belajar cepat.

Premis utama PTP (Model Pembelajaran Tematik Terpadu) adalah bahwa siswa membutuhkan kesempatan-kesempatan tambahan (additional opportunities) agar dapat memanfaatkan bakat dan talentanya, menyediakan waktu bersama yang lain untuk secara cepat mengkonseptualisasi dan mensintesis.  Di lain pihak, model PTP cocok untuk mengakomodasi perbedaan-perbedaan kualitatif terkait lingkungan belajar yang ada di sekitar siswa.  Model PTP bila diimplementasikan pada siswa sekolah dasar (SD/MI) maka diharapkan akan dapat memberikan inspirasi kepada peserta didik dalam memperoleh pengalaman belajar.

Secara kualitatif terdapat perbedaan antara model pembelajaran tematik terpadu bila dibandingkan dengan model pembelajaran lainnya, yaitu dalam hal sifatnya yang akan memandu siswa agar dapat mencapai kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher levels of thinking) atau keterampilan berpikir dengan mengoptimasi kecerdasan ganda (multiple thinking skills), sebuah proses inovatif bagi pengembangnan dimensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan.

Elemen-elemen Terkait dalam PTP (Model Pembelajaran Tematik Terpadu)

Implemementasi model pembelajaran ini (PTP) akan menuntut kemampuan guru untuk dapat mentransformasikan materi pembelajaran di kelas. Setiap guru yang menerapkan model pembelajaran ini harus terlebih dahulu memahami materi apa yang diajarkan dan bagaimana mengaplikasikannya dalam lingkungan belajar di kelas saat bersama siswa. Dengan demikian diharapkan Model PTP ini akan bersifat ramah otak (mudah memberikan pemahaman kepada siswa), di mana untuk itu guru harus mampu mengidentifikasi elemen-elemen lingkungan yang mungkin relevan dan dapat dioptimasi ketika berinteraksi dengan peserta didik selama proses pembelajaran.

10 Elemen yang Harus Dilakukan Guru dalam Implementasi Model Pembelajaran Tematik Terpadu pada Kurikulum 2013

Ada sepuluh elemen yang terkait dengan hal ini dan perlu ditingkatkan oleh guru agar pembelajaran yang dilakukannya di kelas dapat sukses dan maksimal memanfaatkan potensi-potensi yang ada, yaitu:
  1. Guru harus mereduksi tingkat kealpaan atau bernilai tambah berpikir reflektif.
  2. Guru semestinya memperkaya sensori pengalaman di bidang sikap, keterampilan, dan pengetahuan melalui berbagai aktivitas di kelasnya.
  3. Penyajian isi atau substansi pembelajaran oleh guru haruslah dalam bentuk yang bermakna bagi siswa.
  4. Lingkungan pembelajaran dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk memperkaya pembelajaran yang dilaksanakan.
  5. Guru senantiasa bergerak untuk memacu terjadi proses pembelajaran yang efektif (Movement to Enhance Learning).
  6. Guru harus membuka pilihan-pilihan pembelajaran yang mungkin bagi seluruh siswa di kelasnya.
  7. Karena sumberdaya waktu adalah hal yang sangat terbatas di dalam kelas, maka optimasi waktu secara tepat sangat diperlukan.
  8. Guru harus melakukan kolaborasi dengan semua pihak yang mungkin untuk menjadikan pembelajaran yang lebih efektif.
  9. Adalah hal yang harus dilakukan guru pada saat pembelajaran berlangsung, di mana setiap hal diberikan umpan balik yang segera.
  10. Ketuntasan atau aplikasi menjadi aspek penting dalam pembelajaran tematik terpadu.

Thursday, January 23, 2014

[Video] : Pembelajaran IPA Kelas 4 SD Juara Yogyakarta

 

Jendela Keluarga: Video ini di buat dari pengalaman pembelajaran kelas 4 SD Juara Yogyakarta untuk mata pelajaran IPA. Video ini berisi kumpulan photo-photo dokumentasi selama pembembelajaran IPA di kelas 4 untuk semester ganjil. Semoga video ini menjadi Inspirasi dalam pembelajaran di kelas.



Sunday, January 5, 2014

Penilaian Portofolio Dalam Pembelajaran Matematika Berbasis Kontekstual



PENILAIAN PORTOFOLIO DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS KONTEKSTUAL PADA SISWA KELAS 1 SD JUARA YOGYAKARTA TAHUN AJARAN 2011/2012

Aris Nurkholis1

1 Guru Matematika, SD Juara Yogyakarta

 


ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah : 1) Untuk meningkatkan prestasi belajar matematika siswa pada pokok bahasan bangun datar sederhana melalui penerapan penilaian portofolio dalam pembelajaran matematika berbasis kontekstual. 2) Mendeskripsikan respon siswa terhadap metode pembelajaran yang diimplentasikan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode tindakan kelas yang bersifat mendiskripsikan data dan menginterpretasikan data. Sampel penelitian adalah siswa kelas 1 SD Juara Yogyakarta pada tahun ajaran 2011/2012. Sampel diambil dengan teknik purposive sampling. Data dikumpulkan dengan pedoman observasi, tes dan pedoman wawancara, dan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan 1) Penerapan penilaian portofolio dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Terjadi peningkatan perolehan hasil belajar siswa sebesar 5,7% pada kompetensi kognitif siswa (dari skor rata-rata sebesar 72,6 dengan kualifikasi baik pada siklus I menjadi sebesar 76,8 dengan kualifikasi baik pada siklus II), sebesar 16,42% pada kompetensi afektif siswa (dari skor rata-rata sebesar 69,4 dengan kualifikasi cukup baik pada siklus I menjadi sebesar 80,8 dengan kualifikasi baik pada siklus II), 2) Respon siswa terhadap penerapan penilaian portofolio dalam pembelajaran matematika berbasis kontekstual adalah sangat positif.

Kata kunci: penilaian portofolio, kontekstual, prestasi belajar.

Pendahuluan
Pendidikan merupakan suatu unsur yang sangat penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia seutuhnya. Hal tersebut merupakan tujuan pendidikan yang menjadi tanggung jawab profesional setiap guru. Sebagaimana tujuan pendidikan yang tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia  No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3, yaitu pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Tujuan pendidikan yang diharapkan tersebut bukanlah suatu proses yang mudah dan cepat tetapi diperlukan sarana yang tepat serta waktu yang cukup panjang. Tujuan pendidikan tersebut akan sulit tercapai apabila orientasi pendidikan  memiliki kecenderungan memperlakukan siswa sebagai obyek pembelajaran, guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktrinator, materi bersifat subject-oriented, dan manajemen bersifat sentralistis. Pendidikan yang demikian menyebabkan praktik pendidikan mengisolir diri dari kehidupan riil yang ada di luar sekolah, kurang relevan antara apa yang diajarkan dengan kehidupan sehari-hari, terlalu terkonsentrasi pada pengembangan intelektual yang tidak berjalan dengan pengembangan individu sebagai satu kesatuan yang utuh dan berkepribadian (Sutarto Hadi, 2003:1). Dilihat dari kegiatan siswa selama berlangsungnya pembelajaran, Stahl cit. Supinah (2008:1) mengungkapkan bahwa pada pembelajaran konvensional atau tradisional siswa cenderung bekerja untuk dirinya sendiri, mata ke papan tulis dan penuh perhatian, mendengarkan guru dengan seksama, dan belajar hanya dari guru atau bahan ajar, sehingga siswa pasif. Hal ini mengidentifikasikan bahwa dalam pembelajaran di sekolah guru masih menggunakan cara-cara tradisional atau konvensional.
Berdasarkan hasil observasi awal yang telah dilakukan selama 6 bulan (bulan Juli sampai Desember 2011) pada saat pembelajaran matematika di SD Juara Yogyakarta, ditemukan bahwa siswa kelas 1 memiliki karakter gaya belajar kinestetik. Hal ini terlihat anak-anak lebih suka atau senang belajar ketika guru mengajarkan matematika dengan banyak melakukan aktifitas/kegiatan. Sedangkan ketika guru mengajarkan matematika dengan hanya menerangkan di depan kelas, terlihat siswa tidak memperhatikan guru dalam menjelaskan materi namun siswa lebih cenderung untuk melakukan aktifitas lain, jalan-jalan, bermain dengan teman-temannya bahkan hingga sampai siswa keluar-masuk kelas. Dampak implementasi pembelajaran yang bernuansa konvesional tersebut dapat dilihat dari hasil belajar siswa pada pelajaran matematika yang masih sangat rendah, di mana ketuntasan klasikal yang dicapai oleh siswa kelas I pada semester 1 tahun ajaran 2011/2012 kurang dari 80% dengan nilai rata-rata kelas sebesar 6,50. Agar proses belajar siswa tidak hanya berorientasi pada pengembangan aspek kognitif saja tetapi juga berorientasi pada aspek afektif dan psikomotor maka perlu kiranya dikembangkan suatu penilaian yang mengarah pada pencapaian tujuan tersebut.
Hasil observasi menunjukan bahwa siswa-siswa kelas 1 SD Juara Yogyakarta memiliki gaya belajar kinestetik. Siswa masih menganggap bawa belajar hanya bermain, bernyanyi, menggambar, dan mewarnai. Hal ini seperti apa yang dilakukan ketika masih berada di bangku Playgroup atau TK 1, TK 2. Sehingga siswa belum bisa belajar fokus dan konsentrasi didalam ruang kelas. Siswa lebih senang belajar dengan banyak melakukan aktifitas /kegiatan atau banyak banyak melibatkan aktifitas gerak tubuh. Disisi lain guru matematika masih menerapkan penilaian konvensional yang mana hasil belajar siswa dinilai berdasarkan kemampuan siswa pada penguasaan bahan yang diujikan dalam bentuk tes dan tanpa memberikan umpan balik dari hasil tes tersebut. Guru cenderung hanya memperhatikan penilaian yang berorientasi pada penguasaan materi secara kognitif saja dan kurang memperhatikan aspek afektif dan psikomotor.
Berdasarkan semua permasalahan yang terungkap tersebut maka perlu diupayakan pengimplentasian suatu perspektif penilaian baru yaitu penilaian portofolio yang diterapkan dalam pembelajaran matematika sebagai upaya meningkatan kompetensi dasar siswa. Dalam KTSP, penilaian portofolio menjadi salah satu kewajiban untuk dilakukan guru di kelas. Portofolio merupakan catatan atau kumpulan hasil karya siswa yang didokumentasi secara baik dan teratur. Portofolio dapat berbentuk tugas-tugas yang dikerjakan siswa, jawaban siswa atas pertanyaan guru, catatan hasil observasi guru, catatan hasil wawancara guru dengan siswa, laporan kegiatan siswa, dan karangan yang dibuat siswa (Rusoni, 2001). Menurut Surapranata dan Hatta (2004), portofolio diartikan sebagai kumpulan karya atau dokumen siswa yang tersusun secara sistematis dan terorganisasi yang diambil selama proses pembelajaran, digunakan oleh guru dan siswa untuk menilai dan memantau perkembangan pengetahuan, keterampilan, dan sikap siswa dalam mata pelajaran tertentu. Sedangkan menurut Suherman (2007) mendefinisikan portofolio sebagai kumpulan bukti fisik kinerja (individu atau kelompok) sebagai data otentik dari aktivitas yang dilakukan. Lee (2005) menjelaskan bahwa portofolio adalah kompilasi bukti menunjukkan kemajuan akademik, prestasi, ketrampilan, dan sikap. Ditambahkan bahwa bukti pada portofolio dikoleksi pada periode tertentu.
Pranata (2004) menyatakan bahwa penilaian portofolio mampu menghargai siswa sebagai individu yang dinamis, aktif mengkonstruksi pengetahuan sesuai dengan pengalamannya yang spesifik. Di samping itu, penilaian portofolio memandang bahwa penilaian merupakan bagian utuh dari belajar, sehingga pembelajaran dilaksanakan dengan cara memberikan tugas-tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermakna serta menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks nyata. Penilaian portofolio dapat memperlihatkan kemampuan siswa dalam memanfaatkan berbagai sumber belajar serta mengkreasikan pengertian mereka sendiri tentang sesuatu tema. Selain itu penilaian portofolio juga dapat membantu siswa dalam merefleksi diri, mengevaluasi diri, dan menentukan tujuanbelajarnya. Dengan demikian penilaian portofolio dapat menilai belajar siswa secara menyeluruh baik aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor.
Banyak penelitian tentang portofolio memberikan bukti-bukti yang meyakinkan mengenai keefektifan dan keotentikan implementasi portofolio dalam pengajaran matematika pada tahun-tahun pertama. Rivard (dalam Santyasa, 2003) menyatakan bahwa penulisan tugas-tugas seperti membuat ringkasan, merumuskan penjelasan, dan menganalisis fenomena matematika dapat meningkatkan belajar siswa. Di samping itu, dia juga menyatakan bahwa dari 88% siswa yang ditugasi membuat rumusan penjelasan fenomena alam sehari-hari dalam suatu laporan tertulis dapat meningkatkan belajar matematika. Para siswa yang terklasifikasi pada tingkatan rata-rata dan di bawah rata-rata kelas menyatakan bahwa dengan menulis membuat mereka berpikir tentang apa yang mereka pelajari, ketimbang hanya menghafalkan materi untuk sebuah ujian. Para siswa yang menggunakan bahasa sehari-hari untuk menjelaskan konsep-konsep ilmiah pada suatu topik tertentu dapat meningkatkan minat mereka terhadap topik tersebut. Menggunakan portofolio juga dapat memperbaiki sikap para siswa dalam belajar matematika.
Salah satu model pembelajaran yang cocok untuk menerapkan penilaian portofolio adalah model pembelajaran kontekstual. Model pembelajaran ini memberikan peluang yang sama dengan penilaian portofolio yaitu pembelajaran yang berorientasi pada aktivitas kelas yang berpusat pada siswa dan memungkinkan siswa belajar memanfaatkan berbagai sumber belajar yang tidak hanya menjadikan guru sebagai satu-satunya sumber belajar. Dalam model pembelajaran kontekstual guru adalah fasilitator pembelajaran dan manajer lingkungan belajar. Jadi Pengajaran dan Pembelajaran Kontekstual merupakan suatu konsepsi yang membantu guru mengaitkan isi materi pelajaran dengan keadaan dunia nyata. Selain itu juga memotivasi siswa untuk menghubungkan pengetahuan pengetahuan yang diperoleh dan penerapannya dalam kehidupan siswa sebagai anggota keluarga, sebagai warga masyarakat dan sebagai tenaga kerja nantinya (US Department of Education and the National School-to-Work Office, 2001).
Saat ini banyak sekolah di Amerika Serikat yang mengadopsi prinsip-prinsip CTL. Sebenarnya konsep pembelajaran kontekstual bukan konsep baru. Konsep ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 1916 oleh John Dewey, yang mengetengahkan kurikulum dan metodologi pengajaran sangat erat hubungannya dengan minat dan pengalaman siswa. Proses belajar akan sangat efektif bila pengetahuan baru diberikan berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang sudah dimiliki siswa sebelumnya dan ada hubungan yang erat dengan pengalaman sesungguhnya (pengalam nyata). Selanjutnya diikuti oleh Katz (1981) dan Howey & Zipher (1989). Ketiga pakar terakhir ini menyatakan bahwa program pembelajaran bukanlah sekedar deretan satuan pelajaran. Agar pembelajaran menjadi efektif, guru harus menjelaskan dan mempunyai pandangan yang sama tentang beberapa konsep dasar seperti peran guru, hakikat pengajaran dan pembelajaran, serta misi sekolah dalam masyarakat. Apabila guru menyepakati bahwa ketiga konsep tersebut bermuara pada Contextual Teaching and Learning, barulah Contextual Teaching and Learning akan berhasil baik. Keberhasilan implementasi model kontekstual telah banyak ditemukan. Wasis (2006) dalam penelitiannya menemukan bahwa dengan menerapkan pembelajaran kontekstual, pembelajaran menjadi berpusat kepada siswa. Sebagian besar waktu pembela­jaran digunakan oleh siswa untuk membangun pengetahuannya sendiri melalui berbagai kegiatan, antara lain: praktikum, diskusi, presentasi, mengerjakan LKS atau tugas-tugas lain, membaca untuk menemukan konsep atau kalimat-kalimat kunci. Peran guru dalam bentuk pembimbingan tetap dibutuhkan selama kegiatan-kegiatan tersebut, tetapi lebih bersifat fasilitator bukan decision maker. Dalam model pembelajaran Kontekstual memungkinkan guru dapat menerapkan penilaian portofolio, karena fase-fase dalam model pembelajaran kontekstual dapat digunakan sebagai alat dan bahan dari portofolio siswa.
Fokus permasalahan yang dicari jawabannya melalui penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut 1) Apakah implementasi penilaian portofolio dalam pembelajaran matematika berbasis kontekstual dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada pokok bahasan bangun sederhana? 2) Bagaimana respon siswa terhadap implementasi penilaian portofolio dalam pembelajaran matematika berbasis kontekstual?

Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang melibatkan 25 siswa kelas I SD Juara Yogyakarta pada semester 2 tahun ajaran 2011/2012. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus pembelajaran, yang tiap siklusnya terdiri dari empat tahapan, yaitu: (1) perencanaan tindakan, (2) pelaksanaan tindakan, (3) observasi dan evaluasi, dan (4) refleksi. Masing-masing siklus dilaksanakan dalam dua kali pembelajaran dan satu kali pelaksanaan tes akhir tindakan.
Data yang dikumpulkan adalah 1) data hasil belajar siswa yang meliputi kompetensi kognitif, dan komptensi afektif, dikumpulkan dengan lembar kerja (LK), kuis, pekerjaan rumah (PR), dan tes (ulangan harian) dan lembar observasi, dan 2) data respon siswa terhadap model yang di implementasikan dikumpulkan dengan pedoman wawancara. Data dianalisis secara deskriptif, dengan krieteria kerberhasilan terjadi peningkatan hasil belajar siswa dari siklus I ke siklus II. Data respon siswa dianalisis secara deskriptif dengan kriteria keberhasilan adalah respon siswa minimal berkategori postif.

Hasil Penelitian

Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di kelas I SD Juara Yogyakarta dengan jumlah siswa sebanyak 25 orang. Materi pelajaran yang dipelajari siswa di kemas dalam dua siklus pembelajaran, dan tiap siklus dirinci menjadi tiga kali pertemuan. Tiap pertemuan dilaksanakan tiga kali dalam seminggu, dengan alokasi waktu 2 jam pelajaran tatap muka dan 1 jam pelajaran tatap muka.
Di awal proses pembelajar, guru yang berkolaborasi dengan peneliti terlebih dahulu menyampaikan bahwa kegiatan pembelajaran di kelas pada pokok bahasan Bangun Datar Sederhana yang dilaksanakan dengan menggunakan penilaian portofolio melalui model pembelajaran kontekstual. Guru menyampaikan tentang model penilaian yang akan dilaksanakan selama proses pembelajaran mencakup dua aspek penilaian penilaian kompetensi kognitif, dan kompetensi afektif dengan menggunakan penilaian portofolio. Guru selanjutnya menyampaikan gambaran umum tentang penilaian portofolio dan jenis tagihan yang akan dijadikan sebagai portofolio siswa. Tagihan yang akan dijadikan sebagai portofolio siswa untuk kompetensi kognitif, yaitu berupa laporan hasil mengerjakan LK, pekerjaan rumah (PR), kuis dan tes tertulis. Tagihan untuk kompetensi afektif, yaitu berupa hasil observasi guru terhadap afektif siswa selama proses pembelajaran yang berkaitan dengan kerjasama siswa dalam kelompok, antusiasme siswa dalam bertanya, antusiasme siswa dalam menjawab pertanyaan.
Kegiatan pembelajaran yang dilakukan disesuaikan dengan langkah-langkah pembelajaran kontekstual. Secara garis besar, langkah-langkah yang harus ditempuh dalam CTL adalah sebagai berikut. Pertama; mengembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya. Kedua; melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik. Ketiga; kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya. Keempat; menciptakan masyarakat belajar. Kelima; menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran. Keenam; melakukan refleksi di akhir pertemuan. Ketujuh; melakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.
Dalam setiap proses pembelajaran di masing-masing siklus, siswa belajar menggunakan media berupa lembar kerja (LK) yang difasilitasi oleh guru. LK tersebut, dapat dijadikan sebagai penuntun siswa selama proses pembelajaran di kelas. Guru kemudian menyampaikan tentang model pembelajaran yang akan digunakan selama proses pembelajaran, yaitu model pembelajaran kontekstual. Dengan menggunakan setting kelas kooperatif dan fleksibel, serta proses pembelajaran dapat dilakukan di luar kelas. Guru selanjutnya membantu siswa untuk membentuk kelompok dengan batasan jumlah anggota minimal 3 orang dan maksimal 4 orang yang heterogen baik dari segi jenis kelamin dan kemampuan akademik. Dari jumlah siswa kelas I sebanyak 25 orang, terbentuk 8 kelompok yang terdiri atas 7 kelompok beranggotakan 3 orang dan 1 kelompok beranggotakan 4 orang.
Data kompetensi kognitif siswa yang diperoleh dari hasil observasi dan evaluasi pada siklus I yang diperoleh dari data nilai rata-rata portofolio siswa yang mencakup LK, PR, kuis pada tiap pertemuan dan tes ulangan harian di akhir siklus, diperoleh nilai rata-rata kognitif siswa (X) sebesar 72,6 dan standar deviasi (SD) sebesar 7,08. Berdasarkan kriteria penggolongan yang telah ditetapkan maka kompetensi kognitif siswa kelas I SD Juara Yogyakarta pada siklus I berada pada kategori baik .
Data kompetensi afektif siswa yang diperoleh dari hasil observasi dan evaluasi siklus I memiliki rata-rata afektif siswa (X) sebesar 69,4 dan standar deviasi (SD) sebesar 5,3. berada pada kategori cukup baik sesuai dengan kriteria penggolongan yang telah ditetapkan.
Data kompetensi kognitif siswa yang diperoleh dari hasil observasi dan evaluasi pada siklus II yang diperoleh dari data nilai rata-rata portofolio siswa yang mencakup LK, PR, kuis pada tiap pertemuan dan tes ulangan harian di akhir siklus, diperoleh nilai rata-rata kognitif siswa (X) sebesar 76,8 dan standar deviasi (SD) sebesar 6,4. Berdasarkan kriteria penggolongan yang telah ditetapkan maka kompetensi kognitif siswa kelas I SD Juara Yogyakarta pada siklus II berada pada kategori baik .
Data kompetensi afektif siswa yang diperoleh dari hasil observasi dan evaluasi siklus II memiliki rata-rata afektif siswa (X) sebesar 80,8 dan standar deviasi (SD) sebesar 4,8. berada pada kategori baik sesuai dengan kriteria penggolongan yang telah ditetapkan.
Data respon siswa kelas I SD Juara Yogyakartapada tahun ajaran 2011/2012 terhadap penerapan penilaian portofolio dalam pembelajaran matematika melalui model kontekstual yang dikumpulkan dengan menggunakan metode wawancara kepada siswa di akhir akhir siklus II menunjukkan bahwa hampir 80% siswa menunjuk respon yang sangat positif.


Pembahasan

Dari hasil analisis data pada siklus I diperoleh skor rata-rata kompetensi kognitif siswa di akhir tindakan sebesar 72,6 dengan kualifikasi baik, skor rata-rata kompetensi afektif siswa sebesar 69,4 dengan kualifikasi cukup baik. Belum tercapaianya hasil sesuai dengan harapan pada kompetensi afektif siswa (dengan krieria keberhasilan minimal berkategori baik) yang diperoleh pada siklus I ini disebabkan oleh kendala kendala berikut. 1) Masih kurangnya kerjasama anggota kelompok. Siswa yang memiliki kemampuan lebih tinggi nampak antusias dalam mengerjakan tugas-tugas yang harus dikerjakan. Sedangkan siswa yang berkemampuan rendah cenderung pasif dan lebih bersikap acuh tak acuh dan enggan bertanya kepada temannya yang lebih mampu. 2) Sebagian dari mereka masih beranggapan bahwa keaktifan mereka dalam setiap kegiatan pembelajaran tidak memperoleh penilaian. Anggapan ini juga menyebabkan mereka enggan untuk mengemukakan pertanyaan ketika mereka menemukan permasalahan.
Setelah diadakan penyempurnaan dan perbaikan terhadap kendala-kendala yang ditemukan pada siklus I, maka pada siklus II skor yang diperoleh siswa pada masing-masing aspek (kognitif, afektif) sudah lebih baik dibandingkan dengan skor yang diperoleh siswa pada siklus I. Pada siklus II terjadi peningkatan kognitif siswa sebesar 5,7% (dari skor rata-rata kognitif siswa sebesar 72,6 dengan kualifikasi baik pada siklus I menjadi sebesar 76,8 dengan tetap pada kualifikasi baik pada siklus II), afektif siswa sebesar 16,42% (dari skor rata-rata afektif siswa sebesar 69,4 dengan kualifikasi cukup baik pada siklus I menjadi sebesar 80,8 dengan kualifikasi baik pada siklus II).
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada siklus I dan siklus II, maka pelaksanaan tindakan yang dilakukan dapat dikatakan cukup mampu meningkatkan aspek kognitif, aspek afektif siswa kelas I SD Juara Yogyakarta tahun ajaran 2011/2012. Hal ini dapat terjadi karena penerapan penilaian portofolio dalam model pembelajaran kontekstual memberikan peluang yang luas kepada siswa untuk berkreativitas dalam pembelajaran di kelas. Siswa memiliki kesempatan untuk mengembangkan sikap dan keterampilan mereka dalam pembelajaran, sehingga dengan penguasaan proses yang optimal dapat membantu siswa dalam membangun konsep matematika yang mereka pelajari. Keseimbangan antara proses dan produk merupakan dua sisi yang saling menunjang dalam belajar matematika. Penilaian portofolio melalui model kontekstual juga memberikan kesempatan yang luas bagi siswa untuk membangun pengetahuan dan pikiran siswa itu sendiri. Hal ini selaras dengan faham konstruktivisme yang menyatakan bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran siswa, dalam hal ini siswa mencari makna dan akan mencoba untuk menemukan hubungan urutan di dalam kejadian-kejadian dari dunia informasi yang mereka peroleh. Hal penting dan sangat menunjang keberhasilan proses pembelajaran adalah perasaan senang untuk belajar dengan penilaian porofolio dalam pembelajaran kontekstual. Perasaan siswa terhadap model penilaian dan pembelajaran yang diterapkan tercermin dari respon yang diberikan oleh siswa. Siswa memiliki respon yang positif terhadap penerapan penilaian portofolio dalam pembelajaran kontekstual di kelasnya. Data respon siswa tersebut dikumpulkan dengan menggunakan metode wawancara kepada siswa di akhir akhir siklus II yang menunjukkan bahwa hampir 80% siswa menunjuk respon yang sangat positif.
Dari paparan tersebut dan refleksi yang dilakukan, penilaian portofolio dalam pembelajaran kontekstual memiliki beberapa kebaikan. Adapun kebaikan tersebut adalah sebagai berikut.1) Pengajaran menjadi berpusat pada siswa . 2) Penilaian portofolio dapat menolong guru membukukan dan mengevaluasi kemampuan dan pengetahuan siswa sesuai dengan harapan tanpa mengurangi kreativitas siswa di kelas. Penilaian portofolio juga dapat memfasilitasi siswa untuk lebih bertanggungjawab terhadap pekerjaan mereka di kelas dan meningkatkan peran serta mereka dalam kegiatan pembelajaran. 3) Dengan penilaian portofolio, memungkinkan guru untuk melihat siswa. 4) Penilaian portofolio memungkinkan guru dan siswa secara bersama-sama bertanggungjawab untuk merancang proses pembelajaran dan untuk mengevaluasi kemajuan belajar yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. 5) Melalui penilaian portofolio melalui model pembelajaran kontekstual, kegiatan yang dilakukan selama proses pembelajaran menjadi lebih terarah dan sistematis sehingga guru lebih efektif dalam mengelola waktu dan penyampaian materi.
Di samping memiliki beberapa keunggulan, ada hal-hal tertentu yang kiranya perlu diperhatikan dalam menerapkan penilaian portofolio dalam pembelajaran kontekstual. 1) Guru hendaknya dapat memanajemen alokasi waktu yang tersedia dengan baik, karena penerapan penilaian portofolio dalam pembelajaran kontekstual memerlukan waktu yang relatif lebih lama dibandingkan dengan penggunaan penilaian konvensional. 2) Model penilaian dan pembelajaran ini akan lebih cocok diterapkan dalam mengajarkan matematika yang menuntut adanya kegiatan praktikum, dan dalam implementasinya di lapangan, model ini akan efektif jika siswa dibentuk dalam kelompok-kelompok kecil (3-5 orang).

Kesimpulan  

Berdasarkan permasalahan dan hasil analisis data dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. 1) Penerapan penilaian portofolio dalam pembelajaran matematika berbasis kontekstualdapat meningkatkan hasil belajar siswa kels I SD Juara Yogyakarta pada tahun ajaran 2011/2012 pada pokok bahasan bangun datar sederhana. Terjadi peningkatan perolehan hasil belajar siswa sebesar 5,7% untuk kompetensi kognitif siswa (dari skor rata-rata sebesar 72,6 dengan kualifikasi baik pada siklus I menjadi sebesar 76,8 dengan kualifikasi baik pada siklus II), sebesar 16,42 % untuk kompetensi afektif (dari skor rata-rata sebesar 69,4 dengan kualifikasi cukup baik pada siklus I menjadi sebesar 80,8 dengan kualifikasi baik pada siklus II). 2) Respon siswa kelas I SD Juara Yogyakarta pada tahun ajaran 2011/2012 terhadap penerapan penilaian portofolio dalam pembelajaran matematika berbasis kontekstual adalah sangat positif.
Berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh dalam penelitian ini, maka dapat diajukan beberapa saran-saran sebagai berikut. 1) Penerapan penilaian portofolio dalam pembelajaran matematika berbasis kontekstual dapat digunakan sebagai salah satu alternatif model penilaian pembelajaran dalam upaya meningkatkan kompetensi kognitif, dan afektif siswa. Untuk itu, kepada guru matematika pada umumnya, disarankan untuk mencoba menerapkan penilaian portofolio dalam pembelajaran matematika berbasis berbasis kontekstual pada pokok bahasan lain. 2) Dalam menerapkan model penilaian portofolio dalam pembelajaran matematika berbasis kontekstual guru hendaknya memperhatikan beberapa hal seperti menyiapkan diri sebagai fasilitator dan mediator yang baik bagi siswa dalam belajar di kelas maupun di luar kelas. Setiap tahapan dalam pembelajaran berbasis kontekstual merupakan bahan portofolio baik itu terkait dengan observasi guru terhadap aktivitas siswa maupun karya-karya yang dihasilkan siswa ketika menjalani proses pembelajaran.

Daftar Pustaka

Krulik. S., & Rudnick, J. A. 1995. The new sourcebook for teaching reasioning and problem solving in elementary school. Londo: Allyn and Bacon.
Lee, S.W (2005). Encyclopedia of School Psychology. Thousand Oaks : Sage Publication
Pranata, M. 2004. Portofolio: Model penilaian desain berbasiskan konstruktivistik. Nirmana. No 1, Januari 2004: 63-81. http://puslit.petra.ac.id/journals/design/design06-01-04-5baru.php
Rustaman, N. Y. 2004. “Penilaian berbasis kelas”. Makalah. Disajikan dalam seminar/ lokakarya di FPMIPA IKIP Negeri Singaraja. Program Pascasarjana & FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia. Singaraja 4 Desember 2004.
Sadia, I W. 1992. Pengaruh pola asuh orang tua dan pengajar dengan metode discovery-kontekstual terhadap konsep diri dan sifat mandiri serta hubungan dengan prestasi belajar IPA siswa SMP Negeri di Propinsi Bali. Laporan Penelitian. FKIP Universitas Udayana.
Santyasa, I W. 2003. Pendidikan, pembelajaran, dan penilaian berbasis kompetensi. Makalah. Disajikan dalam seminar Jurusan Pendidikan Matematika IKIP Negeri Singaraja pada tanggal 27 Februarai 2003.
Santyasa, I W. 2004. Pengantar asesmen dan portofolio. Buku ajar. Jurusan Pendidikan Matematika, Fakultas MIPA, IKIP Negeri Singaraja.
Salam, S. 2001. “Penilaian portofolio dalam pendidikan seni rupa: Landasan dan model”. Jakarta: Pusat Statistik Pendidikan, Balitbang-Depdiknas.http://www.depdiknas.go.id/jurnal/29/penilaian_portfolio_dalam_pendid.htm
Suherman, E. 2007. Asesmen Portofolio. Educare. Volume 5 Nomor 1, edisi Agustus 2007
Supinah, dkk. 2008. Pembelajaran Matematika SD dengan Pendekatan Kontekstual dalam Melaksanakan KTSP. Yogyakarta: PPPPTK .
Surapranata, S., & Hatta, M. 2004. Penilaian portofolio. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sutarto Hadi. 2003. Pendidikan Realistik: Menjadikan Pelajaran matematika Lebih Bermakna bagi Siswa (Makalah yang Disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika ’Perubahan Paradigma dari Paradigma Mengajar ke Paradigma Belajar’). Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.