Selamat Datang di Web Jendela Keluarga Aris Nurkholis - Ratih Kusuma Wardani

Jendela Keluarga: Mewujudkan Keluarga Islami

Keluarga muslim adalah keluarga yang dibangun atas dasar nilai-nilai keislaman, Setiap anggota keluarga komintmen terhadap nilai-nilai keislaman. Sehingga keluarga menjadi tauladan dan lebih dari itu keluarga menjadi pusat dakwah Islam.

Merajut Keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah

Keluarga sakinah adalah keluarga yang semua anggota keluarganya merasakan cinta kasih, keamanan, ketentraman, perlindungan, bahagia, keberkahan, terhormat, dihargai, dipercaya dan dirahmati oleh Allah SWT.

Cinta Tanpa Syarat

Ketika suami dan isteri sudah menetapkan “cinta tanpa syarat” dan saling memahami, maka perbedaan dan pertengkaran tidak membesar menjadi konflik yang merusakkan kebahagiaan keluarga.

Cinta Tidak Harus Dengan Kata

Mencintai dengan sederhana, adalah mencintai “dengan kata yang tak sempat diucapkan” dan “dengan isyarat yang tak sempat disampaikan”.

Komunikasi dan Interaksi Penuh Cinta

Hal yang sangat vital perannya dalam menjaga keharmonisan rumah tangga adalah interaksi dan komunikasi yang sehat, komunikasi yang indah dan melegakan serta komunikasi penuh cinta antara seluruh anggotanya.

Sunday, November 10, 2013

Mitos, dan Bid’ah di Dalamnya

Bulan Muharram: Keutamaan, Legenda, Mitos, dan Bid’ah di Dalamnya



dakwatuna.com - Alhamdulillah, kita memasuki bulan Muharram 1433 H, yang berarti mengawali tahun baru 1433 H dan meninggalkan tahun 1432 H. Kita bersyukur kepada Allah Ta’ala atas kesempatan hidup yang masih diberikan kepada kita. Semoga kita dapat melaksanakan risalah ibadah secara ikhlas dan benar. Dan semoga kita serta seluruh umat Islam di tahun ini lebih baik dari tahun yang lalu dan tahun yang akan datang akan lebih baik lagi dari tahun ini.
Keutamaan Bulan Muharram

Bulan Muharram adalah salah satu dari empat bulan haram atau bulan yang dimuliakan Allah. Empat bulan tersebut adalah, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ

“Sesungguhnya jumlah bulan di Kitabullah (Al Quran) itu ada dua belas bulan sejak Allah menciptakan langit dan bumi, empat di antaranya adalah bulan-bulan haram” (QS. At Taubah: 36)

Kata Muharram artinya ‘dilarang’. Sebelum datangnya ajaran Islam, bulan Muharram sudah dikenal sebagai bulan suci dan dimuliakan oleh masyarakat Jahiliyah. Pada bulan ini dilarang untuk melakukan hal-hal seperti peperangan dan bentuk persengketaan lainnya. Kemudian ketika Islam datang kemuliaan bulan haram ditetapkan dan dipertahankan sementara tradisi jahiliyah yang lain dihapuskan termasuk kesepakatan tidak berperang.

Bulan Muharram memiliki banyak keutamaan, sehingga bulan ini disebut bulan Allah (syahrullah). Beribadah pada bulan haram pahalanya dilipatgandakan dan bermaksiat di bulan ini dosanya dilipatgandakan pula. Pada bulan ini tepatnya pada tanggal 10 Muharram Allah menyelamatkan nabi Musa as dan Bani Israil dari kejaran Firaun. Mereka memuliakannya dengan berpuasa. Kemudian Rasulullah saw. menetapkan puasa pada tanggal 10 Muharram sebagai kesyukuran atas pertolongan Allah. Masyarakat Jahiliyah sebelumnya juga berpuasa. Puasa 10 Muharram tadinya hukumnya wajib, kemudian berubah menjadi sunnah setelah turun kewajiban puasa Ramadhan. Rasulullah saw. bersabda:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ وَجَدَهُمْ يَصُومُونَ يَوْمًا يَعْنِي عَاشُورَاءَ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ وَهُوَ يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَأَغْرَقَ آلَ فِرْعَوْنَ فَصَامَ مُوسَى شُكْرًا لِلَّهِ فَقَالَ أَنَا أَوْلَى بِمُوسَى مِنْهُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ

Dari Ibnu Abbas RA, bahwa nabi saw. ketika datang ke Madinah, mendapatkan orang Yahudi berpuasa satu hari, yaitu ‘Asyuraa (10 Muharram). Mereka berkata, “ Ini adalah hari yang agung yaitu hari Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan keluarga Firaun. Maka Nabi Musa as berpuasa sebagai bukti syukur kepada Allah. Rasul saw. berkata, “Saya lebih berhak mengikuti  Musa as. dari mereka.”  Maka beliau berpuasa dan memerintahkan (umatnya) untuk berpuasa” (HR Bukhari).

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ

Dari Abu Hurairah RA. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baiknya puasa setelah Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah Muharram. Dan sebaik-baiknya ibadah setelah ibadah wajib adalah shalat malam.” (HR Muslim)

Walaupun ada kesamaan dalam ibadah, khususnya berpuasa, tetapi Rasulullah saw. memerintahkan pada umatnya agar berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Yahudi, apalagi oleh orang-orang musyrik. Oleh karena itu beberapa hadits menyarankan agar puasa hari ‘Asyura diikuti oleh puasa satu hari sebelum atau sesudah puasa hari ‘Asyura.

Secara umum, puasa Muharram dapat dilakukan dengan beberapa pilihan. Pertama, berpuasa tiga hari, sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya, yaitu puasa tanggal 9, 10 dan 11 Muharram. Kedua, berpuasa pada hari itu dan satu hari sesudah atau sebelumnya, yaitu puasa tanggal: 9 dan 10, atau 10 dan 11. Ketiga,  puasa pada tanggal 10 saja, hal ini karena ketika Rasulullah memerintahkan untuk puasa pada hari ‘Asyura para sahabat berkata: “Itu adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani, beliau bersabda: “Jika datang tahun depan insya Allah kita akan berpuasa hari kesembilan, akan tetapi beliau meninggal pada tahun tersebut.” (HR. Muslim).

Landasan puasa tanggal 11 Muharram didasarkan pada keumuman dalil keutamaan berpuasa pada bulan Muharram. Di samping itu sebagai bentuk kehati-hatian jika terjadi kesalahan dalam penghitungan awal Muharram.

Selain berpuasa, umat Islam disarankan untuk banyak bersedekah dan menyediakan lebih banyak makanan untuk keluarganya pada 10 Muharram. Tradisi ini memang tidak disebutkan dalam hadits, namun ulama seperti Baihaqi dan Ibnu Hibban menyatakan bahwa hal itu baik untuk dilakukan.

Demikian juga sebagian umat Islam menjadikan bulan Muharram sebagai bulan anak yatim. Menyantuni dan memelihara anak yatim adalah sesuatu yang sangat mulia dan dapat dilakukan kapan saja. Dan tidak ada landasan yang kuat mengaitkan menyayangi dan  menyantuni anak yatim hanya pada bulan Muharram.
Bulan Muharram adalah bulan pertama dalam sistem kalender Islam. Oleh karena itu  salah satu momentum yang sangat penting bagi umat Islam yaitu menjadikan  pergantian tahun baru Islam sebagai sarana umat Islam untuk muhasabah terhadap langkah-langkah yang telah dilakukan dan rencana ke depan yang lebih baik lagi. Momentum perubahan dan perbaikan menuju kebangkitan Islam sesuai dengan jiwa hijrah Rasulullah saw. dan sahabatnya dari Mekah dan Madinah.

Legenda Dan Mitos Muharram

Di samping keutamaan bulan Muharram yang sumbernya sangat jelas, baik disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, tetapi banyak juga  legenda dan mitos yang terjadi di kalangan umat Islam menyangkut hari ‘Asyura.
Beberapa hal yang masih menjadi keyakinan di kalangan umat Islam adalah legenda bahwa pada hari ‘Asyura Nabi Adam diciptakan, Nabi Nuh as di selamatkan dari banjir besar, Nabi Ibrahim dilahirkan dan Allah Swt menerima taubatnya. Pada hari ‘Asyura Kiamat akan terjadi dan siapa  yang mandi pada hari ‘Asyura diyakini tidak akan mudah terkena penyakit. Semua legenda itu sama sekali tidak ada dasarnya dalam Islam. Begitu juga dengan keyakinan bahwa disunnahkan bagi mereka untuk menyiapkan makanan khusus untuk hari ‘Asyura.

Sejumlah umat Islam mengaitkan kesucian hari ‘Asyura dengan kematian cucu Nabi Muhammad Saw, Husain saat berperang melawan tentara Suriah. Kematian Husain memang salah satu peristiwa tragis dalam sejarah Islam. Namun kesucian hari ‘Asyura tidak bisa dikaitkan dengan peristiwa ini dengan alasan yang sederhana bahwa kesucian hari ‘Asyura sudah ditegakkan sejak zaman Nabi Muhammad Saw jauh sebelum kelahiran Sayidina Husain. Sebaliknya, adalah kemuliaan bagi Husain yang kematiannya dalam pertempuran itu bersamaan dengan hari ‘Asyura.

Bid’ah Di Bulan Muharram

Selain legenda dan mitos yang dikait-kaitkan dengan Muharram, masih sangat banyak bid’ah yang jauh dari ajaran Islam. Lebih tepat lagi bahwa bid’ah tersebut merupakan  warisan ajaran Hindu dan Budha yang sudah menjadi tradisi  masyarakat Jawa yang mengaku dirinya sebagai penganut aliran kepercayaan. Mereka lebih dikenal dengan sebutan Kejawen.

Dari segi sistem penanggalan, memang penanggalan dengan sistem peredaran bulan bukan hanya dipakai oleh umat Islam, tetapi masyarakat Jawa juga menggunakan penanggalan dengan sistem itu. Dan awal bulannya dinamakan  Suro. Pada hari Jum’at malam Sabtu, 1 Muharram 1428 H bertepatan dengan 1 Suro 1940. Sebenarnya penamaan bulan Suro, diambil dari ’Asyura yang berarti 10 Muharram. Kemudian sebutan ini menjadi nama bulan pertama bagi penanggalan Jawa.

Beberapa tradisi dan keyakinan yang dilakukan sebagian masyarakat Jawa sudah sangat jelas bid’ah dan  syiriknya, seperti Suro diyakini sebagai bulan yang keramat, gawat dan penuh bala. Maka diadakanlah upacara ruwatan dengan mengirim sesajen atau tumbal ke laut. Sebagian yang lain dengan cara bersemedi mensucikan diri bertapa di tempat-tempat sakral (di puncak gunung, tepi laut, makam, gua, pohon tua, dan sebagainya) dan ada juga yang melakukan dengan cara lek-lekan ‘berjaga hingga pagi hari’ di tempat-tempat umum (tugu Yogya, Pantai Parangkusumo, dan sebagainya). Sebagian masyarakat Jawa lainnya juga melakukan cara sendiri yaitu mengelilingi benteng keraton sambil membisu.

Tradisi tidak mengadakan pernikahan, khitanan dan membangun rumah. Masyarakat  berkeyakinan apabila melangsungkan acara itu maka akan membawa sial dan malapetaka bagi diri mereka.
Melakukan ritual ibadah tertentu di malam Suro, seperti  selamatan atau syukuran, Shalat Asyuro, membaca Doa Asyuro (dengan keyakinan tidak akan mati pada tahun tersebut) dan ibadah-ibadah lainnya. Semua ibadah tersebut merupakan bid’ah (hal baru dalam agama) dan tidak pernah ada contohnya dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam maupun para sahabatnya. Hadist-hadits yang menerangkan tentang Shalat Asyuro adalah palsu sebagaimana disebutkan oleh imam Suyuthi dalam kitab al-La’ali al-Masnu’ah.

Tradisi Ngalap Berkah dilakukan dengan mengunjungi daerah keramat atau melakukan ritual-ritual, seperti mandi di grojogan (dengan harapan dapat membuat awet muda), melakukan kirab kerbau bule (kiyai slamet) di keraton Kasunan Solo, thowaf di tempat-tempat keramat, memandikan benda-benda pusaka, begadang semalam suntuk dan lain-lainnya. Ini semuanya merupakan kesalahan, sebab suatu hal boleh dipercaya mempunyai berkah dan manfaat jika dilandasi oleh dalil syar’i (Al Qur’an dan hadits) atau ada bukti bukti ilmiah yang menunjukkannya. Semoga Allah Ta’ala menghindarkan kita dari kesyirikan dan kebid’ahan yang membinasakan.

Menyikapi berbagai macam tradisi, ritual, dan amalan yang jauh dari ajaran Islam, bahkan cenderung mengarah pada bid’ah, takhayul dan syirik, maka marilah kita bertobat kepada Allah dan melaksanakan amalan-amalan sunnah di bulan Muharram seperti puasa. Rasulullah saw.  menjelaskan bahwa puasa pada hari ‘Asyura  menghapuskan dosa-dosa setahun yang telah berlalu.

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَن صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

Dari Abu Qatadah RA. Rasulullah ditanya tentang puasa hari ‘asyura, beliau bersabda: “Saya berharap ia bisa menghapuskan dosa-dosa satu tahun yang telah lewat.”  (HR. Muslim).
Demikian bayan dari Pusat Konsultasi Syariah Indonesia tentang keutamaan bulan Muharram, sebagai panduan umat Islam untuk mengisi bulan Muharram. Wallahu ’alam bishawwab.

Sumber: dakwatuna

Friday, October 18, 2013

Belajar Mendidik Anak dari Nabi Ibrahim


Ditengah maraknya metode pendidikan anak yang ditawarkan,  hadir spiritual parenting berazaskan pada metode yang di ajarkan Allah dalam Al Qur’an dan contoh dari Rasulullah. Dalam Islam peran ayah dalam mendidik anaknya ternyata sangat dominan sebagaimana di kisahkan    dalam Al Quran. Di antaranta kisah Nabi Ibrahim yang berdialog dengan Ismail anaknya, Kisah Lukman yang memberikan pelajaran dengan cara yang sangat lembut dan penuh kasih sayang pada anaknya dapat di temui dalam Al Quran .

Talkshow “Spiritual Parenting” yang di selenggarakan oleh PP Salimah, Ibu Nurul Hidayati , ketua Umum PP salimah  mengingatkan kita untuk belajar dari Nabi Ibrahim yang mengajak berdialog anaknya Ismail,   untuk membuat keputusan sendiri dalam hidupnya.

Sebagai mana ayat firman Allah : “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata:”Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu.Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab:”Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. QS. 37:102

Dalam ayat ini terjadi  dialog antara nabi Ibrahim dengan Ismail tentang perintah penyembelihan Ismail, dan beliau berdua berhasil melalui ujian yang nyata tersebut dengan amat sabar, dan Allah SWT mengganti Ismail dengan seekor sembelihan yang besar .
Bagaimana kah cara nya Nabi Ibrahim mendidik anak-anak nya hingga memiliki kesabaran dan ketaat yang sempurna pada Tuhannya ?

Jika orang tua suka memaksa kehendak  pada anak dipastikan akan berdampak tidak baik bagi anak. Dialog orang tua dengan anak adalah metode Qur’ani, membiasakan berdialog dengan anak untuk menentukan keputusan akan membuat anak memiliki harga diri, mampu membedakan mana yang baik dan tidak baik bagi dirinya. Pilihlah waktu yang tepat saat berdialog dengan anak, misalnya setelah anak kenyang setelah makan atau menjelang anak tidur, insya Allah anak akan senang diajak berdialog dengan orang tuanya. Namun orangtua janganlah menjadikan dialog sebagai upaya memaksakan kehendak orang tua .
Mari kita kaji di Al Qura’an surat Ibrahim ayat 37-41, bagaimaa Nabi Ibrahim As berperan sebagai pemdidik utama dalam keluarganya. Beliau adalah orang tua yang banyak mendoakan anak-anak dan keluarganya  dan menyandarkan keharapannya hanya pada Allah.

“Ya Tuhan kami, Sesungguhnya Aku Telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, Mudah-mudahan mereka bersyukur. Ya Tuhan kami, Sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa yang kami lahirkan; dan tidak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit.

Segala puji bagi Allah yang Telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha mendengar (memperkenankan) doa. Ya Tuhanku, jadikanlah Aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.
Ya Tuhan kami, beri ampunlah Aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)”. [Ibrahim: 37-41]
Doa di atas adalah do`a Nabi Ibrahim, yang darinya kita dapat memetik beberapa hikmah tentang bagaimana Nabi Ibrahim mendidik putranya .

Pertama ; Mencari, membentuk lingkungan yang baik.

Representasi lingkungan yang shalihah bagi Nabi Ibrahim Baitullah [rumah Allah], dan kalau kita adalah masjid [rumah Allah].  Terdapat nilai lebih jika kita bertempat tinggal dekat dengan masjid atau anak-anak kita lebih sering ke masjid, karena memudahkan mereka mencintai masjid. Bila kita kesulitan menemukan masjid, maka hendaknya kita tetap berusaha mencarikan dan membentuk  lingkungan yang baik bagi putra-putri kita.

Kedua ; Mendidik anak agar mendirikan shalat.

Nabi Ibrahim secara khusus berdoa agar anak keturunannya tetap mendirikan shalat.
“Ya Tuhanku, jadikanlah Aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku. (QS Ibrahim :40)
Rasulullah saw memberikan arahan tentang keharusan pembelajaran shalat kepada anak,  “Suruhlah anak shalat pada usia 7 tahun, dan pukullah bila tidak shalat pada usia 10 tahun”. Rasulullah saw membolehkan memukul anak di usia 10 tahun kalau dia tidak melakukan shalat dari pertama kali disuruh di usia 7 tahun. Ini artinya ada masa 3 tahun, orang tua untuk mendidik anak-anaknya untuk shalat. Dan waktu yang cukup untuk melakukan pendidikan shalat.

Ketiga ; Mendidik anak agar disenangi banyak orang.

Orang senang bergaul dengan anak kita, seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah saw: “Berinteraksilah dengan manusia dengan akhlaq yang baik.” [HR. Bukhari].

Keempat ;  Mendidik anak agar dapat menjemput rezki yang Allah telah siapkan bagi setiap orang.

Anak dididik untuk memiliki life skill [keterampilan hidup] dan skill to life [keterampilan untuk hidup]

Kelima ;  Mendidik anak dengan mempertebal terus keimanan, hingga merasakan kebersamaan dan pengawasan Allah kepada mereka.
Keenam ; Mendidik anak agar tetap memperhatikan orang-orang yang berjasa—sekalipun sekadar doa—dan peduli terhadap orang-orang yang beriman yang ada di sekitarnya baik yang ada sekarang maupun yang telah mendahuluinya.


Tuesday, October 15, 2013

Bagai Pohon Kelapa di Tepi Pantai

BAGAI POHON KELAPA DI TEPI PANTAI

Jendela Keluarga - Idealnya, aku berharap hidupku dapat berlangsung demikian. Laksana pohon kelapa di tepi pantai. Aku berdiri tegak hadapi angin darat ataupun angin laut, tetap melambai indah dalam badai maupun besarnya terjangan ombak. Aku ingin tetap menjadi garda terdepan dalam mencegah abrasi, bersama bakau dan karang, saling mendukung memecah gelombang yang datang menghadang. Aku ingin hidupku bak si nyiur melambai, manfaat dari akar hingga daun, dari buah hingga lidi, dan menghasilkan buah yang tak jauh jatuh dari pokoknya. Aku ingin hidupku demikian, meski aku diterpa panas tapi aku mampu meneduhkan orang sekitar. Menghilangkan dahaga juga lapar. Ingin mudaku adalah tunas terjaga perlambang harapan dan masa depan, lalu bila aku menua, aku tetap dikenang dan diingat sebagai si pemberi maslahat bukan maksiat.


Ingin, hijauku membawa nilai keasrian dalam pandangan panas pinggir pantai. Ingin tetap tumbuh dalam kondisi tanah apapun. Dan saat beberapa pelintas mencemooh kesendirianku, aku akan tetap tegak, karena yakin, bila kelak mereka melintas kembali mereka akan berteduh dan meminum airku. Aku ingin demikian, bersama laut, yang menerima apapun. Laut mengajariku menerima cibiran, sampah, kotoran, pujian, dan teriakan dengan respon yang serupa, dan aku ingin bersamanya menjaga yang demikian, tapi laut jauh derajat di atasku. Dan aku masih harus banyak bersabar dan belajar untuk dapat menjadi sepertinya. Ingin tetap menanggapi pujian dan sindiran sebagai getar suara yang di hantar udara, tidak lebih. Sehingga kuat ku saat di caci, dan rendah hati ku bila di puji.

Aku ingin hidupku laksana Pohon itu, yang kuning daun pertanda mudanya adalah berita gembira dan salam kemenangan bila Ied tiba. Yang tua menua daunnya terjalin dalam rumbia, tetap peneduh dan teduh. Bila jauh di pandang, orang dapat dengan mudah mengenaliku, bila dekat di nilai, orang tahu banyak manfaatku. Meski batangku hanya bernilai menengah dalam adu bahan konstruksi, tapi aku tetap bernilai. Meski sabutku menjadi sapu, keset atau pengganti spons cuci piring, biarlah, karena toh aku tetap bernilai membersihkan kesalahan dan noda lain, dan kembali aku tetap bernilai manfaat. Lalu bila kelak tinggiku telah mencapai 1000 m dari permukaan laut, biarlah semua memandangku, sebagai si anggun, bukan si pongah unjuk rasa.

Aku berharap demikianlah perjalanan hidupku, bagaimana denganmu??

[Rara Kawuri_dakwatuna.com]

Saturday, October 13, 2012

Keutamaan Puasa Arafah

 KEUTAMAAN PUASA ARAFAH



Jendela Keluarga. 3 Keutamaan Puasa Arafah | Tanggal 9 Dzulhijjah merupakan hari Arafah. Pada hari itu, jamaah haji melakukan wukuf di Arafah yang merupakan rukun inti dari haji. Sedangkan bagi kaum Muslimin yang tidak sedang menjalankan ibadah haji, disunnahkan untuk melakukan puasa Arafah.

Puasa Arafah merupakan puasa sunnah yang sangat dianjurkan, sunnah muakad. Puasa Arafah memiliki keutamaan yang luar biasa. Sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:


سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ

Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa hari Arafah, beliau menjawab, “Puasa itu menghapus dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun berikutnya.” (HR. Muslim)

Demikianlah keutamaan puasa Arafah: ia dapat menghapuskan dosa selama dua tahun. Yakni dosa satu tahun sebelumnya dan satu tahun sesudahnya.

Diantara keutamaan hari Arafah adalah pembebasan dari api neraka. Sebagian ulama menjelaskan bahwa pembebasan dari neraka pada hari Arafah diberikan Allah bukan hanya kepada jamaah haji yang sedang wukuf, melainkan juga untuk kaum muslimin yang tidak sedang menjalankan haji. Terlimpahkannya ampunan Allah terhadap dosa selama dua tahun melalui puasa Arafah sangat terkait dengan keutamaan kedua ini.

مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ

“Di antara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari neraka adalah hari Arofah. Dia akan mendekati mereka lalu akan menampakkan keutamaan mereka pada para malaikat. Kemudian Allah berfirman: Apa yang diinginkan oleh mereka?” (HR. Muslim)

Keutamaan lain puasa Arafah adalah ke-mustajab-an doa. Secara umum doa orang yang berpuasa akan dikabulkan oleh Allah. Ditambah lagi dengan keutamaan waktu hari Arafah yang merupakan sebaik-baik doa pada waktu itu, maka semakin kuatlah keutamaan terkabulnya doa orang yang berpuasa Arafah pada hari itu.

خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ

“Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arafah. Dan sebaik-baik yang kuucapkan, begitu pula diucapkan oleh para Nabi sebelumku adalah ucapan “Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qadiir (Tidak ada Ilah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. MilikNyalah segala kerajaan dan segala pujian, Allah Maha Menguasai segala sesuatu).” (HR. Tirmidzi, hasan)

Demikian 3 Keutamaan Puasa Arafah, semoga semakin menguatkan motivasi kita untuk menjalankan Puasa Arafah pada 9 Dzulhijjah 1433 H yang jatuh pada esuk hari. (bersamadakwah.com)

Thursday, February 2, 2012

Kalau Kamu

Oleh : Cahyadi Takariawan

Kalau kamu lelah, cobalah tilawah.
Kalau kamu resah, segeralah tilawah.
Kalau kamu gelisah, hilangkan dengan tilawah.
Kalau kamu susah, mulailah tilawah.
Kalau kamu gundah, jangan lupa tilawah.
Kalau badanmu lemah, kuatkan dengan tilawah.
Kalau imanmu tergugah, lakukan tilawah.
Kalau jiwamu gerah, perbanyak tilawah.
Kalau matamu basah, segera tilawah.
Kalau pikiranmu cerah, cepatlah tilawah.
Kalau hatimu patah, teruslah tilawah.
Kalau kamu marah, redakan dengan tilawah.
Kalau kamu merasa gagah, jangan lupakan tilawah.
Kalau kamu kalah, harus banyak tilawah.
Kalau kamu tidak mau kalah, harus makin banyak tilawah.
Kalau kamu tabah, seringlah tilawah.
Kalau tanganmu tengadah, mulailah tilawah.
Kalau kakimu melangkah, lantunkan tilawah.
Kalau hatimu berseri bak bunga merekah, seringlah tilawah.
Kalau perasaanmu begitu indah, segeralah tilawah.
Kalau ingin keluarga sakinah, ajak mereka tilawah.
Kalau ingin anak-anak salih dan salihah, ajari tilawah.
Kalau ingin rejeki melimpah, rajinlah tilawah.
Kalau ingin hidup penuh berkah, rutinkan tilawah.
Kalau ingin mengunjungi Ka’bah, lantunkan tilawah.
Kalau anganmu tengah membuncah, perbanyak tilawah.
Kalau kamu malas tilawah, paksalah untuk tilawah.
Kalau kamu rajin tilawah, lanjutkan terus tilawah.
Kalau kamu tilawah, itulah jalan menuju jannah.

Pancoran Barat, 21 Juli 201

Tuesday, January 31, 2012

Bismillahirrohmanirrohiim

Monday, January 2, 2012

Berkumpul Karena Kecewa

Berkumpul Karena Kecewa ?

Posted by pak cah on September 13, 2011
Oleh : Cahyadi Takariawan

Jendela Keluarga: “Orang-orang yang berkumpul karena cinta saja masih bisa menimbulkan kekecewaan, bagaimana dengan orang-orang yang kumpul karena kecewa ?” demikian pesan yang saya tulis di dinding fesbuk saya, beberapa waktu yang lalu. Apa yang ingin saya sampaikan dalam pesan tersebut ?

Pesan utama saya adalah tentang mengelola perasaan kecewa, maaf beribu maaf, beberapa postingan saya di blog ini telah menyampaikan pesan yang sama. Namun saya masih sering menjumpai keluhan kekecewaan, termasuk hari Ahad kemarin (11 September 2011), saat saya menghadiri acara Syawalan para aktivis dakwah di GOR Giri Wahana, Wonogiri, Jawa Tengah.

Saya mendapatkan sms cukup panjang dari seorang sahabat, yang tengah mengalami kekecewaan yang mendalam dengan komunitasnya, beberapa menit sebelum saya harus “naik panggung” untuk memberikan Tausiyah Syawal. Saya cukup tersentak dengan isi sms  tersebut, karena sangat lama tidak bertemu dan tidak mendengar berita tentang sahabat yang satu ini. Tiba-tiba mengirim pesan sms yang isinya ungkapan kekecewaan.

Mengapa muncul kecewa ? Kita mulai dari yang paling sederhana. Dalam proses pernikahan, bersatunya seorang lelaki dan seorang perempuan dalam bahtera rumah tangga, diikat dengan kuat oleh rasa cinta. Mereka saling mencintai, maka mereka melangkah bersama membangun keluarga, dan merajut berbagai harapan dan cita-cita. Di tengah jalan, dua orang yang saling mencinta ini, bisa saling kecewa. Suami kecewa terhadap isteri, dan isteri kecewa kepada suami.

Orang tua dan anak-anak dalam sebuah keluarga, tentunya mereka saling mencinta. Mereka berada dalam sebuah biduk rumah tangga, saling mencintai dan menyayangi satu dengan yang lain. Namun, anggota keluarga yang saling mencintai ini dalam perjalanannya bisa saling kecewa. Orang tua kecewa dengan anak-anak, atau anak-anak kecewa kepada orang tua. Bahkan di antara anak-anak, bisa muncul kekecewaan sesama mereka. Bukankah mereka berkumpul dengan ikatan dan energi cinta ? Ternyata masih bisa memunculkan perasaan kecewa di antara orang-orang yang saling mencinta.

Dakwah dibangun dengan ikatan cinta. Gerbong dakwah melaju dengan berbagai proses dan dinamika, menuju harapan dan cita-cita yang telah dicanangkan. Dalam perjalanan inilah muncul friksi, muncul perbedaan pandangan, muncul gesekan satu dengan yang lain. Di antara orang-orang yang saling mencinta, akhirnya muncul perasaan kecewa. Muncul tuduhan, muncul praduga, muncul syak wasangka.

Nabi saw adalah manusia pilihan, tanpa cacat dan cela sebagai seorang teladan. Para sahabat adalah generasi pilihan, yang menjadi generasi terbaik sepanjang sejarah Islam. Namun para sahabat sempat memiliki simpanan kekecewaan sesaat setelah Perjanjian Hudaibiyah selesai dikonstruksi Nabi saw dan Suhail. Lihat ekspresi kekecewaan mereka. Tiga kali Nabi saw memerintahkan, tak seorangpun dari para sahabat yang melaksanakan. Hanya dalam peristiwa Perjanjian Hudaibiyah ini saja peristiwa itu mengemuka, tak pernah ada kejadian yang serupa.

Kita juga ingat gumpalan kekecewaan sebagian sahabat dalam kisah pembagian harta seusai perang Hunain. Abu Sufyan bin Harb, tokoh penentang Islam sejak awal dakwah di Makah itu, telah mendapatkan bagian seratus ekor unta dan empat puluh uqiyah perak. Demikian pula Yazid dan Mu’awiyah, dua orang anak Abu Sofyan, mendapat bagian yang sama dengan bapaknya. Kepada tokoh-tokoh Quraisy yang lain beliau memberikan bagian seratus ekor unta. Adapula yang mendapatkan bagian lebih sedikit dari itu, hingga seluruh harta rampasan habis dibagikan.

Melihat pembagian itu, para sahabat Anshar memandang lain. Muncullah gejolak di kalangan sahabat Anshar, hingga seorang di antara mereka berkata, ”Mudah-mudahan Allah memberikan ampunan kepada RasulNya, karena beliau telah memberi kepada orang Quraisy dan tak memberi kepada kami, padahal pedang-pedang kami yang menitikkan darah-darah mereka.” Adapula di antara mereka yang berkata, “Rasulullah sekarang telah menemukan kembali kaum kerabatnya.”

Dalam kisah “pembangkangan” para sahabat usai Perjanjian Hudaibiyah dan kekecewaan usai Perang Hunain, semua berakhir dengan sangat indah dan cepat. Nabi saw sebagai qiyadah menyelesaikan suasana dengan sangat tepat, sehingga kekecewaan tidak membesar dan menjalar. Ini karena kepribadian Nabi sebagai manusia pilihan yang dikuatkan dengan wahyu, sehingga beliau tidak akan salah langkah. Tindakan beliau selalu tepat.

Jika Kanjeng Nabi yang tanpa cela saja masih mendapatkan lontaran kekecewaan, bagaimana dengan kita yang sama sekali bukan Nabi, bukan pula sahabat Nabi, bukan muridnya para sahabat, bukan pula murid para tabi’in…. Jika sahabat Nabi saya masih bisa menyimpan kekecewaan, bagaimana dengan kita yang tidak memiliki kualitas sebagai sahabat Nabi….

Kita hidup di zaman cyber, semua kejadian, semua peristiwa, semua kondisi dengan sangat cepat tersebar. Sangat cepat, tanpa batas, tanpa jeda waktu. Melalui emai, milis, twitter, fesbuk, blackberry messenger, sms, telpon dan lain sebagainya. Semua, apa saja terberitakan. Sayang, banyak yang tidak bisa membedakan mana data dan mana analisa. Semua berita yang muncul di internet dan dunia maya dianggap kebenaran.
Di tengah kita tidak ada Kanjeng Nabi. Tatkala berbagai berita berseliweran tentang qiyadah, tentang dakwah, tentang jama’ah, dan tentang “segala sesuatu” yang cenderung menjadi gosip, sikap kita hendaknya mencontoh perilaku Kanjeng Nabi dan para sahabat beliau. Tentu saja tidak akan bisa sama sepenuhnya, namun jangan sampai lepas dari contoh keteladanan mulia mereka.

Apa keteladanan mulia dari mereka ? Sangat banyak tentu saja. Pertama, landasan hubungan di antara Nabi dengan para sahabat adalah cinta kasih. Cinta dan kasih sayang timbal balik, telah terbentuk sangat kuat antara para sahabat dengan Nabi. Ini yang menyebabkan bahasa hati mereka selalu menyambung, selalu bertemu, selalu berada dalam kebersihan dan kebaikan.

Kedua, didahulukannya sikap husnuzhan kepada qiyadah. Kendati ada kekecewaan, mereka tetap memiliki sikap yang positif sehingga mudah mendengarkan penjelasan dari Nabi. Mereka mudah mendengar dan menerima penjelasan Kanjeng Nabi, tanpa membantah dan menggerutu di belakang. Ini karena sikap positif yang mereka miliki, selalu tsiqah dengan qiyadah.

Ketiga, para sahabat tidak membesar-besarkan dan mendramatisir permasalahan, sehingga masalah berada dalam ruang lingkup yang terbatas. Mereka tidak mengorganisir kekecewaan untuk dijadikan alasan memberontak atau tidak setia kepada qiyadah. Kisah kekecewaan para sahabat di Hudaibiyah sangat natural, tidak digerakkan, tidak diorganisir oleh seseorang. Kisah kekecewaan paska perang Hunain segera terlokalisir dengan disampaikannya hal tersebut kepada Nabi saw.

Keempat, mereka tidak mengungkit-ungkit lagi permasalahan tersebut setelah selesainya kejadian. Setelah permasalahan selesai, clear, terang benderang, mereka kembali berkumpul, berjama’ah, berkegiatan bersama, seperti tidak pernah ada kejadian sebelumnya. Mereka tidak lagi mengungkit-ungkit “si Fulan dan si Falun ini dulu pernah melontarkan kekecewaan kepada Nabi”. Persoalan selesai, maka mereka kembali bersama seperti semula. Tidak ada dendam, tidak ada permusuhan yang terwariskan. Tidak ada sakit hati yang tersimpan.

Jadi, kita hanya perlu duduk bersama. Mendengarkan bagian-bagian cerita, merangkai berbagai peristiwa, mencoba membuat sederhana hal-hal yang seakan-akan dibuat dan tampak sedemikian rumitnya. Jika memang ada yang terbukti melakukan kesalahan, tentu saja perlu diberikan teguran atau sanksi sesuai aturan organisasi dan sesuai tingkat kesalahan yang dilakukan. Namun jika yang terjadi hanyalah kesalahpahaman, maka tidak ada yang perlu diteruskan atau diperpanjang lagi. Semua sudah selesai, clear, dan saling memaafkan atas hal yang tidak pada tempatnya.

Jadi, tidak perlu membuat perkumpulan karena kekecewaan. Tidak perlu membuat organisasi karena sakit hati. Tidak perlu konsolidasi untuk menyatukan pihak-pihak yang merasa kecewa atau merasa terzalimi. Karena perkumpulan seperti apa yang akan terbentuk, dari jiwa-jiwa kecewa ? Organisasi seperti apa yang akan muncul, dari hati-hati yang menyimpan benci ? Toh kelak ketika terbentuk organisasi, pasti ada yang kecewa lagi.

Mari duduk saja bersama-sama. Membingkai hati, mengeja keinginan jiwa. Berbicara dengan bahasa ruhani, bukankah kita semua ini para kader yang saling mencinta ? Bukankah kita semua telah berikrar untuk selalu berada di jalanNya ? Termasuk ketika menyelesaikan permasalahan ? Bukankah kita semua sangat mencintai jalan dakwah ini ? Lalu mengapa harus mengambil langkah sendiri hanya karena tidak bisa memahami keputusan organisasi ?

Wallahu a’lam. Saya hanya sulit mengerti, mengapa ada organisasi yang didirikan karena kekecewaan dan sakit hati. Padahal, aktivitas yang dirintis dengan sepenuh cinta saja, masih bisa menumbuhkan rasa kecewa.