Oleh Ustadz Abdullah Haidir, Lc.
Dalam masalah puasa, ada masalah qadha, fidyah dan kafarat. Bagaimana
pemahamannya? Sebelum itu mari kita pahami dahulu apa beda ketiganya.
Qadha
adalah mengganti hutang puasa dengan puasa di kemudian hari. Fidyah,
mengganti hutang puasa dengan memberi makan untuk orang miskin. Kafarat:
Menebus pelanggaran membatalkan puasa dengan sejumlah ketentuan yang
ditetapkan syariat.
Beda fidyah dengan kafarat adalah; Fidyah
menebus puasa yang ditinggalkan karena uzur syar’i, maksudnya memang
boleh berbuka. Sedangkan kafarat adalah menebus puasa yang batal karena
pelanggaran. Nanti kita bahas lebih lanjut.
Qadha puasa berlaku
bagi mereka yang meninggalkan puasa dan dikemudian hari masih memiliki
kekuatan fisik untuk berpuasa. Misal, karena sakit atau safar, haid,
nifas.. Atau alasan lain selain sakit dan safar sehingga seseorang tidak
dapat berpuasa.
Waktu qadha bersifat luas hingga sebelum Ramadan
berikutnya. Namun semakin cepat diqadha, lebih baik. Bahkan sebagian
ulama berpendapat qadha puasa dahulu sebelum puasa sunah Syawal.
Sebagian lainnya menganggap tidak mengapa sebaliknya.
Jika Ramadan
berikutnya dia belum juga mengqadha hutang puasanya tanpa alasan jelas,
yang paling utama dia mohn ampun atas kelalaiannya. Berikutnya dia
harus tetap mengqadha puasa Ramadan sebelumnya. Sebagian ulama
mengharuskannya membayar kafarat atas kelalaiannya. Kafaratnya adalah
memberi makanan pokok satu mud kepada fakir miskin, jumlahnya 1 kg
kurang sedikit, untuk setiap hari yang ditinggalkan. Kalau mau dimasak
dahulu, lalu diundang makan fakir miskin sejumlah puasa yang
ditinggalkan itu juga baik. Tapi jika sebabnya bukan kelalaian, karena
kondisi dia tidak sempat qadha selama setahun itu, maka tidak dianggap
lalai, cukup dia mengqadha.
Bagaimana kalau jumlah harinya tidak diketahui pasti? Dikira-kira saja yang lebih dekat dengan keyakinan.
Bagaimana
jika sengaja tidak puasa tanpa alasan syar’i? Yang paling utama adalah
bertaubat, karena hal tersebut dosa besar. Dia harus qadha puasanya.
Selain itu dia pun harus bayar kafarat jika puasa yang dia tinggalkan
belum diqadha setelahh melewati Ramadan berikutnya.
Sekarang kita
beralih ke masalah fidyah. Fidyah dalam hal puasa berlaku bagi mrk yang
tidak kuat berpuasa dan tidak lagi memiliki kemampuan fisik untuk
berpuasa di hari lainnya. Yang umum disebutkan dalam golongan ini adalah
orang tua renta yang sudah tak mampu berpuasa, juga orang sakit yang
tak ada harapan sembuh. Caranya adalah dengan memberikan makanan pokok
sejumlah hari yang dia tinggalkan.
أَيَّامٗا
مَّعۡدُودَٰتٖۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ
فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ
فِدۡيَةٞ طَعَامُ مِسۡكِينٖۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيۡرٗا فَهُوَ خَيۡرٞ
لَّهُۥۚ وَأَن تَصُومُواْ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ١٨٤
(
yaitu)
dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada
yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari
yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika
mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan,
maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah 184).
Para ulama berbeda
pendapt terkait takaran yang harus dikeluarkan sbg fidyah. Ada yang
mengatakan satu mud, setengah sha atau satu sha. Perlu diingat 1 sha itu
adalah 4 raupan kedua tangan orang dewasa. Nah, 1 raupan kedua tangan
itu disebut 1 mud. Jadi 1 sha adalah 4 mud. Maka 1 sha itu kisarannya 3
kg, setengah sha itu 1,5 kg, 1 mud itu 1 kg kurang. Banyak ulama yang
memakai pendapat setengah sha dalam masalah ini. Saya memilih pendapat
ini. Fidyah juga dapat dilakukan dengan menghidangkan menu lengkap siap
dimakan kepada sejumlah orang sesuai jumlah hari yang ditinggalkan.
Yang
sering ditanyakan dlm masalah ini adalah apakah wanita hamil dn
menyusui yang tidak berpuasa, membayar qadha atau fidyah? Yang perlu
diketahui, wanita hamil dan menyusui tidak langsung boleh tidak berpuasa
jika dia merasa kuat berpuasa dan tidak khawatir dengan anaknya. Tapi
jika wanita hamil/menyusui merasa lemah, atau khawatir berdampak buruk
bagi janin/bayinya jika dia berpuasa, mk dia boleh tidak berpuasa.
Nah,
jika wanita hamil/menyusui tidak puasa Ramadan, bagaimana menggantinya,
apakah qadha atau fidyah? Dalam perkara ini para ulama berbeda pendapat
sejak dulu hingga sekarang. Jumhur ulama berpendapat bhw wanita
hamil/menyusui yang tidak berpuasa, dia harus qadha di bulan lainnya
sejumlah hari yang ditinggalkan. Bahkan ada yang berpendapat, selain
qadha juga harus mmbayar fidyah. Namun sebagian ulama berpendapat cukup
qadha saja.
Secara umum, jumhur ulama berpendapat bhw wanita
hamil/menyusui diserupakan dengan orang sakit yang ada harapan sembuh.
Maka, kalau mereka diharuskan qadha, wanita hamil/menyusui juga
diharuskan qadha. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa wanita
hamil/menyusui yang tidak berpuasa ckp membayar fidyah saja. Pendapat
ini bersumber dari Ibnu Abbas dn Ibnu Umar yang memasukkan wanita
hamil/menyusui dlm kelompok orang tua renta yang tak kuat puasa.
Membayar fidyah cukup memiliki landasan kuat, namun mengqadha puasa lebih hati-hati.
Sekarang
kita beralih ke masalah kafarat dlm puasa. Seperti telah disampaikan,
kafarat adalah untuk puasa yang batal karena pelanggaran. Dalam hal ini
berlaku bagi mrk yang berjimak di siang hari Ramadan saat mrk berpuasa.
Disebutkan
dalam hadits muttafaq alaih ada seorang shahabat yang berjimak di siang
hari Ramadan, maka Nabi suruh dia bayar kafarat. Kafaratnya adalah,
merdekakan budak. Jika tidak ada, puasa 2 bulan berturut-turut. Jika
tidak mampu, beri makan 60 orang miskin. Itupun diiringi taubat atas
kemaksiatannya juga qadha hari itu yang batal puasanya. Puasa 2 bulan
harus berturut-turut. Jika batal sehari, maka tidak berlaku. Tapi jika
ada uzur, seperti haidh atau sakit misalnya, maka dapat diteruskan. Jika
tak mampu berpuasa, maka beri makan 60 orang miskin. Caranya sama
dengan fidyah yang telah dijelaskan.
Bagaimana jika berjimak di
siang hari Ramadan saat uzur berpuasa, seperti saat safar? Tidak kena
kafarat, tapi harus qadha puasa hari itu. Yang terkena kafarat, suami
isteri jika keduanya melakukan suka sama suka. Lain halnya jika isteri
dipaksa. Jika bercumbu saja hingga keluar mani atau masturbasi hingga
keluar mani, tidak kena kafarat. Tapi puasanya batal dan harus qadha.
Qadhanya di luar Ramadan, seperti biasa, sesuai jumlah hari yang dia
tinggalkan. Tentu diiringi taubat karena kelalaiannya.
Satu lagi
dalam bab qadha, jika seseorang sebelum qadha puasanya keburu meninggal,
apa yang dilakukan? Jika seseorang meninggal sebelum sempat mengqadha
puasanya, ada dua kemungkinan. Dia belum sempat mengqadha karena uzur
syar’i. Misalnya, bulan ramadan haid, setelah ramadan sakit, lalu
meninggal. Atau tidak puasa karena sakit yang diperkirakan sembuh.
Ternyata sehabis Ramadan terus sakitnya hingga wafat. Orang spt ini
tidak ada kewajiban apa2, juga bagi kerabatnya. Karena dia tidak puasa
dan tidak qadha karena uzur.
Kondisi kedua, jika seseorang dlm
keadaan mampu mengqadha puasanya setelah ramadan, namun dia tunda-tunda
hingga keburu wafat. Untuk orang dengan kondisi ini, sebagian ulama
berpendapat bayar fidyah, sebagian lainnya berpendapat agar kerabatnya
mengqadha puasa untuknya.
Yang cukup kuat adalah mengqadha
puasanya oleh para kerabatnya, sejumlah hari yang ditinggalkan. Karena
ada hadits dalam masalah ini, yaitu “Siapa yang meninggal tapi punya
kewajiban puasa, maka keluarganya puasa untuknya.” muttafaq alaih. Juga
ada hadits riwayat Muslim, Rasulullah saw memerintahkan seorang anak
untuk mengqadha puasa ibunya.
Jika hari puasanya banyak, caranya dapat dibagi di antara kerabatnya, lalu mereka berpuasa untuk mengqadha puasa orang tersebut.
Wallahua’lam…
(Manhajuna/AFS)
Ustadz Abdullah Haidir, Lc.,
lahir dan besar di Depok, menyelesaikan pendidikan sarjana di LIPIA
jurusan syari’ah. Sehari-hari beliau menjadi da’i di Kantor Jaliyat
Sulay, sebuah lembaga yang memberikan penyuluhan tentang Islam kepada
pendatang di Riyadh Arab Saudi. Selain itu aktifitas beliau adalah
menjadi penulis buku dan kontributor artikel dakwah, mengisi taklim
komunitas WNI, serta juga menjadi penerjemah khutbah Jum’at di Masjid Al
Rajhi. Setelah 15 tahun berdidikasi di kota Riyadh, beliau memutuskan
untuk kembali ke tanah air.