Jendela Keluarga: Ibnu Katsir dalam "Bidayah wa Nihayah" menuturkan kisah sederhana
tentang Umar bin Abdul Aziz. Suatu malam datanglah Raja' ibn Haiwah,
sang alim di kediaman Umar ibn Abdul Aziz. Raja' ibn Haiwah, kita
mengenalnya sebagai sosok yang sangat berpengaruh dalam pengangkatan
Umar ibn Abdul Aziz. Di tengah sistem mulk yang menyesakkan dada, ia tak
berputus asa. Ia dekati sang raja, Sulaiman ibn Abdul Malik, lalu
menanamkan pengaruh. Ia berusaha hadirkan kebajikan dan cegah
kemadharatan selagi masih berkesanggupan.
Ya, lelaki alim itu
lebih memilih menyalakan lilin daripada mengutuki kegelapan. Ia ikuti
kaidah ushul: maa laa tudraku kulluhu, fa laa tutraku kulluh. Sesuatu
yang tak dapat diraih seluruhnya, janganlah ditinggalkan semuanya.
Hasilnya, ia berhasil munculkan Umar ibn Abdul Aziz di tengah sistem
yang rusak. Semula Baitul Maal banyak dikuras untuk kepentingan
penguasa, lawan politik diberangus bahkan ribuan mati tanpa pengadilan,
kebebasan berpendapat terbelenggu, tapi akhirnya semua berubah total.
Nah, malam itu, sang alim datang ke kediaman Umar ibn Abdul Aziz.
Mereka berbincang hangat. Di tengah perbincangan itu, tiba-tiba lampu
padam. Barangkali minyak lampu habis. Tapi Umar ibn Abdul Aziz masih
terdiam. "Tidakkah kamu panggil pelayanmu agar bersedia menambah minyak
lampu ini?" kata Raja' ibn Haiwah. Malam telah cukup larut. Ruangan
sangat gelap.
"Mereka sudah tertidur. Aku tidak mau mengganggu istirahatnya," jawab tuan rumah.
"Kalau begitu," kata Raja' ibn Haiwah, "aku saja yang melakukannya."
"Jangan gurunda," jawab Umar ibn Abdul Aziz, "bukanlah kemulian tatkala
tuan rumah meminta bantuan dari tamunya." Setelah itu Umar beranjak. Ia
ambil lampu yang padam lalu bergegas pergi menambah minyak yang habis.
Sesaat kemudian ia kembali. Pada sang guru yang alim ia berujar santun,
"Tadi Umar berdiri dan pergi, kini aku datang lagi dan masih sebagai
Umar ibn Abdul Aziz."
Kisah di atas teramat sederhana, tapi
melukiskan pribadi yang tak sederhana. Melakukan perkara-perkara kecil
yang kadang merupakan tugas orang lain, tapi ia bersedia menunaikan, itu
jelas bukan perkara sederhana. Apalagi bagi seorang khalifah, itu jelas
luar biasa. Tapi di zaman ketika amal dan kesalihan tidak lagi menjadi
ukuran, ia akan tampak disamarkan dengan label pencitraan. Ketika zaman
lebih banyak dipengaruhi tayangan media dan seloroh host televisi,
kadang mata hati kita teramat buram membaca ketulusan dan akhlak yang
sebenarnya. Sungguh, sekira tulisan ini adalah nasihat, ia tak pantas
ditujukan pertama kali untuk orang lain. Ia lebih pantas ditujukan untuk
penulisnya sendiri. Betapa mudah saya menilai seseorang dari komentar
dan seloroh pembawa acara di televisi; saya lupa, kadang akhlak
seseorang bukanlah sepotong yang ditampilkan televisi.
Umar ibn
Abdul Aziz rela berpayah dan berkotor-kotor. Ia teladani Sang Rasul
yang rela gali parit dengan tangan beliau sendiri menjelang Pang
Khandak. Maka, jika hari ini ada para salih negarawan yang bersedia
teladani Rasul dan Umar ibn Abdul Aziz, rasa-rasanya saya sangat malu.
Ketika mereka bersedia kotor untuk bersihkan lingkungan, bersihkan
masjid dan tempat ibadah, bersihkan jalanan, sambangi korban bencana,
sungguh itu bukan amal buruk. Ia adalah kebajikan yang layak diteladani.
Tapi di negeri yang sakit, tanpa sadar, kita turut kena imbasnya.
Kebaikan bukan untuk diteladani, tapi untuk dicurigai. Jabat tangan pun
akan menyakitkan bagi mereka yang ada luka di jari jemarinya. Kita sibuk
menggunjingkan harga tenda presiden yang mahal saat akan berkunjung ke
Sinabung, kita ribut menelisik para relawan partai politik yang bekerja
dengan atribut, kita gaduh dengan bantuan berlabel partai serta caleg,
kita riuh untuk sesuatu yang orang lain lakukan, tapi lupa dengan apa
yang mesti kita perbuat.
Sekali lagi maafkan, tulisan ini
adalah teguran yang lebih layak dialamatkan untuk penulisnya sendiri
daripada untuk orang lain. Sebab, tanpa Anda ketahui, pada skala yang
lebih kecil, saya pun sering menilai dengan cara yang sama.
Hanya pada Allah saya mohon ampunan. Semoga Allah hadirkan dalam diri
kita semangat Raja' ibn Haiwah untuk datangkan kebaikan di negeri ini
dengan kejernihan untuk hadirkan sosok-sosok yang bersedia teladani Umar
ibn Abdul Azizi, para pemimpin yang siap kotor demi rakyatnya.
Oleh: Ustd. Dwi Budiyanto
0 comments:
Post a Comment