Selamat Datang di Web Jendela Keluarga Aris Nurkholis - Ratih Kusuma Wardani

Wednesday, January 22, 2014

Politik Kotor Sang Pemimpin


Jendela Keluarga: Ibnu Katsir dalam "Bidayah wa Nihayah" menuturkan kisah sederhana tentang Umar bin Abdul Aziz. Suatu malam datanglah Raja' ibn Haiwah, sang alim di kediaman Umar ibn Abdul Aziz. Raja' ibn Haiwah, kita mengenalnya sebagai sosok yang sangat berpengaruh dalam pengangkatan Umar ibn Abdul Aziz. Di tengah sistem mulk yang menyesakkan dada, ia tak berputus asa. Ia dekati sang raja, Sulaiman ibn Abdul Malik, lalu menanamkan pengaruh. Ia berusaha hadirkan kebajikan dan cegah kemadharatan selagi masih berkesanggupan.

Ya, lelaki alim itu lebih memilih menyalakan lilin daripada mengutuki kegelapan. Ia ikuti kaidah ushul: maa laa tudraku kulluhu, fa laa tutraku kulluh. Sesuatu yang tak dapat diraih seluruhnya, janganlah ditinggalkan semuanya. Hasilnya, ia berhasil munculkan Umar ibn Abdul Aziz di tengah sistem yang rusak. Semula Baitul Maal banyak dikuras untuk kepentingan penguasa, lawan politik diberangus bahkan ribuan mati tanpa pengadilan, kebebasan berpendapat terbelenggu, tapi akhirnya semua berubah total.

Nah, malam itu, sang alim datang ke kediaman Umar ibn Abdul Aziz. Mereka berbincang hangat. Di tengah perbincangan itu, tiba-tiba lampu padam. Barangkali minyak lampu habis. Tapi Umar ibn Abdul Aziz masih terdiam. "Tidakkah kamu panggil pelayanmu agar bersedia menambah minyak lampu ini?" kata Raja' ibn Haiwah. Malam telah cukup larut. Ruangan sangat gelap.

"Mereka sudah tertidur. Aku tidak mau mengganggu istirahatnya," jawab tuan rumah.

"Kalau begitu," kata Raja' ibn Haiwah, "aku saja yang melakukannya."

"Jangan gurunda," jawab Umar ibn Abdul Aziz, "bukanlah kemulian tatkala tuan rumah meminta bantuan dari tamunya." Setelah itu Umar beranjak. Ia ambil lampu yang padam lalu bergegas pergi menambah minyak yang habis. Sesaat kemudian ia kembali. Pada sang guru yang alim ia berujar santun, "Tadi Umar berdiri dan pergi, kini aku datang lagi dan masih sebagai Umar ibn Abdul Aziz."

Kisah di atas teramat sederhana, tapi melukiskan pribadi yang tak sederhana. Melakukan perkara-perkara kecil yang kadang merupakan tugas orang lain, tapi ia bersedia menunaikan, itu jelas bukan perkara sederhana. Apalagi bagi seorang khalifah, itu jelas luar biasa. Tapi di zaman ketika amal dan kesalihan tidak lagi menjadi ukuran, ia akan tampak disamarkan dengan label pencitraan. Ketika zaman lebih banyak dipengaruhi tayangan media dan seloroh host televisi, kadang mata hati kita teramat buram membaca ketulusan dan akhlak yang sebenarnya. Sungguh, sekira tulisan ini adalah nasihat, ia tak pantas ditujukan pertama kali untuk orang lain. Ia lebih pantas ditujukan untuk penulisnya sendiri. Betapa mudah saya menilai seseorang dari komentar dan seloroh pembawa acara di televisi; saya lupa, kadang akhlak seseorang bukanlah sepotong yang ditampilkan televisi.

Umar ibn Abdul Aziz rela berpayah dan berkotor-kotor. Ia teladani Sang Rasul yang rela gali parit dengan tangan beliau sendiri menjelang Pang Khandak. Maka, jika hari ini ada para salih negarawan yang bersedia teladani Rasul dan Umar ibn Abdul Aziz, rasa-rasanya saya sangat malu. Ketika mereka bersedia kotor untuk bersihkan lingkungan, bersihkan masjid dan tempat ibadah, bersihkan jalanan, sambangi korban bencana, sungguh itu bukan amal buruk. Ia adalah kebajikan yang layak diteladani.

Tapi di negeri yang sakit, tanpa sadar, kita turut kena imbasnya. Kebaikan bukan untuk diteladani, tapi untuk dicurigai. Jabat tangan pun akan menyakitkan bagi mereka yang ada luka di jari jemarinya. Kita sibuk menggunjingkan harga tenda presiden yang mahal saat akan berkunjung ke Sinabung, kita ribut menelisik para relawan partai politik yang bekerja dengan atribut, kita gaduh dengan bantuan berlabel partai serta caleg, kita riuh untuk sesuatu yang orang lain lakukan, tapi lupa dengan apa yang mesti kita perbuat.

Sekali lagi maafkan, tulisan ini adalah teguran yang lebih layak dialamatkan untuk penulisnya sendiri daripada untuk orang lain. Sebab, tanpa Anda ketahui, pada skala yang lebih kecil, saya pun sering menilai dengan cara yang sama.

Hanya pada Allah saya mohon ampunan. Semoga Allah hadirkan dalam diri kita semangat Raja' ibn Haiwah untuk datangkan kebaikan di negeri ini dengan kejernihan untuk hadirkan sosok-sosok yang bersedia teladani Umar ibn Abdul Azizi, para pemimpin yang siap kotor demi rakyatnya.
 


 
Oleh: Ustd. Dwi Budiyanto

0 comments:

Post a Comment