Jendela Keluarga: Menilai tingkat korupsi partai2 bukanlah suatu
pekerjaan mudah. Kesulitannya adalah pada obyektifitas kita sebagai
subyek penilai yang cenderung untuk agak subyektif dan obyek penilaian
(partai) yang juga cenderung mau menang sendiri dan menganggap bahwa
partainya bersih. Subyektifitas penilai yang cenderung memberikan
penilaian bersih kepada partai yang diikuti dan memberi nilai tidak
bersih kepada partai yang dibencinya. Disisi lain, yang sudah antipati
terhadap partai akan menganggap semua partai tidak bersih.
Kesulitan kedua adalah
kecenderungan kita menilai suatu obyek (partai) dengan pandangan hitam
putih. Kesalahan kecil dari suatu partai dianggap tidak ada bedanya
dengan sebuah kesalahan besar. Seorang anggota suatu partai yang
melakukan kesalahan menempel poster didinding rumah warga dinilai sama
dengan korupsi trilyunan dari salah seorang anggota partai lainnya.
Kesulitan yang ketiga adalah
memberi bobot yang proporsional terhadap kesalahan suatu partai. Karena
kesulitan inilah perlu kiranya kita melakukan penyederhanaan seperlunya.
Sebagai contoh untuk menilai
korupsi suatu partai berdasarkan jumlah kasus yang melibat, jumlah
anggota partai yang terlibat atau apa ? apakah keterlibatan anggota
partai biasa dan yang pengurus apakah sama ? dan banyak pertanyaan lain.
Penyederhanaan dilakukan hanya dengan pembatasan2 sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan anggota partai
adalah anggota partai yang menjadi/pernah menjadi anggota DPRD/DPR
periode 2009/2014 berasal dari partai tersebut.
Data keterlibatan anggota partai ada di http://chirpstory.com/li/184257 lengkap dengan nama, jabatan dan asal partai.
Secara ringkas jumlah koruptor dari masing-masing partai adalah sebagai berikut :
Tabel diatas menyajikan jumlah koruptor yang
berasal dari masing-masing partai. Sebagai juara adalah PDIP dengan 84
koruptor dan mendominasi 33,7% dari keseluruhan koruptor yang berasal
dari partai. Dengan data ini kita bisa saja menuduh bahwa sarang
koruptor sebenarnya adalah PDIP. Munculnya Jokowi, Ganjar dan Tri
Rismaharini hanyalah sebuah kedok dari kebobrokan partai.
Penyajian lebih jelas jika menggunakan pie chart sebagai berikut:
Sesungguhnya kasus-kasus
korupsi didominasi oleh 4 partai saja, yaitu PDIP, Golkar, PAN dan PD
dengan total jumlah koruptornya 84,3%.
Namun demikian, PDIP, Golkar dan PD
punya alibi bahwa sebagai partai besar mereka memang mempunyai koruptor
tetapi jumlah yang bersih jauh lebih banyak. Toh semua ada koruptornya
(ingat kata SBY). Atau Mereka partai kecil, kalau besar ya sama saja
(ingat kata orang Golkar).
Untuk mengatasi subyektifitas ini
perlu kiranya dibuat sebuah standarisasi sehingga partai kecil dan besar
mempunyai kesempatan yang sama.
Karena itu dalam kesempatan ini
saya mengusulkan adanya index korupsi. Secara sederhana jumlah koruptor
dibagi dengan jumlah perolehan suara partai pada pemilu 2009
Ke-12 partai peserta pemilu bisa
dilihat track recordnya. Kecuali Nasdem yang tidak punya rekam jejak
sehingga tidak bisa dinilai, tabel diatas secara jelas menempatkan 9
partai sebagai partai tidak bersih dengan index korupsi diatas 1.
Keanehan adalah pada partai Demokrat yang berada pada nomor 7. Walaupun
terhitung tidak bersih, Demokrat terlihat tidak terlalu parah. Ada
kemungkinan terhambatnya penetapan tersangka/masuk pengadilan/jatuhnya
vonis koruptor dari partai demokrat karena ragu-ragunya penegak hukum
untuk mempermasalahkan orang-orang demokrat.
Dari tabel diatas terlihat juga
bahwa partai yang bisa dikatakan yang relatif bersih hanya 2, Gerindra
dan PKS. Dan tentu saja, PKS mempunyai index sangat bagus dengan angka
mendekati nol.
Tentu keadaan ini akan menguntungkan dua partai tersebut, utamanya PKS sebagai partai yang paling bersih.
Sumber: kompasiana.com/Fajar Muhammad Hasan
Sumber: kompasiana.com/Fajar Muhammad Hasan
0 comments:
Post a Comment