Jendela Keluarga - ”Dan
perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari
keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun
yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka
kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak
menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat
apa yang kamu perbuat.” (Al-Baqarah: 265)
Apa yang kita punya, itu adalah kapasitas untuk berbuat baik. Tubuh
kita. Panca indera kita. Adalah peluang untuk berbuat baik. Mata yang
kita miliki adalah pintu untuk memahami pesan-pesan dan kehendak Allah.
Begitu banyak bertebaran di hadapan kita yang dapat direkam mata. Lalu
ditransfer ke otak. Kemudian direnungkan olah hati dan pikiran kita.
Maka jadikan perenungan itu jalan mencapai pemahaman tentang kebesaran
Allah dan keagungan perbuatan-Nya. Juga luasnya ilmu-Nya. Juga besarnya
kasih sayang-Nya. Lalu kita pun bersyukur atas segala karunia itu.
Tidak semua orang bisa menikmatinya. Karena Allah memang menciptakan
kita dengan berbeda kondisi dan keadaan. Maka luluh pulalah perasaan
kita. Melahirkan empati kepada orang-orang yang Allah sayangi dengan
kekurangsempurnaan wujud fisiknya. Bukan karena Allah tidak mampu
mencipta semua dengan lengkap sempurna. Bukan pula Ia tidak bisa berlaku
adil memberi penciptaan yang sama kepada setiap makhluk-Nya tanpa
dibeda-bedakan. Semua itu adalah bentuk kemahakuasaan Allah untuk
melakukan apa pun yang Dia kehendaki.
Semua perbedaan itu adalah ujian bagi kita. Untuk bisa bersabar atas
kekurangan dan keterbatasan. Juga ujian bagi yang lain untuk bisa
bersyukur atas kelengkapan jasmani. Semua terjadi atas kehendak dan
kuasa-Nya. Allah Ta’ala berfirman, ”Tiap-tiap yang berjiwa
akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan
kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada
kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya: 35).
Telinga yang kita punyai, adalah jalan untuk meraih kebaikan dan bisa
berbuat baik dengannya. Untuk dapat menangkap isyarat kekuasaan-Nya.
Untuk memahami kebesaran-Nya. Lalu mengagungkan-Nya. Untuk mau mendengar
perintah-Nya. Lalu taat kepada-Nya.
”Dan mereka mengatakan,
‘Kami dengar dan kami taat.” (Mereka berdoa), ‘Ampunilah kami Ya Tuhan
kami, dan kepada Engkaulah tempat kembali’.” (QS. Al-Baqarah: 285). Jangan seperti orang yang digambarkan Allah dengan firman-Nya, “Dan
sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin
dan manusia, mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakannya untuk
memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka
mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar
(ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka
lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf: 179).
Begitu pula hidung kita yang dengannya kita bisa bernafas. Juga
mencium bau-bauan sehingga bisa membedakan mana yang harum dan mana yang
busuk. Dengan penciuman kita bisa membedakan apa yang aman dan apa yang
berbahaya. Dengannya pula kita bisa menikmati hidangan dan makanan
aneka macam dengan aroma yang masuk melalui saraf penciuman kita.
Dengannya kita pun bersyukur, karena Allah memberi kita karunia yang
tidak terhingga. Hidung, selain memperindah penampilan dan mempermanis
wajah, juga begitu besar perannya dalam membantu kita melangsungkan
hidup. Maka indera penciuman itu adalah kapasitas kita untuk bersyukur
kepada Allah. Dengan hidung pula kita belajar bersabar ketika suatu saat
ia tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Mungkin karena flu.
Atau sebab yang lain. Maka inilah kesempatan kita bersabar dan berserah
diri kepada-Nya. Dan itu pun menjadi kebaikan bagi kita.
Begitu pula dengan kaki dan tangan kita. Dengannya kita mampu
melakukan berbagai pekerjaan dan kegiatan. Juga menjalankan peran hidup
pada profesi kita masing-masing. Juga melakukan perjalanan dalam rangka
mencari ilmu, mencari rizki, maupun sekadar rihlah meluruhkan penat dan
ketegangan selepas kesibukan. Baik perjalanan yang kita lakukan di
daratan maupun di lautan. Dari perjalanan itu pun kita mendapatkan
banyak pelajaran dan kebijaksanaan hidup. Bahwa, Allah telah merancang
dan mengatur alam semesta ini dengan teramat rapi dan teliti. Tidak ada
yang terluput dari pengaturan-Nya. Tidak ada yang terlewat dari
pengawasan-Nya.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan
silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang
yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri
atau duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah
kami dari siksa neraka’.” (QS. Ali ‘Imran: 190-191). Allah juga berfirman, ”Jika
Dia menghendaki, Dia akan menenangkan angin, maka jadilah kapal-kapal
itu terhenti di permukaan laut. Sesungguhnya pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi setiap orang yang banyak
bersabar dan banyak bersyukur.” (QS. Asy-Syura: 33).
Apa yang kita punya adalah kapasitas untuk berbuat kebaikan. Potensi
yang kita miliki. Bakat dan kemampuan yang kita punyai. Keahlian yang
kita kuasai. Semua itu adalah potensi untuk berbuat baik. Kepada sesama
manusia. Kepada lingkungan kita. Kepada bumi yang kita pijak dengan
tanah dan tumbuhannya, dengan sungai dan lautannya, dengan hutan dan
pepohonannya. Kepada masyarakat tempat kita membangun kebersamaan.
Kepada negeri tempat kita menata harmoni dan peradabannya.
Apa yang kita punya adalah kapasitas untuk berbuat kebaikan.
Pekerjaan kita. Lapangan usaha kita. Profesi kita. Semua itu adalah
lahan bagi kita untuk bertanam kebaikan dan menyemai amal saleh.
Dengannya kita bisa berbuat baik. Dengannya kita bisa berbuat banyak
untuk meraih pahala akhirat.
Apa yang kita punya adalah kapasitas untuk berbuat kebaikan.
Teman-teman kita. Komunitas yang kita bangun. Kerjasama yang kita
galang. Adalah kesempatan untuk menambah kebaikan kita. Kebaikan kepada
sesama. Dan berbuat baik bersama-sama.
Kehidupan yang kita lalui, adalah juga kapasitas dan peluang untuk
menambah nilai kebaikan kita. Pagi dan sorenya. Siang dan malamnya.
Hujan dan panasnya. Dingin dan teriknya. Kenyang dan laparnya. Sehat dan
sakitnya. Sunyi dan ramainya. Adalah kesempatan untuk menambah
pundi-pundi kebaikan kita. Besar maupun kecil. Banyak maupun sedikit.
Membahana maupun tak diacuhkan orang. Semua keadaan itu sesungguhnya
merupakan rangkaian peluang demi peluang untuk melakukan kebaikan.
Apa yang kita punya adalah kapasitas yang kita miliki untuk berbuat
kebaikan. Bahkan dalam kadar yang minimal sekalipun. Tidak perlu
menunggu hingga kita benar-benar kaya untuk berinfak. Tidak pula harus
menunggu sampai jadi seorang ustadz untuk mengajak orang lain kepada
keshalihan. Tidak perlu menunggu jadi tokoh untuk membuat kebiasaan baik
di lingkungan kita. Apa yang kita punya adalah kapasitas yang kita
miliki untuk berbuat kebaikan. Mengapa tidak kita optimalkan untuk
memperbanyak kebaikan dan amal shalih?
Apa yang kita punya adalah kapasitas yang kita miliki untuk berbuat
kebaikan. Oleh karena itu, segala tambahan kebaikan yang kita terima
adalah kesempatan untuk menambah kebaikan yang bisa kita lakukan.
Menambah kebaikan yang bisa kita berikan kepada orang lain, lingkungan,
dan kepada kehidupan kita.
Pertambahan usia adalah tambahan kapasitas untuk semakin memperbanyak
kebaikan. Menambah rasa syukur bahwa Allah memberi kita kesempatan
untuk menghirup udara dunia. Menambah rasa takut dan harap kepada-Nya
sehingga semakin berhati-hati menjalani sisa umur kita. Semakin
bersemangat untuk memperbanyak meluangkan waktu bersama Allah. Karena
kita tidak tahu pada detik yang mana jarum jam kehidupan kita berhenti.
Dan tak beranjak lagi walau hanya pada satu detik berikutnya.
Bertambahnya anak adalah tambahan kesempatan untuk memperbanyak
kebaikan kita. Kesempatan yang lebih banyak untuk mendidik dan mencetak
kader dakwah dan aktivis keshalihan. Juga peluang yang lebih banyak
untuk nafkah yang kita berikan kepada mereka. Juga, tentu, semakin
membuat kita memperbaiki sikap dan perilaku karena semakin bertambah
orang yang akan sangat mengenal kita dan akan meniru keteladanan kita.
Kenaikan pangkat dan posisi kepemimpinan adalah tambahan kesempatan
untuk memperluas jangkauan kebaikan kita. Memperbesar skala kebaikan
yang bisa kita wujudkan. Memperluas jaringan keshalihan yang bisa kita
rajut. Untuk semakin mendekatnya keberkahan Allah bagi masyarakat kita.
Tambahan harta, itu adalah tambahan kapasitas untuk bisa berbuat
kebaikan lebih banyak. Semakin banyak dana yang bisa kita lokasikan pada
pos-pos kebaikan. Semakin banyak sedekah dan santunan yang bisa kita
berikan. Semakin banyak proyek kebajikan yang bisa kita jalankan.
Semakin banyak gagasan-gagasan kebaikan yang dapat diwujudkan. Semakin
banyak jalur-jalur kebaikan yang bisa kita kembangkan. Inilah makna
kehidupan yang berkah. Kehidupan yang ditandai dengan semakin
bertambahnya kebaikan yang bisa kita raih dan kita wujudkan.
Apa pun yang kita punya, sejatinya adalah kapasitas untuk berbuat
kebaikan. Maka, ketika kita berkeinginan menambah kepemilikan kita atas
berbagai sarana hidup, niatkanlah ia untuk menambah kapasitas kebaikan
kita. Tambahkanlah alasan itu pada setiap keinginan dan rencana kita
untuk memiliki tambahan itu. Niatkan ia sebagai jalan untuk menambah
kemampuan kita dalam berbuat baik. Bukan semata menikmati hidup. Apalagi
mengikuti gaya hidup. Karena jika itu yang terjadi, betapa sayang.
Kenikmatan yang kita rasakan di dunia bukan menjadi jalan untuk bisa
mengecap nikmatnya kehidupan akhirat.
Maka, perbuatlah kebaikan lebih banyak seiring bertambahnya kapasitas
kita. Dalam segala hal. Agar ia menambah amal kebajikan kita. Agar ia
semakin memperbanyak pahala kita. Di sisi Allah ’Azza wa jalla.
Karena semua tambahan karunia itu akan diminta pertanggungjawabannya di
hari pengadilan kelak. Ketika Allah mempertanyakan tentang apa yang kita
miliki. Ketika Allah mempertanyakan tentang apa yang kita nikmati di
sini. ”Kemudian kamu benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan-kenikmatan itu.” (QS. At-Takaatsur: 8). Wallahu a’lam bish-shawab.
0 comments:
Post a Comment