Selamat Datang di Web Jendela Keluarga Aris Nurkholis - Ratih Kusuma Wardani

Tuesday, March 11, 2014

Ancaman untuk Penyebar Gosip





"Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."
(QS An-Nuur [24]: 19)

Salah satu cara musuh Islam melemahkan dan menghancurkan Islam adalah dengan menyebarkan isu tentang sosok manusia terpandang di kalangan orang beriman.
Di era globalisasi yang ditandai kemajuan teknologi informasi, orang yang berhati busuk dan ingin menyebar gosip atau isu mampu menyebarluaskannya dengan hanya menekan satu tombol.
Ajaran Islam, yang selalu relevan untuk semua tempat dan zaman, sesungguhnya telah mengantisipasi hal ini, di antaranya melalui ayat di atas.

Tuduhan Bohong terhadap Siti Aisyah ra
Ayat di atas masih terkait dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya yang menyinggung tentang Qishshatu'l Ifki (berita bohong). Dalam berita ini, Ummul Mukminin Siti Aisyah ra dituduh selingkuh dengan sahabat Nabi saw, Shafwan Ibnu Mu'aththal ra, pasca-perang Bani Mushthaliq, Sya'ban 5 H. Biang keladinya adalah kaum munafik sehingga menimbulkan instabilitas di kaum Muslimin (selengkapnya baca QS An-Nuur [24]: 11-26 dan riwayat tentang masalah ini di Tafsir Ibnu Katsir, IV/32-35).

Balasan bagi Penyebar Isu di Dunia dan Akhirat
Dalam kajian Ibnu Katsir, ayat tersebut mengajarkan etika dan adab ketika mendengar informasi yang tidak baik. Yakni, mengelolanya dengan baik, tidak banyak memperbincangkannya dan tidak menyebar/mempublikasikannya (lihat Tafsir Ibnu Katsir IV/38). Sebab, Allah swt mengancam orang yang sengaja dan terencana menyebarkan isu/gosip terkait pribadi orang yang beriman dengan siksa yang sangat pedih di dunia dan akhirat.
Siksa di dunia dalam bentuk hukuman Haddul Qadzaf (hukuman penuduh zina), yaitu dicambuk 80 kali sebagaimana firman Allah, "Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (yaitu wanita-wanita yang suci, akil balig dan muslimah] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) 80 kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka Itulah orang-orang yang fasik" (QS An-Nuur [24]: 4).
Hukuman tersebut telah dipraktikkan Nabi saw terhadap para penyebar berita bohong terhadap istri beliau, Siti Aisyah. Mengenai nama-nama pelakunya, terjadi perselisihan pendapat di kalangan ulama. Sebuah riwayat menyebutkan, Nabi saw mencambuk dua orang laki-laki dan seorang perempuan, yaitu Misthah bin Utsaatsah, Hassan bin Tsabit dan Hamnah binti Jahsy. Menurut Al Qusyairi, mengutip pendapat Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah saw mencambuk Abdullah bin Ubay, dedengkot kaum munafik, 80 kali cambukan, dan baginya siksa api neraka di akhirat.
Namun, Imam Al Qurthubi mencoba menyimpulkan dengan mengatakan, yang populer dari semua riwayat dan yang sudah diketahui oleh para ulama bahwa yang dihukum cambuk adalah Hassan, Misthah dan Hamnah. Sementara Abdullah bin Ubay, tidak pernah terdengar ia dihukum cambuk.
Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Aisyah ra, ia berkata, “Ketika turun (ayat) pembebasanku (dari tuduhan zina), Nabi saw berdiri dan menyampaikan hal ini (kepada kaum Muslimin) dan membaca Al-Qur'an. Lalu begitu beliau saw turun dari mimbar, beliau perintahkan untuk dihadirkan dua orang laki-laki dan seorang perempuan, maka beliau menghukum mereka dengan hukuman cambuk (80 kali). Mereka adalah; Hassan bin Tsabit, Misthah bin Utsatsah dan Hamnah binti Jahsy.”
Para ulama kami berkomentar, bahwa Abdullah bin Ubay tidak dihukum cambuk, sebab Allah Ta'ala benar-benar telah menyiapkan baginya azab yang sangat pedih di akhirat. Kalau dihukum cambuk di dunia tentu hal ini akan mengurangi siksanya di akhirat padahal Allah telah bersumpah tentang terbebasnya Aisyah ra dari segala tuduhan dan dustanya semua orang yang menuduh dan menyebar gosip tersebut. Dengan demikian, faedah hukuman hudud dapat dirasakan sebab tujuannya adalah memperlihatkan kebohongan penuduh dan terbebasnya tertuduh sebagaimana firman Allah swt, "Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang- orang yang dusta" (QS An Nuur [24]: 13).
Sedangkan ketiga orang Islam tersebut dihukum untuk menebus dan mengampuni dosa sehingga tidak sampai terbawa sampai ke akhirat sebagaimana sabda Nabi saw tentang hudud yang diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamit ra, "Sesungguhnya ia (hukuman hudud itu) Kaffaratun (penebus dosa) bagi orang yang ditegakkan hukuman tersebut atasnya" (lihat Al Jaami' Li Ahkaami'l Qur'an. Qurthubi, XII/133-134, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Beirut, Cet. I, 1408 H/1988 M).
Penggunaan redaksi "Sesungguhnya orang-orang yang senang/ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman…" menunjukkan bahwa sekadar menyukai tersebar luasnya perbuatan keji atau gosip dan menikmatinya, maka seseorang berdosa dan akan mendapat siksa. Sementara penyebar gosipnya, tentu dosa dan siksaannya pun lebih dahsyat.
Hal ini timbul karena kedengkian dan kebencian serta hasud terhadap masyarakat yang telah hidup rukun, damai dan penuh kasih sayang. Maka, pendengki dan penghasud pun tidak tinggal diam, ia bekerja keras untuk mengoyak-ngoyak pilar-pilar positif masyarakat. Dan yang paling efektif adalah dengan jalan menyentuh kehormatan keluarga tokoh sentralnya. Maka ditiuplah 'terompet' isu dan gosip. Begitulah yang dimainkan Abdullah bin Ubay untuk menggoyang stabilitas barisan kaum Muslimin (lihat Tafsir Al Munir, Az Zuhaili, XVIII/182-183).
Sebuah strategi untuk menjatuhkan harga diri da'i dan rumah tangganya yang boleh jadi akan terulang di mana dan kapan saja.

Orang Beriman itu Suci, Bersih dan Mulia
Ayat 19 Surah An-Nuur memberi kita pemahaman bahwa sejatinya orang beriman itu suci, bersih dan mulia sehingga jauh dari perbuatan keji. Sebab, keimanan itu identik dengan kesucian, kebersihan dan kemuliaan. Seorang Mukmin harus selalu berhati-hati untuk tidak menjadi obyek tuduhan keji, maka semaksimal mungkin ia menghindarkan diri masuk ke wilayah atau persoalan yang berpotensi mendapat tuduhan keji. Bila setelah berusaha maksimal tetap ada tuduhan, maka ini adalah ujian keimanan.
Ayat tersebut juga menunjukkan betapa bernilai dan berharganya seorang Mukmin di sisi Allah swt, karenanya tidak dibenarkan mencari-cari kesalahan, mematai-matai atau menyebar gosip tentang pribadi orang beriman.
Rasulullah saw bersabda, "Janganlah kalian menyakiti hamba-hamba Allah. Jangan mencela mereka dan jangan mencari-cari aurat/aib mereka. Sebab, barangsiapa yang mencari-cari aib saudaranya sesama muslim, maka Allah akan mencari aibnya sehingga Ia membuka aib tersebut di rumahnya."  (HR Ahmad)

0 comments:

Post a Comment