Jendela Keluarga; Sungguh tidak
mudah menjadi pejuang, apapun ideologi yang diperjuangkan. Lebih tidak mudah
lagi menjadi isteri kepada seorang pejuang. Hidupnya selalu diselimuti
ketidakpastian. Mayoritas isteri pejuang sadar dan tahu bahwa hidupnya akan
serba kekurangan secara hakiki mahupun maknawi. Tidak jarang, wujud di kalangan
mereka yang tidak menyedari bahwa suaminya adalah pejuang. Pejuang apa saja,
khususnya pejuang agama; para mujahidin, ulama, dai dan para pembela agama
Allah lain.
Namun merekalah
makhluk paling setia, paling dipercaya, paling dapat diharap dan paling
segalanya di dunia. Mereka taman mekar tempat para suami mendapatkan
ketenangan, tiang teguh tempat para suami bersandar di kala lelah menyapa jiwa,
tali pegangan kukuh waktu badai melanda dan seringkali pembela terhandal yang
dapat diandalkan saat seluruh dunia menyalahkan, mengecam dan memalukannya.
Merekalah antara
pendorong utama yang membuat para suami berani melangkah, meningkatkan kualitas
diri dari aspek ukhrawi dan duniawi. Di waktu yang sama, bila peran isteri
tidak dimainkan dengan panduan iman dan taqwa, maka mereka dapat berubah
menjadi pemusnah hebat.
Justru, jika para
istri ingin bergelar ‘syarikatul hayat’ (pasangan kehidupan) bagi suami di
dalam bersama-sama menggapai ridha Allah dan jannah-Nya, beberapa sifat dan
kebiasaan buruk wajib kita dihindari atau setidaknya diusahakan agar tidak
melampaui batas.
Cinta Dunia
Fitrah perempuan
sukakan keindahan dan kesempurnaan. Adalah merupakan impian dan idaman setiap
isteri akan segala sesuatu yang indah dan menyenangkan; wajah dan pakaian yang
cantik, rumah dan kendaraan yang bagus, peralatan rumahtangga yang lengkap dan
terbaru, gadget tercanggih, pendidikan dan sekolah anak-anak yang terbaik dan
mahal dan tentunya atau uang yang tiada susutnya.
Kesalatan mengatur
dan mengatur rasa senang pada segala bentuk kemewahan ini akan membuahkan
kecintaan dan keterikatan pada hal-hal berbentuk material, yang andai dibiarkan
berlarutan tanpa kendali iman, dapat mengakibatkan munculnya sifat bakhil dan
mementingkan diri sendiri.
Dalam hal ini, hanya
zuhud dan qana’ah yang mampu menjadi tali kekangnya. Menurut Imam Ibnu Rajab
Al-Hambali rahimahullah, zuhud bermakna mengosongkan hati dari kesibukan diri
dengan dunia, sehingga orang tersebut dapat berkonsentrasi untuk mencari ridha
Allah, mengenal-Nya, dekat kepada-Nya, merasa tenang dengan-Nya dan rindu
menghadap-Nya.
Profesor Dr. HAMKA
rahimahullah mengatakan qanaah terdiri atas 5 hal; menerima dengan rela akan
apa yang ada, memohon kepada Rabb akan tambahan yang pantas dan berusaha,
menerima dengan sabar akan ketentuan-Nya, bertawakkal kepada-Nya dan tidak
tertarik dengan tipu daya dunia.
Jadi, salahkah
memiliki kemewahan jika memang ditakdirkan memilki kemewahan? Jawapannya, tidak
salah. Sama sekali tidak salah, selama ia tidak dijadikan tambatan hati dan
selama ia tidak mendorong para suami melakukan korupsi demi memenuhi keinginan
isteri, termasuk korupsi harta maupun korupsi jiwa. Dalam arti kata lain, tidak
salah memiliki segalanya selama ia dimanfaatkan dalam usaha meninggikan kalimat
Allah di muka bumi.
Cemburu Buta
Cemburu tanda cinta,
kata sebagia orang. Namun sengaja diletakkan kalimat ‘buta’ di sini yang
menunjukkan hanya aksi dan reaksi cemburu saja yang dibenarkan. Sudah
seharusnya seorang isteri memiliki perasaan cemburu terhadap suaminya.
Perasaan cemburu yang
positif akan memacu dirinya untuk giat menyaingi langkah suami dalam beramal,
menjadi motivasi kuat untuk dia belajar dan bekerja lebih gigih dalam membantu
usaha dakwah suami dan mendorongnya untuk lebih kreatif dalam memastikan gerak
suami selalu berada di dalam koridor syar’i.
Apa yang tidak harus
terjadi ialah, membabi-buta mencemburui suami sehingga rasa cinta yang ada
sedikit demi sedikit berubah menjadi obsesi yang disertai sikap posesif dan
diiringi prasangka buruk tanpa penghujung.
Di dalam banyak
situasi, bukan cemburu yang menghambat langkah suami, atau lebih dahsyat,
mematikan rasa kasihnya, sebaliknya adalah kebutaan yang mengiringi rasa
cemburu tersebut. Buta di sini bermaksud, tidak lagi dapat memisahkan antara
cinta kerana Allah dan rasa memiliki, antara keinginan diri dan keperluan
syar’ie dan antara realiti dan fantasi.
Mudah Kecil Hati
Gunjingan orang,
tatapan yang tidak bersahabat, ketidakcukupan nafkah dan kekurangan harta
benda, tidaklah layak menjadikan hati insan beriman (istri para pejuang)
berkecil hati terus menerus, sehingga mengakibatkan rasa rendah diri,
tersinggung dan tidak mustahil, pada suatu hari menimbulkan benci.
Orang-orang dengan
hati yang mudah menciut ini biasanya adalah orang-orang yang selalu
membesar-besarkan hal yang kecil. Dan hatinya yang kecil itu akan terlihat dari
raut wajah dan sikap yang ditunjukkannya, baik itu disengaja ataupun tidak.
Sesama saudara dan sahabat saja ia memberi kesan, apalagi suami isteri.
Tanpa disadari,
keceriaan dan mood isteri banyak mempengaruhi sikap dan mood suami. Selemah
manapun seorang suami, bila didukung oleh sikap dan semangat isteri yang kuat,
pastilah akan kuat juga, insyaAllah. Demikian pula sebaliknya.
Suka Bercerita
Sebenarnya para suami
sangat suka apabila isterinya bercerita. Justru dari cerita-cerita isterilah,
dia memaklumi banyak hal yang tidak dapat dia ikuti dengan saksama disebabkan
kesibukannya.
Namun, sikap suka
bercerita dengan pengertian bercerita tanpa koma, tanpa mengenal waktu dan
tempat, hanya akan membuat suami merana dan tidak betah di rumah, terutama jika
cerita-cerita yang dibawa lebih menjurus kepada ghibah (gunjingan) dan fitnah.
Perkelahian mungkin meletus dan lebih buruk akibatnya apabila cerita di dalam
rumah pun ikut menjadi bahan cerita ke mana-mana.
Khususnya di dalam
keluarga dengan fikrah perjuangan, tabiat suka bercerita yang tidak terkawal,
pada suatu saat dapat mengundang musibah. Bagaimana tidak, jika semua aktivitas
suami ‘dilaporkan’ kepada semua orang; hal-hal penting, kepergiannya, dengan
siapa saja suaminya berteman dan banyak hal lain yang seolah-olah disangkanya
sebagai hal remeh?
Fenomena akhir zaman,
dunia tanpa batas telah memburukkan lagi sikap ini dan membuat keadaan jauh
lebih gawat karena jumlah yang mendengar (membaca) ceritanya mungkin jauh di
atas ribuan orang. Cerita yang bagi dirinya adalah cerita biasa, besar
kemungkinan adalah cerita luar biasa buat orang lain. Apalagi jika hal itu disahre
jejaring sosial tanpa batas.
Cepat Merajuk, Sukar
Dibujuk
Kata orang, merajuk
pada yang sayang. Kalau tidak kepada suami, kepada siapakah lagi seorang isteri
merajuk? Rajuk memang sinonim dengan perempuan. Dan ada bermacam gaya rajuk.
Selama ia tidak keluar dari landasan syar’i, maka rajuknya adalah sah.
Masalah timbul
apabila rajuknya sukar dibujuk, sehingga menghalangi keharmonian hubungan suami
isteri, menimbulkan kekeliruan dan ketakutan pada jiwa anak-anak dan
menjatuhkan air muka dan wibawa suami.
Tidak seyogyanya
seorang isteri merajuk berpanjangan, apalagi tanpa alasan dan sebab. Seorang
suami juga adalah seorang manusia yang kadang disebabkan kelemahannya, pada
suatu ketika dapat mematiksan rasa putus asa dan amarah mengalmi kesesakan fikiran
dan ketidakstabilan emosi. Rajuk yang aslinya merupakan hasil dari kemanjaan,
kini justru menjadi berubah seolah bara dalam sekam, perlahan-lahan membakar
jiwa. Tak jarang, rajuk berpanjangan membuat seseorang lupa kenapa dia merajuk
pada awalnya?
Akhirnya, rumahtangga
yang dibina dengan tujuan memperolehi sakinah dan merangkul mawaddah wa rahmah,
gagal menjadi tempat suami melabuhkan semua rasa.
Tonggak utama
Kemenangan Umat
Masih banyak sikap
negatif yang lain, namun dapat dikatakan bahwa sikap-sikap yang lain hanya
timbul apabila 5 sikap ini merajalela tanpa kendalian sempurna. Dengan maraknya
kebencian dan permusuhan terhadap Islam dan Muslimin akhir-akhir ini, sikap
-sikap seperti ini sama sekali tidak membantu perjuangan suami.
Kejayaan ummat yang
bermula dengan sebuah ikatan rumahtangga sangat tergantung pada kerjasama 2
tonggak utama; yakni pasangan suami isteri.
Jatuh bangun seorang
suami, teguh dan kentalnya dia mengharungi onak dan duri, kukuh dan sabarnya
menghadapi pasang surut kehidupan, harus diakui sangat dipengaruhi oleh jiwa,
sikap dan semangat isterinya yang ada di rumah. Fakta menunjukkan, di belakang
pria kuat, selalu ada wanita hebat. Justru, di situlah letak makna
se-iya-sekata, sehati-sejiwa’ dalam mengukuhkan perjuangan. Wallahu
a’lam.*/hidayatullah
Paridah Abbas,
penulis seorang ibu rumah tangga dan guru
0 comments:
Post a Comment