Selamat Datang di Web Jendela Keluarga Aris Nurkholis - Ratih Kusuma Wardani

Monday, January 27, 2014

Keluarga Dakwah, Basis Kekuatan Umat



Jendela Keluarga: Medan pertarungan utama antara Islam dengan jahiliyah adalah pertarungan sosial, antara tatanan masyarakat Islam dengan tatanan sosial jahiliyah. Kedua fenomena ini bertolak belakang, yang satu dibangun di atas landasan Aqidah Islamiyah, Syariat Islam dan akhlaqul karimah, sementara yang lain dibangun di atas pondasi cinta dunia dan hamba nafsu.

Pertarungan ini berlangsung semenjak masyarakat Islam masih lemah di tengah hegemoni masyarakat jahiliyah, maupun setelah masyarakat Islam menjadi pemenang dan mendominasi. Maknanya, masyarakat Islam tak pernah kehilangan kekhasan ini, meski sedang sulit atau dikuasai musuh.

Keluarga memiliki peran kunci dalam membangun tatanan masyarakat Islami. Satuan sosial terkecil yang membentuk masyarakat adalah keluarga. Oleh karenanya, keluarga harus menjadi fokus garapan untuk menjadi bahan baku membentuk masyarakat Islami. Masyarakat yang menyadari perannya sebagai barisan pasukan yang berhadap-hadapan dengan barisan prajurit sosial jahiliyah.

Ada Perintah di balik Keluarga

Allah swt berfirman:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (21)

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Rum: 21)

Ayat ini menjelaskan sunnatullah bahwa seorang pria ditaqdirkan Allah memerlukan wanita sebagai pasangan hidup agar si pria terjinakkan nafsunya dengan pasangan halal tersebut. Selain itu juga naluri cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah) bisa disalurkan dengan panduan syariat Allah. Kenyataan yang tak bisa ditolak manusia ini merupakan salah satu “ayat-ayat kauniyah” (tanda-tanda kekuasaan Allah), sama dengan tanda kekuasaan yang lain seperti hukum alam tentang peredaran siang malam, matahari bulan, kehidupan kematian, dan sebagainya.

Padahal kita tahu, di balik tanda-tanda kekuasaan Allah, ada perintah syariat yang menyertainya. Di balik peredaran siang malam, ada perintah sholat lima waktu. Di balik fenomena fajar, ada perintah sholat Shubuh. Di balik fenomena tengglamnya matahari, terdapat perintah sholat Maghrib. Demikian halnya, hubungan menyatu antara pria dan wanita karena terpuaskannya syahwat, terjalinnya cinta dan terpeliharanya kasih sayang, harus dijadikan tanda untuk sebuah perintah di baliknya.

Jika keluarga yang dibangun seorang muslim hanya dalam rangka menghasilkan sakinah, mawaddah wa rahmah, maka keluarga tersebut baru melaksanakan kehendak kauniyah (hukum alam) Allah. Adapun kehendak syar’iyyah (hukum kalam) Allah belum dilaksanakan. Jika demikian, tujuan pernikahan menjadi sangat simpel, sekedar menghalalkan saluran syahwat, hubungan cinta dan kasih sayang antara dua orang manusia yang boleh jadi sudah terjalin lama sebelum menikah melalui pacaran.

Keluarga Jahiliyah

Keluarga yang dibangun melalui ikatan pernikahan dalam konsepsi Jahiliyah sangat sederhana. Pernikahan hanya sebuah momentum pengumuman kepada khalayak bahwa kedua manusia tersebut saling memiliki. Pria memiliki wanita dan wanita memiliki pria. Bahkan di Barat pengumuman kepemilikan ini diperluas, menjadi pria boleh memiliki pria dan wanita boleh memiliki wanita. Mengapa ? Karena dalam konsepsi Jahiliyah, cinta adalah segalanya. Bila seorang pria mencintai pria yang lain, ia berhak melegalkannya dan mengumumkannya dalam ikatan pernikahan, untuk mendapatkan sakinah wawaddah wa rahmah.
Kepemilikan yang dimaksud dalam pernikahan Jahiliyah hanya kepemilikan untuk menyalurkan syahwat. Adapun aurat, itu bukan termasuk kepemilikan, oleh karenanya boleh laki-laki bukan suaminya untuk melihat aurat. Bahkan, semakin keseksian dan aurat istrinya dikagumi banyak mata, sang suami makin bangga. Alam pikiran Jahiliyah yang sudah menular sebagiannya kepada umat Islam.

Dalam mengelola aset keluarga berupa anak-anak, keluarga Jahiliyah juga tak memiliki konsep yang jelas. Dengan aqidah Liberalisme dan Pluralisme, anak-anak dibebaskan memilih kesukaannya, tak ada konsep benar dan salah. Semua baik bagi anak-anak sepanjang membuat masa depan mereka cerah dalam percaturan dunia.

Bila kita sepakat dengan ciri-ciri keluarga Jahiliyah tersebut, maka kita berhak miris. Kaum muda Umat Islam makin banyak yang tak lagi peduli dengan tujuan mulia dibangunnya keluarga. Pernikahan hanya menjadi upacara hambar di ujung sebuah jalan panjang bernama pacaran bahkan “kecelakaan”.

Keluarga Dakwah, Bukan Hanya Keluarga Samara

Pernikahan untuk membangun keluarga adalah sebuah tanda alam, sunnatullah kauniyah, seperti tanda alam lain. Pernikahan – baik dilakukan muslim maupun kafir – bertujuan melanggengkan sakinah, mawaddah dan rahmah (samara). Fakta membuktikan, banyak pasangan non muslim yang pernikahannya harmonis hingga puluhan tahun, saling cinta, setia dan kasih sayang sampai ajal. Artinya, samara bukan monopoli muslim, karena memang hanya sebuah tanda kekuasaan Allah yang terjadi secara umum.

Jadi yang khas pada pernikahan muslim bukan pada samara-nya, tapi pada perintah syariat di balik samara tersebut, apa peran keluarga muslim dalam ikut mendakwahkan dan membela Islam. Ada banyak syariat yang mutlak membutuhkan keluarga samara dalam pelaksanaannya. Ada dakwah, amar makruf nahi munkar, sedekah, pendidikan Islam, bahkan jihad fi sabilillah. Syekh Rifai Surur meringkasnya dengan istilah Keluarga Dakwah, keluarga yang tercelup dengan nafas dakwah dan bergerak dengan spirit dakwah.

Bahkan, dinamika dan lika-liku perjalanan dakwah yang diemban keluarga, bisa menjadi batu ujian yang sangat ideal untuk cinta dan kesetiaan pasangan. Demikian pula sebaliknya, di tengah dinamika cinta dan kesetian keluarga, bisa dilakukan ibadah dan pengabdian kepada Allah. Di tangan keluarga dakwah, resiko dakwah justru menguatkan samara dan sebaliknya samara  menjadi media melaksanakan dakwah.

Nabi Ibrahim as setelah menikah dengan Hajar dan dikaruniai anak, Sarah cemburu dengan meminta Ibrahim as menyingkirkan jauh-jauh Hajar dari pandangannya. Ini adalah dinamika samara dalam keluarga. Tapi uniknya, sambil memberi solusi atas dinamika keluarga ini, Ibrahim as diperintahkan oleh Allah untuk menempatkan Hajar dan putranya di Mekah, lembah kering di tengah padang pasir jauh dari kediaman Sarah. Satu pekerjaan untuk dua tujuan; solusi masalah rumah tangga, sekaligus pelaksanaan perintah Allah. Indah sekali !

Dari kisah ini dapat ditarik pelajaran: laksanakan dakwah, niscaya Allah akan berikan solusi masalah rumah tangga kita, seperti Allah memberi solusi masalah rumah tangga Ibrahim ! Sebaliknya, abaikan dakwah, niscaya kita hanya akan disibukkan dengan urusan rumah tangga karena tak ada “jalan keluar langit’ yang tersedia. wallahu a’lam bis-showaab.

by elhakimi  (elhakimi.wordpress.com)

0 comments:

Post a Comment