Jendela Keluarga: Di antara hal yang sangat vital perannya dalam menjaga
keharmonisan kehidupan rumah tangga adalah interaksi dan komunikasi yang
sehat antara seluruh anggotanya. Suami dan isteri harus mampu membangun
komunikasi yang indah dan melegakan, demikian pula orang tua dengan
anak, serta sesama anak dalam rumah tangga.
Banyak permasalahan kerumahtanggaan muncul akibat tidak adanya
komunikasi yang aktif dan intensif antara suami dengan isteri. Banyak
hal yang didiamkan tidak dibicarakan, sehingga menggumpal menjadi
permasalahan yang semakin membesar dan sulit diselesaikan. Padahal Allah
Ta’ala telah memerintahkan kepada para suami agar berkomunikasi dan
berinteraksi secara bijak kepada isterinya:
“Dan bergaullah dengan mereka secara makruf. Kemudian bila kamu tidak
menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai
sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (An
Nisa’: 19).
Muhammad Abduh menjelaskan, “Artinya wajib bagi kalian wahai
orang-orang mukmin untuk mempergauli isteri-isteri kalian dengan bijak,
yaitu menemani dan mempergauli mereka dengan cara yang makruf yang
mereka kenal dan disukai hati mereka, serta tidak dianggap mungkar oleh
syara’, tradisi dan kesopanan”.
“Maka mempersempit nafkah dan menyakitinya dengan perkataan atau
perbuatan, banyak cemberut dan bermuka masam ketika bertemu mereka,
semua itu menafikan pergaulan secara makruf. Diriwayatkan dari salah
seorang salaf bahwa dia memasukkan ke dalam hal ini perihal laki-laki
berhias untuk isteri dengan sesuatu yang layak baginya, sebagaimana
isteri berhias untuknya”, tulis Abduh.
Termasuk dalam kategori ini adalah ketrampilan berbicara,
mendengarkan, bergurau atau bercanda, tertawa, respon dan empati, juga
ketrampilan berlaku romantis. Demikian pula ketrampilan mengungkapkan
perasaan, menyatakan kecintaan dan kasih sayang, memahami perasaan
pasangan. Tidak pula boleh diremehkan, ketrampilan praktis untuk
memuaskan pasangan dalam kebutuhan biologis.
Kadang dijumpai suasana rumah tangga yang kaku tanpa canda dan penuh
suasana ketegangan. Masing-masing anggota keluarga melakukan sendiri apa
yang ingin dilakukan, menyimpan sendiri segala permasalahan dan
berusaha menyelesaikannya sendiri-sendiri. Mereka berkomunikasi dalam
sepi kepada diri sendiri dan tidak membuka diri terhadap yang lain.
Suami merasa diri telah cukup berbuat hanya dengan memberikan kecukupan
uang kepada isteri dan anak-anaknya. Isteri merasa diri cukup berbuat
hanya dengan menyiapkan keperluan suami dan anak-anak, serta melayani
suami di tempat tidur.
Suasana seperti itu amat jauh dari harapan sebuah keluarga yang
sakinah, karena diwarnai oleh suasana individualistis yang tinggi.
Permasalahan akan semakin menumpuk dan menjadi gunung yang siap meledak
apabila ada simpul-simpul pemicunya. Mereka berbincang di dalam rumah
tangga ala kadarnya sekedar untuk berbasa-basi, selebihnya masing-masing
disibukkan oleh urusan sendiri. Rumah sebagai tempat kembali yang
nyaman tidak mereka dapatkan suasananya.
Rasulullah saw bersabda:
“Tidak boleh lelaki mukmin membenci perempuan mukminah, jika ia tidak
menyukai suatu perbuatan, maka ia akan menyukai perbuatan lainnya”
(Riwayat Muslim).
Suami tidak boleh berlaku kasar, apalagi sampai ke tingkat memukul
dan menendang isteri. Pukulan yang mendidik hanya boleh dilakukan dalam
kasus nusyuz. Rasulullah memberikan penghargaan kepada para suami yang
berlaku baik terhadap isteri mereka:
“Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik di antara kamu dalam
bergaul dengan isterinya, dan aku adalah yang paling baik di antara kamu
dalam bergaul dengan isteri” (Riwayat Tirmidzi).
Banyak suami yang memiliki kelemahan dalam mendengarkan isi hati
isteri. Pada kondisi dimana isteri merasa memerlukan perhatian, ia
sangat ingin mencurahkan perasaan hatinya kepada suami. Ia ingin
mengobrol dan menyampaikan keinginan dan harapan-harapan yang selama ini
terpendam belum terungkapkan. Apabila suami tidak merespon, bahkan
bersikap menutup diri terhadap keinginan itu, akan cenderung melahirkan
ketertekanan batin pada isteri. Pada kondisi yang telah memuncak,
keinginan curhat isteri yang tidak ditampung suami tersebut akan
menimbulkan ledakan emosional yang dahsyat.
Isteri akan cenderung lari kepada orang lain, mungkin teman dekat,
atau tetangga, mungkin orang tua atau bahkan ke psikolog atau kepada
seorang ustadz yang dipercaya, untuk menumpahkan semua permasalahan
hatinya. Ia hanya ingin mendapatkan suasana kelegaan hati, dengan
menceritakan semua permasalahan yang dihadapi. Isteri akan sangat
bergembira apabila bertemu dengan seseorang yang bersedia mendengarkan
dan menampung curahan hatinya. Bisa jadi seseorang tersebut tidak
memberikan solusi apapun dari permasalahan yang diutarakan, akan tetapi
kesediaannya mendengar dan merespon secara positif itu telah amat
menenteramkan.
Untuk itu, suami harus menjadi seseorang yang paling enak dan nyaman
bagi isteri untuk mencurahkan perasaan hatinya. Jangan dibiarkan isteri
tidak mendapatkan kesempatan untuk curhat kepada suami di rumah yang
berakibat ia mencari orang lain untuk tempat curhat. Kadang hal seperti
ini menimbulkan masalah baru. Apabila orang yang menjadi tempat curhat
tersebut adalah teman lelaki sekantornya, atau seorang lelaki yang
menjadi teman lamanya semasa kuliah atau sekolah dahulu, lalu ternyata
ia mendapatkan kecocokan untuk mencurahkan permasalahannya, akan bisa
berkembang menjadi hubungan yang lebih intim dan khusus.
Tentu hal ini menuntut kemampuan suami untuk bisa mendengarkan,
menampung dan merespon secara positif perasaan hati isteri. Jangan
biarkan permasalahan menumpuk di hati isteri sehingga menjadi gumpalan
permasalahan yang tidak terselesaikan.
Suami semestinya mengawali suasana keterbukaan dalam komunikasi
sehingga permasalahan sekecil apapun bisa segera direspon dan
diselesaikan. Pengakuan Nyonya Noni yang dimuat dalam majalah Ayah-bunda
edisi 6 – 9 April 1996 berikut hendaknya menjadi pelajaran bagi yang
lain, bahwa keterbukaan dalam komunikasi amatlah penting untuk
mempertahankan cinta dalam keluarga.
“Dunia pekerjaan saya mengharuskan saya bergaul dengan banyak orang
dari berbagai lapisan, baik laki-laki maupun perempuan. Bahkan boleh
dibilang model pergaulannya pun bebas, meskipun saya pikir itu
tergantung dari orang yang bersangkutan. Selama ini suami tidak pernah
berkomentar negatif terhadap kegiatan saya, tetapi belakangan saya
ketahui kalau suami berselingkuh dengan wanita yang sangat belia”,
demikian penuturan Nyonya Noni.
“Ketika saya tanyakan, bukan saja dia mengakui tetapi juga mengatakan
bahwa hal itu dilakukan karena sebenarnya dia tidak menyukai kegiatan
saya. Selama ini saya tidak tahu hal itu karena suami tidak pernah
mengatakan terus terang. Akhirnya semenjak delapan bulan yang lalu saya
pisah rumah sementara dengan suami”, tambah Nyonya Noni.
Tampak dalam pengakuan di atas, keluarga Nyonya Noni tidak terbiasa
melakukan komunikasi secara terbuka. Suami Nyonya Noni tidak pernah
mengekspresikan perasaan ketidaksukaannya terhadap pekerjaan dan pola
pergaulan Nyonya Noni. Karena tidak pernah berkomunikasi dengan hangat
dan terbuka kepada pasangannya, ditambah dengan kesibukan masing-masing
menyebabkan rumah tangga Nyonya Noni dilanda kemelut. Suami Noni memilih
mengekspresikan ketidaksenangannya dengan melakukan selingkuh, bukan
dengan terbuka mengungkapkan keinginan dan harapannya.
Untuk itulah semestinya interaksi dan komunikasi penuh cinta
dilakukan dalam rumah tangga, hingga tidak ada ganjalan yang tidak
tersampaikan kepada pasangannya.
Oleh : Cahyadi Takariawan
http://wonderful-family.web.id
0 comments:
Post a Comment